Sekarang ini teori-teori
pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak
terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari,
dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli
dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan
Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat
visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey,
Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia.
Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau
paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah
– sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal
dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi
sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa
sendiri. Kalaupun mengambil dari pemikiran bangsa lain perlu untuk disesuaikan
dengan karakter manusia Indonesia agar tidak berbenturan dengan norma yang ada.
Bangsa
Indonesia bangsa yang kaya budaya dengan setiap daerah memiliki corak khas yang
beragam. Setiap suku bangsa memiliki norma yang menjadi pegangan dalam
kehidupan sehari-hari. Kita yang tinggal di lingkungan Jawa pasti pernah
bersentuhan dengan tata aturan khas orang Jawa dimana banyak ungkapan, petuah,
peribahasa yang syarat makna. Nilai pesan yang terkandung dalam pribahasa,
ungkapan, atau “unen-unen” menjadi semacam norma yang melekat jika dimaknai
dengan mendalam. Terbukti kekuatan nilai falsafah hidup orang Jawa juga akan
sesuai jika dipakai dalam landasan bersikap dan berperilaku.
Menjadi
permasalahan ketika mencoba bertanya kembali “apakah kita masih mengetahui
peribahasanya orang Jawa?” Dalam dunia pendidikan saja teori lokal
dikesampingkan dan lebih memilih teori yang kebarat-baratan. Apalagi peribahasa
jawa yang kedudukannya dianggap tidak setara dengan teori pendidikan. Bisa jadi hanya
terlintas ketika sekolah dasar, itu saja karena dipaksa membuka buku kawruh basa jawa. Padahal nilai
falsafah hidup orang jawa itu penting untuk menyesuaikan tata pendidikan di
lingkungan kita. Mungkin paradigma harus diubah bahwa tidak semua yang dari
barat atau luar negeri itu bagus, pemahaman budi pakarti luhur-lah yang memberi kita
identitas di dunia Internasional. Perlu kita sedikit memahami peribahasa dan
petuah-petuah yang sebenarnya ada tetapi sedikit terlupakan. Dalam artikel ini saya berusaha mengulas kembali ringkasan peribahasa dalam dunia pendidikan
dan ilmu pengetahuan yang pernah disampaikan oleh budayawan dan Guru Bangsa, Bapak Iman Budhi Santosa
dalam buku “Kitab Nasihat Hidup Orang Jawa”.
Blilu
Tau Pinter Durung Nglakoni
Artinya,
blilu tau (bodoh pernah), pinter durung nglakoni (pandai belum
mengalami). Terjemahan bebasnya pernah menjadi si bodoh, tetapi belum pernah
menjadi si pandai. Ungkapan tersebut gambaran orang yang tidak pandai dalam
teori tetapi terampil mengerjakan sesuatu karena pengalamannya. Contohnya
petani di desa, mereka tidak perlu sekolah pertanian untuk jadi petani tetapi
karena melihat dan meniru dari orangtua menjadi ahli bercocokl tanam.
Selain
itu peribahasa ini juga mengisyaratkan orang berilmu tinggi belum tentu
memiliki budi pekerti yang baik. Banyak bukti pejabat yang berpendidikan tinggi
akhirnya masuk bui juga entah korupsi atau perbuatan kriminal. Jadi, ilmu
tinggi saja tidak cukup untuk membangun budi pekerti. Budi pekerti harus kita
bangun dari hati nurani yang mewakilkan sifat ketuhanan.
Durung
Punjul Keselak Jujul, Durung Pecus Keselak Becus
Artinya,
durung punjul (belum lebih), keselak jujul (keburu ingin panjang), durung pecus (belum bisa), keselak besus (keburu bersolek).
Peribahasa ini ditujukan kepada orang muda yang terlampau tinggi mendapatkan
sanjung, meski kemampuan yang dia miliki masih sangat rendah. Puji sanjung itu
memang bisa menjadi motivasi tetapi jika berlebihan ditakutkan bagi yang tidak
mampu mengelola diri menjadi kesombongan. Contohnya seorang mahasiswa yang sedang
senang membaca teori pendidikan Langeveld, dimana-mana ia ceritakan dengan
teman, saudara, tetangga. Padahal sebenarnya ia baru mengetahui sedikit dan
buku aslinya pun belum pernah ia baca sampai tamat. Sehingga kehati-hatian dan
mawas diri itu perlu karena jika sudah kesombongan yang ikut campur dalam diri,
hal yang sebenarnya kecil terus dibangga-banggakan.
Kebo
Bule Mati Setra
Artinya,
kebo bule (Kerbau putih), mati setra (mati di kebun). Di
masyarakat Jawa, kebo bule itu perlambang orang yang berilmu. Kita semua tahu
karena istimewanya kebo bule sampai menadi hewan peliharaan raja. Jadi,
peribahasa ini menggambarkan orang yang berilmu tetapi tidak pernah
memanfaatkan ilmunya sampai akhir hayat. Sangat sia-sia memang jika kita
memiliki sesuatu tidak bermanfaat bagi orang lain, hanya menjadi konsumsi
pribadi termasuk ilmu. Dalam islam ada disebutkan salah satu amal jariyah yaitu
ilmu yang bermanfaat. Pemikiran sederhananya kalau orang berilmu mati dan belum
pernah menyampaikan ilmunya tersebut berarti ilmunya ikut mati dan tidak
bermanfaat bagi banyak kalangan. Padahal untuk berbagi ilmu sangat mudah salah
satunya melalui tulisan.
Kocak
Tandha Lokak
Artinya,
kocak (suara air berguncang dalam
wadah), tandha lokak (tanda tidak
penuh atau dangkal). Gambaran orang yang ilmu dan kepribadiannya belum mantap,
namun banyak omong kosong untuk menutupi kekurangannya. Makna peribahasa ini
sama dengan peribahasa indonesia tong kosong nyaring bunyinya. Contohnya seorang
mahasiswa ingin mendapat pengakuan yang tinggi diantara rekan-rekannya yang
lain ideologinya yang ia pahamai atas dasar apapun ia sampaikan kemana-mana.
Penampilan pun rela ia ubah tetapi malah menimbulkan kesan yang aneh. Semuanya
serba dibuat-buat agar mendapat pengakuan dan pencitraan padahal sejatinya ia
belum paham betul yang ia sampaikan. Pemahamannya masih dangkal tetapi ia
berani berbicara banyak demi kepentingannya pribadi.
Murid
Gurune Pribadi, Guru Muride Pribadi, Pamulangane Sengsarane Sesami, Ganjarane
ayu lan Arume Sesami
Artinya,
murid gurune pribadi (murid gurunya
pribadi), guru muride pribadi (guru
muridnya pribadi), pamulangane sengsarane
sesami (tempat belajarnya penderitaan sesama), ganjarane ayu lan arume sesami (hadiahnya kebaikan dan keharuman
sesama). Ungkapan “murid gurune pribadi,
guru muride pribadi “ mengandung makna bahwadalam diri sesorang terdapat
potensi guru dan murid. Pengertiannya di dalam diri manusia terdapat jiwa guru
sejati, sekaligus jiwa murid dari sang guru sejati.
Adapun
yang dimaksud “tempat belajarnya
penderitaan sesama” adalah realitas
kehidupan itu sendiri. Orang menjadi cerdas dan bijaksana manakala benar-benar
mempelajari laku kehidupan dengan cermat, jujur, dan terbuka. Apabila orang
telah mendapatkan ilmu dan hikmah dari pelajaran mengenai kehidupan, dia akan
mendapat ganjaran (hadiah), yaitu kearifan, pribadi yang baik, tenggang rasa
tinggi, serta kemampuan hidup berguna di lingkungannya. Dia otomatis mendapatkan
keharuman nama karena kebaikan yang dimilikinya diamalkan kepada orang di
sekitarnya.
Ngelmu
Iku Kelakone Kanthi Laku
Artinya,
ngelmu iku (mencari ilmu itu), kelakone (tercapainya), kanthi laku (lewat proses perjalanan
lahir batin). Menurut orang jawa ngelmu
berbeda dengan ilmu. Ngelmu adalah
ajaran batin untuk bekal hidup di dunia dan akhirat. Ajaran tersebut akhirnya
menjadi penuntun seseorang dalam berprilaku. Sedangkan ilmu, adalah pengetahuan
yang sistematis berdasarkan metodologi tertentu yang berlandaskan fakta, nalar,
dan logika.
Menurut
orang jawa, untuk mendapatkan ngelmu
sesorang menggunakan rasa, batin, laku pribadi. Berbeda dengan ilmu yang bisa
dicari dengan duduk di bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Ngelmu hanya
bisa dikuasai dengan dilakoni, seperti halnya iman ditanamkan dalam hati,
diungkapkan dalam perkataan, dan dilaksanakan dalam bentuk perbuatan. Dalam
menjalani lelaku diperlukan eneng
(fisiknya diam), ening (batin, rasa,
pikiranya bening), eling (sadar), dan
awas (waspada). Ada bentuk tahapan
ketika harus menghayati dengan berdiam (konsentrasi), mengungkapkan dilandasi
kejernihan pikiran dan hati , dan bertingkah laku berhati-hati serta waspada.
Sinau
Maca Mawi Kaca, Sinau Maos Mawi Raos
Artinya,
sinau maca mawi kaca (belajar membaca
dengan cermin), sinau maos mawi raos
(belajar membaca dengan rasa). Ungkapan tersebut merupakan salah satu inti
ajaran R.M. Sosrokartono yang bermakna hati kita sesungguhnya juga berfungsi
sebagai cermin untuk memantulkan perasaan orang lain. Sementara itu belajar
membaca menggunakan rasa untuk menumbuhkan makna kehidupan dan kemanusiaan yang
lebih luas.
Belajar
membaca dengan cermin memiliki makna yang dalam. Bahwa membaca bukan sekedar
menggunakan pikiran seperti anak kelas I SD yang sedang mulai lancar membaca.
Membaca harus disertai mengupas isi apa yang dipelajari serta membandingkan
dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Belajar dengan rasa berarti belajar
mengolah rasa untuk memahami diri sendiri, orang lain, serta alam semesta.
Dalam
kehidupan peribahasa ini sesuai untuk menyadarkan bahwa menilai sesuatu
tidaklah mudah. Kita sering menggunakan istilah “don’t judge a book by its cover” dan sama maknanya. Untuk menilai
diri sendiri utamakanlah rasa syukur dan untuk menilai orang lain janganlah
terjebak pada sisi luarnya saja.
Wastra
Lungsed Ing Sampiran
Artinya,
wastra (pakaian, kain), lungsed (lusuh), ing sampiran (di tali tempat menggantungkan pakaian). Terjemahan
bebasnya, pakaian menjadi lusuh karena terlalu lama dibiarkan tergantung dan
tidak dipakai.
Pesan
dari peribahasa ini menggambarkan ilmu pengetahuan yang tidak pernah
dimanfaatkan, sehingga akhirnya benar-benar tak berguna dan dilupakan orang. Di
samping itu, ungkapan itu juga menyindir keberadaan orang pandai di suatu
tempat, tetapi tidak pernah keahliannya dimanfaatkan oleh dirinya sendiri
ataupun masyarakat di lingkungannya. Sehingga apabila kita merasa mampu,
diminta atau tidak diminta sebaiknya turun tangan pada yang membutuhkan. Ada
peribahasa lain mengatakan “sopo luwih
ora keno muni luweh” siapa yang berkelebihan apapun itu sebaiknya tidak
acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Dengan kelebiahannya membantu agar
bermanfaat bagi banya orang.
Yoga
Angangga Yogi
Artinya,
yoga (anak atau murid), anggangga (menyerupai atau meniru), yogi (pendeta). Terjemahan bebasnya anak
berbadan pendeta atau lebih tepatnya, cara berpikir dan berbuat seorang anak
atau murid yang banyak mirip dengan gurunya.
Peribahasa
ini menjadi peringatan besar utamanya bagi kita calon guru, atau siapapun yang kiranya
menjadi panutan di masyarakat. Contohnya seluruh kata dan perbuatan nabi dan
rasul akan menjadi panutan umatnya. Apabila pembenaran dan pengidolaan terhadap
guru atau tokoh panutan itu sudah sedemikian masuk ke dalam hatisanubari,
betapa bahayanya ketika hal-hal kurang tepat ditiru. Karena sebagai guru
sebaiknya berhati-hati dalam perkataan dan tingkah lakunya. Guru harus
benar-benar menjadi suri tauladan murid
maupun masyarakatnya.
Demikian
beberapa ulasan peribahasa jawa dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Peribahasa ini menjadi tolak ukur implementasi cita-cita pendidikan nasional
kita. Teori-teori pendidikan yang semua serba idealnya itu dalam menerapkan
perlu kecerdasan seorang ujung tombak pendidikan yaitu guru dengan pengetahuan
yang luas. Pada akhirnya, kenali dan pelajari budaya di lingkunganmu sebagai
bentuk identitas bangsamu dan jangan baru kamu sadari pentingnya ketika budaya
itu sudah tiada. (Anggar Ratman, PGSD 2010)
Komentar
Posting Komentar