Langsung ke konten utama

Syukurlah Kita Masih Setengah-Setengah

Rasanya bahagia sekali. Bukan lagi sekedar ibarat mendapatkan durian runtuh, boleh jadi runtuh sekalian pohon, lahan, dan sertifikatnya. Bersyukur yang tiada habis melewati, meniti, mengarungi apa-apa saja yang telah terjadi. Walaupun satu dan dua hal ini serba setengah-setengah.
Setengah bukanlah keragu-raguan. Setengah tidak berkaitan mantap atau tidak mantap. Ini hanya setengah sadar dan tidak sadar. Barangkali setengah bisa menikmati, setengah tidak begitu menyukai. Bolehlah di wilayah ini dua kubu sengit berdebat, bertukar pendapat, dan mencari sebab akibat. Tetapi masing-masing hanya akan melupakan setengah yang lain atau malah menyingkirkan setengah yang lainnya lagi.
Seharusnya kita ini sudah memperoleh kenyamanan, ketentraman, dan kesejahteraan. Tiba-tiba dikejutkan dengan peristiwa yang ternyata menyita setengah waktu hari-hari kita. Menghabiskan setengah tenaga tubuh-tubuh kita. Menguras setengah pikir di kepala kita. Atau barang kali sudah memberangus setengah perasaan di hati-hati kita. Akhirnya menghentikan setengah perjalanan hidup kita.
Tetapi apa yang mesti dilakukan hanyalah bersyukur. Bersyukur tidak terlibat rumitnya peristiwa-peristiwa yang kabar beritanya mengusik kita. Bersyukur tidak terlalu terimbas di dalam lingkaran masalah-masalahnya. Meski  ternyata tidak terlibat langsung itu tanpa disadari adalah bukti keterlibatan yang hanya setengah-setengah tadi. Dan yang berbicara mengaku tidak peduli, ternyata adalah yang sejatinya menaruh kepedulian. Tidak peduli dengan peristiwa yang terjadi tetapi sedang berusaha memperbarui. Akhirnya ia pun juga peduli mengurai keruwetan dengan pembaharuan yang ia kerjakan. Itulah keadaan saat ini. Dimana kita sedang berdiri. Mau tak mau ternyata dipaksa melibatkan diri, sudah tentu dengan setengah hati.
Alhamdulillah, bersyukur dilahirkan di tanah ini. Setengah tanah milik keluargaku sendiri, setengah sisanya tergadai dengan negaraku sendiri. Akupun bersyukur lagi, setelah kudengar ada yang berkata dari siaran di televisi  “tidak ada milik pribadi di dunia ini, ini semua pemberian dari yang sejatinya memiliki.” Itupun disampaikan setengah-setengah. Faktanya dalam kenyataan setelah diberi kemudian ada yang diberikan lagi cuma-cuma, disewakan, dijual, digadaikan, sisanya diinfaqkan. Akupun bersyukur walau belum bisa membeli, menyewa, penawar lelang. Setidak-tidaknya mendapat bagian pemberian dan infaq. Aku pun juga berusaha berinfaq sedekah walau masih sebatas berbagi senyuman.
Aku mendengar bahwa kita ini sedang hidup di suatu wilayah yang setengah-setengah pula. Ada yang bilang negara setengah demokrasi sampai republik setengah mimpi. Aku tidak terkejut atau harus kaget dan bereaksi mendengarnya. Wong dari dulu aku punya pemimpin setengah-setengah untuk mengakuinya. Aku punya raja tetapi juga punya presiden. Sudah biasa dicampur aduk dengan keadaan yang setengah-setengah. Melihat raja diperlakukan seperti presiden pilihan rakyat. Dan melihat presiden seperti raja yang bertahta dengan segala atribut  dan kekuasaannya. Sering melihat tetapi sering pula salah sudut pandang. Apa mau dikata kan sistemnya juga masih setengah-setengah.

Sudah barang tentu kita ternyata hanya jadi bagian setengah-setengah. Masih setengah tetapi sedang terus berusaha menata dan bergerak memenuhi. Tujuannya bukan untuk menikmati setengah di awal atau setengah di akhir. Ini semua bagian dari awal dan akhir yang mesti harus dikerjakan. Dalam konteks sangkan menuju paran yang satu kesatuan. Masihkah boleh menawar setengah-setengah lagi, sebagai kawula yang punya kesadaran manunggal.

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb