Langsung ke konten utama

Perguruan Tinggi, Antara Minat dan Pilihan

Penerimaan mahasiswa baru bagi sebagian besar siswa lulusan SMA maupun SMK menjadi saat yang dinantikan. Fakta pada kurun waktu beberapa tahun terakhir keinginan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi sangatlah tinggi. Salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta menyebutkan bahwa calon mahasiswa baru yang mendaftar pada jalur SNMPTN mencapai jumalah 19.254 pendaftar dengan berbagai pilihan jurusan dan jenjang. Tingginya animo masyarakat ini tidak terlepas dari faktor perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin beragam dan kebutuhan dalam persaingan dunia kerja.
Tingginya keinginan masayarakat untuk belajar dan mendalami keahlian tertentu memang bentuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Akan tetapi perlu disadari bahwa tidak selamanya kemajuan ini menimbulkan dampak positif. Timbul pertanyaan “apakah semua lulusan perguruan tinggi terserap dalam dunia kerja?” Mengingat masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia, padahal sumber daya manusia yang ada sudah semakin berkualitas. Menjadi permasalahan adalah faktor ketersedian lapangan pekerjaan dan kesesuaian bidang keahlian. Tetapi ketika kita mencoba menelaah lebih mendalam masalahnya berada pada sumber daya manusia yang ada. Keinginan belajar di perguruan tinggi memang bisa muncul dari minat pribadi. Minat dari dalam diri ini dampaknya akan baik karena individu tersebut dalam menetukan perguruan tinggi dan bidang studi yang diambil sesuai yang ia inginkan. Tetapi yang terjadi terkadang memilih perguruan tinggi karena sekedar gengsi dengan melihat nama dan program yang favorit. Menjadi sangat berbahaya jika pilihan diambil karena faktor gengsi tanpa melihat latar belakang kemampuan intelektual maupun material. Bahkan jika datang dari keluarga yang berkecukupan materi, terkadang rela menggelontorkan dana yang tidak sedikit demi bisa masuk di sebuah perguruan tinggi. Sehingga terkadang niat untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi bukan karena minat pribadi tetapi lebih pada pilihan orangtua maupun pengaruh orang lain.
Fakta-fakta yang ada menunjukkan masih lemahnya kesadaran masyarakat mengenai esensi dari perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi diharapkan sebagai figur yang berkualitas dalam berbagai bidang keilmuan dan keterampilan yang dikuasai. Tetapi masih banyak yang menganggap bahwa orang berpendidikan tinggi sudah pasti bisa bersaing dan lebih sejahtera. Anggapan ini memang tidak sepenuhnya keliru tetapi jika masih terjadi ketidaksesuaian antara minat dan pilihan tujuan akan sulit tercapai. Seharusnya baik sebagai calon mahasiswa baru maupun orangtua harus sama-sama memiliki kesepahaman dalam memilih perguruan tinggi. Melanjutkan setudi di perguruan tinggi tidak hanya sekedar mencari sensasi dan gaya agar tidak tertinggal trend melainkan tujuan utamnya harus tercapai. Tujuan untuk menjadi lebih terdidik dan terampil sehingga bukan sekedar mampu bersaing dalam dunia kerja tetapi dapat menciptakan peluang lapangan kerja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang...

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupu...