Permasalahan iklim yang
diprediksi muncul di abad 21 sudah mulai dapat kita rasakan saat ini. Di kota
besar misalnya, udara yang kita hirup sedikit mnyesakkan karena banyaknya
polusi udara terutama dari kendaraan. Minimnya ruang terbuka hijau juga sangat
berpengaruh terhadap kualitas udara di kota-kota besar saat ini. Sementara
hutan kita yang termasuk bagian dari paru-paru dunia semakin hari semakin
berkurang akibat pembukaan lahan untuk tanaman perkebunan yang tidak
terkendali. Bahkan sedang terjadi polusi asap akibat kebakaran hutan. Alih-alih
mencari keuntungan lebih, dampaknya tidak sebanding dengan keuntungan yang
diperoleh.
Contoh Hutan Gunungkidul |
Membahas mengenai hutan
dan keberadaan ruang hijau di Jogjakarta salah satunya berada di Kabupaten
Gunungkidul. Gunungkidul memiliki
kondisi geografis pegunungan didominasi ekosistem hutan dengan luas 13.000 Ha.
Mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah sektor pertanian. Sehingga
sangat memungkinkan apabila kabupaten yang beribukota di Wonosari ini
mengembangkan pembangunan berwawasan lingkungan hijau. Mempunyai luas lahan
yang cukup sekaligus masyarakat yang mampu mengelola lahan, maka perlu adanya
langkah pemberdayaan. Pertanian tetap diusahakan bagaimana pemerintah bisa
memberi kemudahan akses tani. Kemudian di lain pihak keberadaan ruang-ruang
yang gersang selama ini bisa dikelola masyarakat untuk tanaman kayu. Misal
disepanjang jalan-jalan desa, pekarangan rumah yang lebar, atau bukit-bukit
yang kurang produktif untuk pertanian. Sementara di kota baik kabupaten maupun
ibukota kecamatan yang lahannya masih memungkinkan lebih baik untuk RTH berupa
taman.
Langkah lingkungan
hijau ini demi kebaikan kondisi lingkungan, karena beberapa tahun ke depan
tentu Gunungkidul juga akan mengalami pembangunan yang mengarah ke modern. Oleh
karena itu jangan sampai terjadi keadaan rusaknya kualitas lingkungan termasuk
udara baru kita menyadari pentingnya penghijauan dengan pepohonan. Selain itu
kayu juga bisa dimanfaatkan untuk industri tanpa mengganggu keadaan hutan alami
yang ada di Gunungkidul.
Maka lembaga sosial
masyarakat, dinas terkait, dan khususnya pemerintah dalam hal ini bisa
menjalankan langkah-langkah strategis. Pertama,
inventarisasi yang berarti pencatatan atau pendaftaran. Pencatatan ini untuk
memperoleh data lokasi-lokasi yang strategis untuk lahan hijau tesebut
sekaligus menyesuaikan dengan keadaan masyarakat termasuk keterjangkauannya.
Tidak mungkin di lingkungan yang sudah padat penduduk seperti kota untuk
digencarkan lahan hijau pepohonan. Kedua,
eksplorasi yaitu penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan.
Berdasarkan data lokasi kemudian mencari lebih mendalam tentang kondisi lahan
atau mengeksplor termasuk mencari tanaman pohon yang sesuai di daerah itu dan
memetakan lebih lanjut. Selain fokus pada tanaman kayu juga pemberdayaan
mengenai kebun keluarga. Ketiga, konservasi
sebagai langkah terakhir yaitu pemeliharaan dan perlindungan sekaligus
pelestarian secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan. Setelah
menemukan lokasi yang tepat bekerjasama dengan masyarakat setempat menyepakati
beberapa aturan konsep lingkungan hijau. Masyarakat dilibatkan dalam penanaman,
pemeliharaan, dan nantinya pengolahan. Termasuk jika di lingkungan masyarakat
tersebut ditemukan pepohonan yang tumbuh alami
atau hutan tanpa kepemilikan pribadi maka tidak boleh untuk diusik
keberadaanya. Jika belum masuk wilayah konservasi bisa disepakati sebagai
konservasi lingkungan masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.
Berbagai upaya tersebut
bisa menjadi gambaran awal ketika ingin menjaga kelestarian di lingkungan
tempat kita tinggal. Upaya pencegahan lebih baik sekaligus untuk mengarahkan
pembangunan yang akan datang tidak melupakan faktor keberadaan lingkungan
hijau.
Komentar
Posting Komentar