Malioboro menjadi tujuan utama
pelancong dari berbagai penjuru ketika menyambangi Jogjakarta. Layaknya menjadi ikon pusat ekonomi karena tempat yang identik dengan berbagai aktivitas perdagangan.
Pasar beringharjo maupun jalan malioboro disanalah orang-orang berkumpul
mengumpulkan rupiah dengan usaha kreatifnya masing-masing. Musisi jalanan,
pedagang kaki lima, warung lesehan, dan pusat perbelanjaan yang sekarang ini
lebih populer untuk mengungkapkan deskripsi tentang malioboro. Padahal
malioboro di masa lalu menjadi sebuah wadah para intelektual dan budayawan
untuk mengungkapkan pemikiran serta ekspresi jiwa mereka. Seiring berjalannya
waktu hal itu mulai memudar, warung kopi dan berbagai sarana nongkrong lebih
dipilih untuk tempat berekspresi dan bertukar pendapat. Nama malioboro bukan
sekedar nama populis, kebanyakan menganggap bahwa malioboro mengadopsi dari
produsen rokok Philp Morris asal negeri paman sam. Budayawan EAN pernah dalam
satu kesempatan mengungkapkan bahwa malioboro sangat filosofis. Jalan utama
sepanjang keraton hingga tugu jogja merupakan satu kesatuan makna yang utuh.
Perlu dipahami dari panggung krapyak, keraton, kemudian tugu golog-gilig adalah
gambaran "sangkan paraning dumadi". Dari panggung krapyak sampai keraton adalah
gambaran bayi yang lahir dari seorang ibu, menginjak dewasa, berumah tangga
kemudia mempunyai anak. Di sisi barat panggung krapyak terdapat kampung mijen
yang berarti wiji atau gambaran benih manusia. Keraton hingga tugu golog-gilig
adalah wujud perjalanan manusia menuju Tuhannya.
Pertama dimulai dari jalan di
utara kraton hingga titik nol dinamakan Jalan Pangurakan yang berasal dari kata
urak atau mengusir. Mengusir dalam artian hal negatif menjauhi larangan-Nya.
Titik nol hingga toko batik terang bulan dinamakan Jalan Margo Mulyo (sekarang
Ahmad Yani) yaitu manusia akan mencapai kemuliaanya apabila sudah bisa menjauhi
segala larangan dan menjalankan perintah Tuhan. Dari toko batik hingga rel adalah Jalan Malioboro
yang berasal dari kata mali (menjadi wali) dan ngumboro (menyebar, menjelajah).
Maknanya utuh setelah orang itu mampu menjadi insan yang mulia karena kebaikan
layaknya wali hendaknya menyebar nilai-nilai kebaikan seluas mungkin. Rel
hingga Tugu Jogja dinamakan Jalan Margo Utomo(sekarang Jl. Mangkubumi) yang
berarti menjadi gambaran orang yang utama ketika menuju Tuhan. Selain itu ada
sebuah ungkapan penggoyah pribadi manusia yaitu ketika berhadapan dengan godaan
harta,tahta, dan wanita. Kesemuanya itu juga tergambarkan, dalam beberapa
literatur yang sedikit anekdot mengatakan visualisasinya ada di sekitar
malioboro. Dari titik nol hingga rel terbentang berbagai bangunan fisik yang
tertata cukup apik. Di seputaran titik nol ada bank sebagai perlambang manusia
diliputi godaan harta. Kemudian menuju ke utara arah malioboro akan dijumpai
bangunan gedung pemerintahan dari istana negara, benteng, dan kantor-kantor
lainya yang menggambarkan godaan tahta. Kemudian godaan wanita yang tentunya
dalam prespektif negatif adalah adanya lokalisasi pasar kembang. Kesemuanya
itu memang sebuah gambaran faktual yang semoga kita semua bisa memaknainya
dengan bijak.
Memang masa lalu malioboro bukan
sekedar ramainya orang berwisata belanja tetapi sesuai filosofinya lebih
menjadi tempat menyebar nilai-nilai kehidupan melalui berbagai forum diskusi
maupun seni budaya. Seniman, budayawan, intelektual, dan seluruh lapisan
masyarakat ada di sana kala itu untuk mengkaji membuka pikiran tentang
kehidupan.
Komentar
Posting Komentar