Memahami pola
pemikiran masyarakat Jawa klasik yang sederhana tidaklah mudah. Karena tidak
cukup hanya pemahaman, yang diperlukan sampai pada tataran bentuk laku yang
sudah menjadi praktik kebiasaan. Dalam sisi kosmologis manusia Jawa selalu
berusaha mewujudkan harmonisasi kehidupan baik dalam artian jagad ageng maupun jagad alit tertampung dalam istilah memayu hayuning bawana, bawana
ageng dan juga bhuwana alit. Kesadaran
alam semesta dan pribadi sebagai semesta kecil. Atas dasar inilah kejawen lebih
dekat kepada paham-paham sufiisme dan tasawuf. Kegiatan-kegiatan sufiistik dan
upaya-upaya laku pembersihan jiwa batiniyah terangkum dalam kearifan lokal yang
begitu kaya.
Muqqadimah di atas pun sengaja
diungkapkan sebagai upaya untuk membuat dasar pemikiran dari sudut pandang
masyarakat Jawa. Itu hanya gambaran yang masih begitu umum belum masuk pada
tataran bab dan sub bab disertai perasan-perasan ilmu kesempurnaan dalam
istilah kejawen. Harmonisasi kehidupan kepada kesadaran kawula yang manunggal,
harmonisasi dalam sangkan dan paran serta interval diantara keduanya. Dan
untuk menggalinya tidak cukup dengan satu cara. Untuk mencapai harmonisasi
dibutuhkan suatu keadaan konsisten sehingga tercapailah keteraturan (kosmos).
Dengan demikian
kita bisa memahami perlambang-perlambang yang sengaja diwujudkan dalam
kehidupan orang-orang jawa. Beberapa orang malah tidak mau kalau itu disebut
perlambang dan sekedar simbol. Orang jawa sebenarnya lebih menggambarkannya
kepada samudana (ungkapan tersamar), bukan sekedar simbol-simbol yang akan
berbahaya dalam praktiknya. Orang Jawa pun sebenarnya takut hanya terjebak
praktik simbolis kosong belaka tanpa menyadari sesuatu yang harus dipenuhi
sebagai artian sejati. Karena di masa itu sedang terjadi transisi kepercayaan
dan luar biasanya pengaruh kepentingan-kepentingan bangsa luar yang cukup
mengobrak-abrik keteraturan yang pernah ada dalam masyarakat jawa.
Warna-warni
ungkapan yang tersamar itu konon sebagai konteks unsur-unsur kehidupan sekaligus
bentuk harmonis dalam mengabdi kepada Tuhan. Harmonis dalam artian tidak egois
yaitu berusaha mengajak semua unsur alam semseta. Kita tentu pernah menemui istilah
ubo rampe, sesajen, dan sebagainya dalam kearifan lokal masyarakat jawa.
Implikasi sudut
pandang keharmonisan salah satunya tercermin dalam praktik petani Jawa. Dewi
Sri dan Betari Sri adalah salah satu ngkapan samar tersebut dari sekian banyak
ungkapan yang lainnya. Apa sesungguhnya Sri? Mengapa harus Sri? Sri sebenarnya
adalah gambaran untuk wahyu kesuburan. Ialah gambaran ritus kesuburan. Mitos tentang
Dewi Sri banyak dilestarikan. Terlepas dari cerita rakyat tentang Dewi Sri
sebagai sosok putri Prabu Mahapunggung Betara Srigati dari Kerajaan Medang
Kamulan, Sri adalah ungkapan yang
membutuhkan kejernihan sudut pandang. Sri hanyalah bentuk ungkapan syukur atas
berkah, karunia, dan limpahan rizki yang diberikan Tuhan. Namun jika memahami
cerita rakyat yang terwariskan tujuannya jelas diantaranya adalah bentuk
menjaga keselarasan dan kesimbangan (kosmos), memelihara serta mengusahakan tumbuh-tumbuhan
untuk kesejahteraan umat dan menyingkirkan hama-hama. Keterbatasan dalam mendongeng maupun
menyuguhkan cerita dalam berbagai karyalah yang mementokkan tradisi tersebut
seolah-olah menjadi sesuatu yang buruk dan sesat.
Begitulah nasib
Sri yang identik dengan upacara wiwitan tanam padi. Padi yang begitu mulia
dicurahi sri dan tak lain juga karena beras sebagai makanan pokok masyarakat
Jawa. Maka jika Sri itu simbolis seperti boneka maka bila ia terbuat dari tanah
liat atau ukiran batu, ia pun akan segera menghilang. Menghilang tergantikan
seperti sebuah boneka modern yang terbuat dari plastik. Sri yang berubah
menjadi Barbie Sri dengan ungkapan kenesnya
Life in plastic, it's fantastic! Maka
tak heran jika begitu buruknya perlakuan terhadap sri. Beras yang proses untuk
menjadinya begitu panjang terhina oleh isu murahan sri-sri plastik. Entahlah apa yang
sedang terjadi akhir-akhir ini. Tak perlulah khawatir dan galau ungkap beliau
menanggapi. “Jangankan plastik orang Jawa itu beling dan lampu TL neon dimakan
juga tidak masalah..”
Sri bagi
masyarakat jawa tetaplah sri. Sri, sir, Sirri. Alam Sirriyah yaitu alam Rahasia
yang begitu terang benderang. Melestarikan sri dan memaknainya hingga mendalam
sampai menemukan Sirrullah, Rahasia Allah.