Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2015

Sri Mengungkap Samar

Memahami pola pemikiran masyarakat Jawa klasik yang sederhana tidaklah mudah. Karena tidak cukup hanya pemahaman, yang diperlukan sampai pada tataran bentuk laku yang sudah menjadi praktik kebiasaan. Dalam sisi kosmologis manusia Jawa selalu berusaha mewujudkan harmonisasi kehidupan baik dalam artian jagad ageng maupun jagad alit tertampung dalam istilah memayu hayuning bawana , bawana ageng dan juga bhuwana alit . Kesadaran alam semesta dan pribadi sebagai semesta kecil. Atas dasar inilah kejawen lebih dekat kepada paham-paham sufiisme dan tasawuf. Kegiatan-kegiatan sufiistik dan upaya-upaya laku pembersihan jiwa batiniyah terangkum dalam kearifan lokal yang begitu kaya. Muqqadimah di atas pun sengaja diungkapkan sebagai upaya untuk membuat dasar pemikiran dari sudut pandang masyarakat Jawa. Itu hanya gambaran yang masih begitu umum belum masuk pada tataran bab dan sub bab disertai perasan-perasan ilmu kesempurnaan dalam istilah kejawen. Harmonisasi kehidupan kepada kesadaran k

Syukurlah Kita Masih Setengah-Setengah

Rasanya bahagia sekali. Bukan lagi sekedar ibarat mendapatkan durian runtuh, boleh jadi runtuh sekalian pohon, lahan, dan sertifikatnya. Bersyukur yang tiada habis melewati, meniti, mengarungi apa-apa saja yang telah terjadi. Walaupun satu dan dua hal ini serba setengah-setengah. Setengah bukanlah keragu-raguan. Setengah tidak berkaitan mantap atau tidak mantap. Ini hanya setengah sadar dan tidak sadar. Barangkali setengah bisa menikmati, setengah tidak begitu menyukai. Bolehlah di wilayah ini dua kubu sengit berdebat, bertukar pendapat, dan mencari sebab akibat. Tetapi masing-masing hanya akan melupakan setengah yang lain atau malah menyingkirkan setengah yang lainnya lagi. Seharusnya kita ini sudah memperoleh kenyamanan, ketentraman, dan kesejahteraan. Tiba-tiba dikejutkan dengan peristiwa yang ternyata menyita setengah waktu hari-hari kita. Menghabiskan setengah tenaga tubuh-tubuh kita. Menguras setengah pikir di kepala kita. Atau barang kali sudah memberangus setengah perasaan

Karaeng Galesong: Akankah Sejarah Terulang?

Setelah wafatnya Sultan Agung, Arya Mataram naik tahta dengan gelar Prabu Amangkurat I. Akan tetapi keberpihkan Amangkurat dengan VOC saat itu tidak membuat rayi dalem yaitu Pangeran Alit senang. Maka ada rencana kudeta terhadap pemerintahan Mataram. Tetapi penyerangan yang dilakukan Pangeran Alit santer terdengar. Ketika Pangeran Alit dan pasukan hampir menyerang Mataram dicegah oleh Adipati Sampang. Pangeran Alit murka kemudian membunuh Adipati Sampang, hal ini memicu orang-orang Madura yang tidak terima atas terbunuhnya Adipati Sampang. Naas kisah berakhir dengan pembalasan berakibat terbunuhnya Pangeran Alit. Kalau beberapa waktu ini saya mendengar istilah ontran-ontran yang ditujukan kepada Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, rasanya jadi ingin ikut berpendapat. Saya lebih suka menganalogikan dengan sejarah yang pernah dialami Mataram di masa lalu. Ontran-ontran , kekacauan, huru-hara, chaos , atau mau disebut apapun tidaklah begitu penting. Itu hanya anggapan kita sebaga