Langsung ke konten utama

Ngelmu dan Ilmu


Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh. Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain.
Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang kebetulan pernah menjadi bahan kuliah di kelas. Kami memang sedang belajar di fakultas pendidikan salah satu universitas di Jogja. Ia bertanya, “piyayi-piyayi sing neng pemerintahan kae wong pendidikan kabeh ning kok akhire do mlebu kunjoro, pendidikane ki wes kleru po yo?” Pertanyaan seperti itu memang bisa memiliki jawaban yang beragam. Kalau kita memandang secara positif tentu pendidikan itu tidak salah tetapi berlangsungnya proses pendidikan barangkali ada sebuah masalah. Selain itu bisa juga berpendapat bahwa watak dan karakter sesorang yang memang juga sudah kadung terlena hal yang tidak semestinya dilakukan. Toh juga masih banyak pejabat lain yang juga baik.
Obrolan kami ngelantur kemana-mana sampai akhirnya teman saya Sarwono bilang bahwa pendidikan ki pancen menehi okeh ilmu ning sitik sing do iso nglakoni. Kata-kata dari teman saya ini dapat dijabarkan bahwa terkadang memang manusia banyak pengetahuan keilmuan ditandai memiliki banyak referensi, pandai berorasi, dan cakap menulis tetapi kelakuannya belum mencerminkan seorang yang berilmu. Nah, tentu ini sebuah permasalahan ketika ilmu itu hanya sebuah hafalan. Ketika membaca itu hanya membaca sebuah teks tetapi tidak pernah membaca keadaan alam sekitar dan terjun langsung terlibat dalam aktivitas bermasyarakat. Maka ilmu juga sebatas tahu tetapi tidak tahu untuk apa tujuannya ia tahu.
Obrolan santai saya dengan Sarwo ini adalah sebuah keadaan yang mungkin sedang terjadi di era sekarang ini. Ada sebuah syair yang berbunyi “wong numpuk ilmu ilang paedahe” yang artinya kurang lebih orang menumpuk ilmu tetapi tidak memiliki daya guna ataupun manfaat. Dan itu sangat mungkin terjadi jika terjebak pada dunia hafal-menghafal berorientasi hasil yang terukur dengan skor. Ya, skor tinggi karena pengetahuan tinggi padahal tidak akan menjamin produk tingkah laku. Hakikat pendidikan itu terletak pada perubahan setelah manusia mengenyam pendidikan, hasilnya berupa watak dan karakter yang ukurannya adalah kebermanfaatan bagi orang banyak. Hasilnya setelah bekajar tidak hanya pinter tapi bisa sopan, jujur, sederhana, rendah hati dan bentuk-bentuk kekhasan individu yang lain.
Secara epistimologi ilmu itu diperoleh melalui metodologi dan sistematika tertentu dengan logika, nalar, dan berdasar fakta. Untuk menambah wawasan ada gambaran ilmu dalam prespektif masyarakat Jawa. Ilmu sendiri dalam masyarakat Jawa dikenal dengan tiga pembagian yaitu ilmu katon, ilmu karang, dan ilmu klenik. Ilmu katon adalah pengetahuan yang bisa langsung kita dapatkan dari kemampuan inderawi. Seperti ilmu bercocok tanam, membuat bangunan, dan kegiatan kecil sehari-hari yang kita dapatkan bisa dari melihat. Selain itu ilmu-ilmu yang berbentuk tulisan yang kita dapatkan di lembaga-lembaga pendidikan juga termsuk dalam ilmu katon. Selanjutnya ada ilmu karang yaitu tergolong ilmu yang sudah mengerahkan kekuatan ketajaman batin untuk membaca segala sesuatu di alam termasuk tanda-tandanya atau kadang kita kenal dengan titen. Ilmu ini tidak ada dasar tertulisnya tetapi tergantung bagaimana pencapaian seseorang yang terkadang dikatakan ngarang-ngarang dari sebuah pertanda seperti pergantian musim bahkan peristiwa alam yang akan segera terjadi. Namun, di tataran ilmu karang ini ada ajaran-ajaran yang tidak sepantasnya untuk digunakan seperti telik, tenung, santet, gendam, dan lain sebagainya.
Sering terjadi hal yang salah kaprah pada keseharian kita menyatakan ilmu-ilmu hitam itu masuk dalam tataran klenik. Sejatinya ilmu klenik merupakan ilmu yang tinggi. Klenik sendiri berarti sesuatu yang sangat tersembunyi atau dalam istilah lain bisa dikatakan ghaib. Tetapi ghaib sendiri juga kita sering terjebak dalam pemahaman makhluk ghaib sejenis jin, setan, danyang, dhemit, memedi, dan makhluk-makhluk halus lainnya. Ilmu klenik tidak serendah itu apalagi dikatakan klenik adalah berhubungan dengan othak-athik mathuk. Ilmu klenik dicapai ketika seseorang telah mencapai tingkat kecerdasan spiritual.  Maka klenik sendiri sebenarnya sangat berhubungan dengan untuk memahami sebuah keyakinan dan kepercayaan yang menjadi pegangan sekaligus sangkan paran kehidupan.

Sampai penjelasan ini mungkin sedikit membuka wacana kita bahwa ilmu saja sudah terbagi sedemikian rupa. Ilmu seperti ilmu katon bisa mudah kita dapatkan dengan duduk di bangku sekolah sampai perguruan tinggi. Lalu bagaimana dengan ngelmu. Masalah yang diungkapkan teman saya diawal adalah bentuk bagaimana ketika orang berilmu tetapi tidak pernah tahu ngelmunya. Ngelmu dapat dimaknai sebagai ajaran batin untuk bekal hidup menggunakan rasa, batin, dan laku. Dalam memahami ngelmu tidak bisa kita hanya duduk mendengarkan atau sekedar membaca dari sebuah buku seperti halnya memahami ilmu. Ada laku yang harus ditempuh. Dalam masyarakat Jawa laku dikenal dengan adanya proses eneng, ening, eling, dan awas. Eneng itu membuat fisik ini diam. Ening yaitu membuat pikiran dan hati bening terlebih dahulu. Eling berarti dengan penuh kesadaran. Kemudian awas dalam artian berhati-hati. Ini adalah jawaban-jawaban bahwa ilmu yang kita punya itu perlu untuk diketahui ngelmu untuk melaksanakannya. Tidak hanya terjebak dalam ilmu pengetahuan hafalan kemudian menjadi bingung untuk melakukan. Melakukan, mengimplementasikan, menerapkan, mengejawantahkan itu adalah bentuk laku dan laku adalah hakikat dari ngelmu. Seperti pepatah ngelmu iku kelakone kanthi laku. Kiranya kejernihan pikiran dan hati serta bertingkah laku hati-hati selalu waspada harus dipegang dahulu sebelum orang menerima ilmu-ilmu agar ilmu tetap bermanfaat.

Postingan populer dari blog ini

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb