Rasanya bahagia
sekali. Bukan lagi sekedar ibarat mendapatkan durian runtuh, boleh jadi runtuh
sekalian pohon, lahan, dan sertifikatnya. Bersyukur yang tiada habis melewati,
meniti, mengarungi apa-apa saja yang telah terjadi. Walaupun satu dan dua hal
ini serba setengah-setengah.
Setengah
bukanlah keragu-raguan. Setengah tidak berkaitan mantap atau tidak mantap. Ini
hanya setengah sadar dan tidak sadar. Barangkali setengah bisa menikmati,
setengah tidak begitu menyukai. Bolehlah di wilayah ini dua kubu sengit
berdebat, bertukar pendapat, dan mencari sebab akibat. Tetapi masing-masing
hanya akan melupakan setengah yang lain atau malah menyingkirkan setengah yang
lainnya lagi.
Seharusnya
kita ini sudah memperoleh kenyamanan, ketentraman, dan kesejahteraan. Tiba-tiba
dikejutkan dengan peristiwa yang ternyata menyita setengah waktu hari-hari
kita. Menghabiskan setengah tenaga tubuh-tubuh kita. Menguras setengah pikir di
kepala kita. Atau barang kali sudah memberangus setengah perasaan di hati-hati
kita. Akhirnya menghentikan setengah perjalanan hidup kita.
Tetapi apa
yang mesti dilakukan hanyalah bersyukur. Bersyukur tidak terlibat rumitnya
peristiwa-peristiwa yang kabar beritanya mengusik kita. Bersyukur tidak terlalu
terimbas di dalam lingkaran masalah-masalahnya. Meski ternyata tidak terlibat langsung itu tanpa
disadari adalah bukti keterlibatan yang hanya setengah-setengah tadi. Dan yang
berbicara mengaku tidak peduli, ternyata adalah yang sejatinya menaruh
kepedulian. Tidak peduli dengan peristiwa yang terjadi tetapi sedang berusaha memperbarui.
Akhirnya ia pun juga peduli mengurai keruwetan dengan pembaharuan yang ia
kerjakan. Itulah keadaan saat ini. Dimana kita sedang berdiri. Mau tak mau
ternyata dipaksa melibatkan diri, sudah tentu dengan setengah hati.
Alhamdulillah,
bersyukur dilahirkan di tanah ini. Setengah tanah milik keluargaku sendiri,
setengah sisanya tergadai dengan negaraku sendiri. Akupun bersyukur lagi,
setelah kudengar ada yang berkata dari siaran di televisi “tidak ada milik pribadi di dunia ini, ini
semua pemberian dari yang sejatinya memiliki.” Itupun disampaikan
setengah-setengah. Faktanya dalam kenyataan setelah diberi kemudian ada yang diberikan
lagi cuma-cuma, disewakan, dijual, digadaikan, sisanya diinfaqkan. Akupun
bersyukur walau belum bisa membeli, menyewa, penawar lelang. Setidak-tidaknya
mendapat bagian pemberian dan infaq. Aku pun juga berusaha berinfaq sedekah
walau masih sebatas berbagi senyuman.
Aku mendengar
bahwa kita ini sedang hidup di suatu wilayah yang setengah-setengah pula. Ada
yang bilang negara setengah demokrasi sampai republik setengah mimpi. Aku tidak
terkejut atau harus kaget dan bereaksi mendengarnya. Wong dari dulu aku punya pemimpin
setengah-setengah untuk mengakuinya. Aku punya raja tetapi juga punya presiden.
Sudah biasa dicampur aduk dengan keadaan yang setengah-setengah. Melihat raja diperlakukan
seperti presiden pilihan rakyat. Dan melihat presiden seperti raja yang
bertahta dengan segala atribut dan
kekuasaannya. Sering melihat tetapi sering pula salah sudut pandang. Apa mau
dikata kan sistemnya juga masih setengah-setengah.
Sudah barang
tentu kita ternyata hanya jadi bagian setengah-setengah. Masih setengah tetapi
sedang terus berusaha menata dan bergerak memenuhi. Tujuannya bukan untuk
menikmati setengah di awal atau setengah di akhir. Ini semua bagian dari awal
dan akhir yang mesti harus dikerjakan. Dalam konteks sangkan menuju paran yang
satu kesatuan. Masihkah boleh menawar setengah-setengah lagi, sebagai kawula yang punya kesadaran manunggal.