Langsung ke konten utama

Karaeng Galesong: Akankah Sejarah Terulang?


Setelah wafatnya Sultan Agung, Arya Mataram naik tahta dengan gelar Prabu Amangkurat I. Akan tetapi keberpihkan Amangkurat dengan VOC saat itu tidak membuat rayi dalem yaitu Pangeran Alit senang. Maka ada rencana kudeta terhadap pemerintahan Mataram. Tetapi penyerangan yang dilakukan Pangeran Alit santer terdengar. Ketika Pangeran Alit dan pasukan hampir menyerang Mataram dicegah oleh Adipati Sampang. Pangeran Alit murka kemudian membunuh Adipati Sampang, hal ini memicu orang-orang Madura yang tidak terima atas terbunuhnya Adipati Sampang. Naas kisah berakhir dengan pembalasan berakibat terbunuhnya Pangeran Alit.
Kalau beberapa waktu ini saya mendengar istilah ontran-ontran yang ditujukan kepada Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, rasanya jadi ingin ikut berpendapat. Saya lebih suka menganalogikan dengan sejarah yang pernah dialami Mataram di masa lalu. Ontran-ontran, kekacauan, huru-hara, chaos, atau mau disebut apapun tidaklah begitu penting. Itu hanya anggapan kita sebagai pengamat yang malah terkadang belum tau lebih tetapi melebih-lebihkan. Saya pun sama sebagai orang yang juga tidak lebih tahu. Tetapi kiranya bisa memetik pelajaran dari leluhur Kasultanan.
Mataram pasca lengser keprabon Raden Mas Rangsang mengalami keadaan gaduh baik di dalam sistem pemerintahan dan lebih-lebih di luar istana. Ada pemberontakan-pemberontakan dan penyerangan dari berbagai pihak. Raden Alit hanyalah salah satu bukti ketidakpuasan dengan kondisi di dalam sistem yang sedang dibangun Mataram era Amangkurat. Kemudian muncul masalah baru lagi ketika Pangeran Adipati Anom diketahui menjalin cinta terlarang dengan perempuan yang sebenarnya dipersiapkan untuk Ayahanda. Orang-orang memahaminya dengan sanepan bekisar betina berubah menjadi jantan. Kecurigaan yang berakibat pada perang saudara hingga Pangeran Surabaya dan keluarga besarnya terbunuh. Bahkan Adipati Anom di usir dari istana.
Tidak berhenti disana Pangeran Adipati Anom yang merasa sakit hati dengan ayahanda merencanakan siasat untuk mengkudeta Amangkurat I. Bertemulah dengan Pangeran Kajoran dan memerintahkan Turnajaya menjadi senapati perang dalam penyerangan tersebut. Turnajaya masih memiliki hubungan darah dengan adipati Sampang yaitu Cakraningrat yang wafat ketika harus mencegah pemberontakan Pangeran Alit. Walhasil penyerangan Turnajaya dan pasukan dari madura berhasil menaklukkan Ibukota Plered sehingga membuat Prabu Amangkurat harus melarikan diri.
Dalam kisah yang lain akibat kedekatan Amangkurat dengan VOC menimbulkan penyerangan dari salah satu kerajaan yang dahulunya memiliki kerjasama yang baik dengan Mataram. Kerajaan Gowa dibawah Sultan Hasanudin. Tersebutlah nama Karaeng Galesong Sang Penakluk Mataram. Bukan tanpa alasan tentunya Karaeng Galesong dan Gowa menjadi memusuhi Mataram. VOC dengan perjanjian Bongaya oleh Cornelis Speelman melemahkan kekuasaan Gowa dan membuat semakin terdesak. Dalam salah satu kisah dituturkan Prabu Amangkurat pernah menghina keadaan Kerajaan Gowa dan Sultan Hasanudin. Sebagai seorang Putra dari Gowa Karaeng Galesong tidak tinggal diam. Ia merasa bahwa VOC haruslah dilawan bukan dijadikan kawan. Maka melihat tanah Gowa yang habis dikuasai VOC, ia memilih untuk pergi mencari jati dirinyasebagi seorang Putra Gowa. Tidak ada tujuan lain selain ingin kembali merebut tanah kelahirannya. Berbagai cara ia tempuh termasuk menaklukkan Jawa dimana menjadi induk VOC sekaligus kroni-kroninya.
Ketika sampai di Jawa ternyata ia menemukan keadaan yang sama. Setelah ia berhasil menduduki sebagian wilayah Mataram yaitu Pajarakan. Di lain pihak taktik politik Adipati Anom untuk mengkudeta masih berjalan. Adipati Anom masih menjadi bagian dari istana tetapi dilain pihak ia juga bekerjasama dengan Turnajaya. Turnajaya yang sudah menjadi Pangeran Surabaya di luar rencana bertemu dengan Karaeng Galesong. Bergabunglah mereka dalam satu kekuatan untuk betul-betul menaklukkan Mataram. Setelah Turnajaya mempelajari gelagat yang sama dari Galesong yaitu kebencian kepada Amangkurat I karena sombong dan sadis terhadap rakyatnya serta keberpihakannya pada VOC. Untuk memperkuat persaudaraan dinikahkanlah Putri Turnajaya Maduretna dengan Karaeng Galesong.
Keadaan ini ternyata membuat Adipati Anom merasa dikhianati oleh Turnajaya. Adipati Anom tidak mempunyai daya lagi dan memutuskan kembali dengan Mataram dan ikut menerima mandat melawan Pasukan Sampang dan Makassar di bawah Tunajaya dan Galesong. Gabungan Sampang dan Makassar berhasil memukul mundur pasukan Mataram dengan meninggalnya Pangeran Purbaya. Pasukan Mataram pulang dengan kekalahan.
Dalam upaya menduduki wilayah Demak dan sekitarnya Turnajaya dan Gelasong mengalami kebuntuan maka mengalihkan tujuan untuk menguasai Jepara. Tetapi di luar dugaan VOC yang memng bekerjasama dengan Mataram menurunkan pasukannya menghadang pasukan gabungan Makassar dan Sampang hingga banyak prajurit menjadi tumbal. Serangan VOC masih bisa teratasi, setelah melintasi Jipang dan Jagaraga sampailah di Pajang . Pajang takluk kemudian bergerak ke wilayah Kajoran.
Untuk kali kedua Amangkurat harus mengungsi kembali akibat serangan dari Turnjaya dan Galesong. Ia bersama lima putranya pergi menuju wilayah Banyumas. Ini mejadi akhir Mataram pada Minggu 18 Sapar, tahun Be, musim ke dua, tahun 1600 (Sirna Ilang Rasane Bumi). Pada masa-masa selanjutnya keturunan dari Prabu Amangkurat yaitu Pangeran Puger dan Adipati Anom masing-masing naik tahta. Sebelum wafat yang konon diracun oleh Adipati Anom, Amangkurat berpesan kepada Adipati Anom agar kembali ke Mataram dan bekerjasama dengan VOC menaklukkan kakaknya Pangeran Puger yang telah lebih dahulu bertahta.
Mungkin kita menilai keadaan Mataram masa lalu ini akibat keguncangan sistem yang tercabik-cabik dari monopoli VOC dan upaya-upaya kolonilaisme yang lain. Apa yang sedang terjadi dengan Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saat ini tentu menjadi pertanyaan-pertanyaan. Dari semenjak keluarnya sabda tama hingga sabda raja malam menimbulkan kontroversi dan penafsiran-penafsiran yang beragam. Telaah terhadap poin-poin sabda dilakukan oleh beberapa ahli hingga muncul berbagai pemahaman. Itu menjadi khasanah pemahaman dan akan lebih jelas apabila sabda nanti pada waktunya akan diterangkan. Yang jelas itu menjadi urusan internal dalam kerajaan kalau kaitannya dengan penerus tahta. Atau kontroversi ini adalah bentuk upaya Sang Raja untuk menilai pendapat-pendapat kehendak rakyat. Tetapi apakah mungkin sabda dibatalkan kalau seandainya suksesi yang berlangsung mendapat penolakan dari para kerabat, abdi dalem, dan rakyat.
Tetapi saya tidak memiliki hak penilaian lebih jauh dengan  permasalahan ini. Ini menjadi paugeran dan tata cara yang sudah ada ketentunya. Karena setahu saya yang namanya sabda raja (sabda pandhita ratu) itu adalah saat sang raja duduk di bangsal kencana menghadap ke arah tugu dan merapi sebagi wujud manunggal, bahwa yang disampaikannya adalah wisik dalam artian tanpa pengaruh berbagai pihak semata-mata untuk kepentingan rakyat dan mendapat ridho Allah. Hanya saja sudahkah ridho itu didpat jika malah berakhir dengan asumsi-asumsi dan ketidaknyamanan.  Hingga muncul pertanyaan inikah tahta untuk rakyat seharusnya?
Kembali menilik pada sejarah saya lebih menelaah kepada adakah bentuk kekuatan semacam VOC baru yang sedang mencengkeram Kasultanan. Perjanjian-perjanjian, kesepakatan-kesepakatan dengan siapa menjadi pertanyaan, jika menilik hasil sabda raja yang ternyata mendapat penolakan dari rayi dalem. Seperti Amangkurat yang harus ditolak kebijakannya oleh rayi dalem sendiri. Ataukah Kasultanan perlu mendapat sentilan seperti sosok-sosok Galesong dan Turnajaya dalam bentuk yang lain. Pasukan Makassar dan Sampang seperti apa yang akan muncul dengan semangat-semangat Gowa dan gelora-gelora Madura. Tentu ini hanya perkiraan-perkiraan dan waktu yang akan menjawabnya. Kalaulah memang benar ada kekuatan VOC baru semoga kita mampu menghadapinya bersama-sama. Kalaupun Negara Bangsa dan tumpuan terakhir simbol jati diri bangsa seperti pusaka-pusaka adat dan budaya pun tak mampu mungkin telah tiba jangka-jangkanya. Saya pribadi masih kagum dengan Karaeng Galesong. Entahlah Karaeng, Daeng, dan siapapun itu menjadi peringatan dan pelajaran. Tentu bukan orang-orang yang akan segera muncul, entah mengaku-ngaku sebagai Karaeng atau Turnajaya tetapi bukan bertujuan memperingatkan dan menyadarkan malah semakin memperkeruhnya. 

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb