Langsung ke konten utama

SEBUAH DILEMA KEPEMIMPINAN

Petruk Dadi Ratu, Petruk Dadi Asu
 Petruk dadi ratu bukanlah lakon yang dibuat-buat oleh dalang atau penulis naskah cerita pewayangan. Petruk sebagai abdi dalem dan cerminan rakyat jelata mungkin “ngimpi” jika menjadi seorang ratu. Namun kisah dalam pewayangan ini bukan sekedar lelucon untuk menghibur dan membesarkan hati orang miskin. Petruk disini adalah sebuah gambaran orang kecil yang kebetulan mendapatkan wahyu sebagai seorang ratu atau raja.
Raja yang seperti apa sosok petruk? Akankah pribadi petruk dengan “laku” hidupnya yaitu kebenaran, kejujuran, dan kepolosan tetap ada ketika menjadi raja? Ataukah kekuasaan mengubah petruk menjadi “asu” yang bisa menunjukkan keganasan? Pertanyaan ini muncul bila kita menerka  dan menghubungkan dengan fakta seorang ratu atau yang kita kenal dengan pemimpin saat ini. Selain itu hal terkecil ketika harus membawa dan memimpin pribadi masing-masing menjadi gambaran lain fenomena lakon tersebut.
Saya mencoba menggiring pemahaman untuk sejenak menelaah falsafah hidup yang bisa kita ambil dari cerita pewayangan “Petruk Dadi Ratu”. Cerita Wayang yang berkembang di Jawa Nusantara sejak berabad-abad silam menjadi penghantar teladan bagi orang-orang pribumi. Lakon Petruk Dadi Ratu bermula ketika pusaka Jamus Kalimasada pelindung para Pandawa tidak sengaja jatuh ke tangan petruk. Dikisahkan Raja dari Negeri Imaimantaka bernama Prabu Mustakaraja ingin menuntut balas para Pandawa karena telah membunuh ayah Prabu Mustakaraja yaitu Prabu Niwatakawaca. Maka diutuslah adik Mustakaraja yaitu Dewi Mustakaweni untuk merebut Jamus Kalimasada dari Puntadewa.
Dewi Mustakaweni menjalankan perintah kakanya dengan baik, ia menyamar menjadi Gatutkaca sehingga dengan mudah mengambil pusaka tersebut. Namun dalam perjalanan ketika Mustakaweni membawa lari pusaka tersebut, Bambang Priyambada putera Arjuna mengetahui yang membawa Kalimasada Gatutkaca palsu. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara keduanya, Mustakaweni yang terbang di angkasa lalu dipanah sehingga Jamus Kalimasada berhasil direbut kembali. Akan tetapi perkelahian keduanya tidak berhenti disitu sehingga kalimasada dititipkan kepada Petruk sosok abdi dalem yang terpercaya. Mustakaweni akhirnya berhasil ditangkap Bambang Priyambada dan mau bertobat untuk mengakui kesalahannya. Pertemuan kedua remaja ini ternyata juga menimbulkan benih cinta diantara mereka, Mustakaweni yang cantik dan pemberani itu kemudian diperistri oleh Bambang Priyambada dan tidak kembali ke Kerajaan Imaimantaka.
Sementara Petruk menjadi tergoda karena mengetahui pusaka yang dititipkan kepadanya sangat ampuh bisa mengangkat kewibawaanya. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang terjadi, Petruk mengambil kesempatan dengan mengambil dan menyembunyikan Kalimasada. Karena kemampuan dan pengaruhnya yang ampuh, maka dengan Jamus Kalimasada ia membangun istana yang diberi nama Lojitengara. Petruk mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Prabu Thongthongsot Welgeduwelbleh. Petruk segera terkenal diseluruh negeri. Tetapi petruk mencari gara-gara dengan statusnya sebagai raja ia ingin memperistri Dewi Banowati. Dewi Banowati adalah permaisuri Prabu Duryudana dari Hastinapura. Maka terjadilah pertempuran bala Kurawa dengan Prabu Welgeduwelbleh yang tak lain adalah Petruk. Semua bala Kurawa dengan mudah ditaklukan Petruk, Prabu Welgeduwelbleh dengan kesaktianya dapat mengalahkan semua bahkan ksatira Pandawa sekalipun.
Semua menjadi terganggu dengan munculnya raja baru yang suka mencari gara-gara ini termasuk Prabu Kresna. Dengan bantuan Semar, Prabu Kresna dapat mengetahui jatidiri Prabu Welgeduelbleh yang tak lain adalah Petruk. Maka diutuslah Gareng dan Bagong untuk menandingi kesaktian Prabu Welgeduelbleh. Akhirnya Gareng dan Bagong itu berhasil menurunkan tahta Prabu Welgeduelbleh. Petruk menjadi tak berdaya menghadapi kedua saudara kandungnya tersebut dan terbongkarlah penyamaran Petruk. Petruk segera bertobat dan mengakui kesalahanya dan mengembalikan Jamus Kalimasada pada para Pandawa yang memang berhak membawa.
Kisah Petruk Dadi Ratu tersebut sangat syarat makna apabila kita jabarkan secara lebih mendalam. Petruk menjadi raja itu perwujudan wahyu ningrat Jamus Kalimasada yang bisa membuat sosok siapapun bahkan abdi rendahan seperti petruk menjadi raja apabila dalam dirinya mengamalkan Kalimasada. Amalan-amalan tersebut berupa iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya kepada Rasul-Nya, Empat Kitab-Nya, dan beriman pada Qdha dan Qadar. Puntadewa yang sebelumnya bertahta dapat kehilangan Jamus Kalimasada inilah perlambang ketika pemimpin sehebat Puntadewa pun jika lalai akan amalan yang menjadi syarat memimpin, maka kekacauan akan muncul.
Begitu pula petruk yang awalnya pribadi yang memiliki laku benar, jujur, dan kepolosan maka wahyu ningrat melalui perantara titipan jatuh kepadanya. Tetapi apa yang terjadi ketika amalan itu tidak terjaga dengan baik barang titipan yang bukan haknya disikat. Tidak berhenti disitu dengan kekuasaanya Petruk menjadi sangat liar wanita yang tidak seharusnya didekati direbut juga layaknya asu yang sedang kalap. Petruk tidak menyadari bahwa pusaka hanya titipan dan bagaimana memperlakukan titipan. Menjadi refleksi kita semua apa yang tidak menjadi hak kita sebaiknya jangan coba-coba mengambil karena dampaknya berkelanjutan dan menimbulkan ketagihan. Bukankah yang terjadi sekarang kasus mencuri dalam bentuk korupsi dan uangnya untuk membeli kekuasaan, harta, bahkan mengoleksi wanita. Entahlah, cerita budaya ini sejak zaman para wali ada dan digunakan untuk memberi tuntunan tetapi “wolak waliking jaman” membuat manusia hanya sekedar belajar tidak pernah memahami walaupun itu budaya yang jelas muncul dilingkungannya, maka kemunduran yang kita rasakan.
Petruk yang mendapatkan wahyu ningrat kemudian mendeklarasikan dirinya menjadi raja dan menguasai apapun disekitarnya sejatinya belumlah menjadi raja. Di jawa ada istilah damper kencana semacam singgasana raja untuk mengkukuhkan tahta. Tetapi persitiwa yang terjadi ketika Petruk menduduki singgasana, ia pun terjungkal, diulanginya hingga beberapa kali tetap terjungkal. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Jawabanya ada pada syarat menduduki damper yaitu haruslah memiliki boneka yang bisa dipangku. Saat itu Petruk memerinthakan utusanya yaitu Bayutinaya titisan Anoman dan Wisandhanu titisan Wisanggeni untuk mencari boneka tersebut. Boneka tersebut ternyata menunjuk pada Abimanyu yang memang telah digariskan menerima “wahyu cakraningrat” yaitu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar. Dengan mudah Abimanyu dibawa oleh utusan Petruk ke istana Lojitengara.
Petruk kembali menduduki damper kencana dengan memangku Abimanyu dan terbukti tidak terjungkal. Saat itu Petruk menyadari bahwa seorang raja atau pemimpin adalah pribadi yang benar-benar terpilih. Petruk sebagai simbol seorang rakyat hanya memangku dan mengusung raja untuk menduduki damper kencana tahtanya. Damper kencana adalah perlambang tahta rakyat sehingga orang yang menduduki damper kencana adalah kepercayaan rakyat. Raja juga harus selalu menyadari bahwa dia duduk di singgasana membawa misi dan mengabdi sepenuhnya pada rakyat yang telah mengusung dan memangku dirinya. “Jadi raja itu takkan bisa menjadi raja kalau tidak dipangku kawula rakyat jelata seperti saya ini”, kata Petruk.
Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tidak dipangku rakyat yaitu Dasamuka yang lalim dan Duryudana yang serakah. Seperti halnya Petruk ketika menobatkan dirinya menjadi Penguasa Lojitengara yang tak pernah berhasil menduduki tahta yang sejati. Negeri Lojitengara kacau sampai-sampai minuman alkohol dihalalkan dan judi dijadikan olahraga nomer wahid. Banyak pemimpin berkuasa, tetapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya seperti asu yang sedang menunjukkan keganasan.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di