Langsung ke konten utama

Ada Kampanye..


Partai.. 3x
Alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau,
Warna benderamu
Pelukismu agung siapa gerangan

Partai.. oh partai..
Ciptaan Tuhan
(Lagu Pelangi, pernah dinyanyikan oleh seniman ternama Alm. Harry Roesli)

Waktu saya anak-anak dulu setiap ada kampanye pasti nonton, kadang-kadang jauh sampai Jalan Kusumanegara dekat Kebun Binatang Gembira Loka. Dengan naik sepeda bareng teman-teman SD, kadang-kadang juga ikut-ikutan bawa atribut bendera partai yang diambil dari pinggir-pinggir jalan. Tidak lupa bekas gelas plastik air mineral atau botol plastik diselipkan di antara ban dan fork sepeda, biar mirip seperti kampanye beneran. Teriakannya masih polos “kampanye... kampanye... kampanye...” belum ada teriakan semacam janji politisi atau jargon kepartaian. Benderanya berwarna-warni tidak peduli lambang-lambang yang tergambar. Beberapa simbol jari hafal walaupun saat itu sudah tidak berlaku dengan adanya sistem multi partai. Konvoi dan arak-arakan selalu dinanti kehadirannya, semua menarik bagi anak seusia saya waktu itu. Dandanan para simpatisan kemudian maskot-maskot yang ditampilkan membius dan mengantarkan pada bayang-bayang sekilas “aku sesuk nek wes gedhe arep melu kampanye”.
Hasrat terpendam yang dirasakan oleh imajinasi anak-anak itu ternyata lebih gedhe daripada partai yang harusnya sudah lebih gedhe. Kampanye itu tujuan utamanya memperkenalkan dan menyadarkan akan suatu hal. Kampanye  partai berarti memperkenalkan partai tersebut kemudian menyadarkan masyarakat bahwa partai adalah alat perjuangan. Alangkah indahnya apabila proses politik yang berawal dari kampanye ini juga menjadi lebih gedhe atau beranjak dewasa. Anak-anak tidak pernah berbicara kepentingan yang ia tahu hanya kebersamaan untuk sebuah kebahagiaan persaudaraan. Anak-anak belum tahu beda bendera beda kepentingan, yang mereka tahu berwarna-warni itu indah. Anak-anak menyuarakan suara yang sama, kalau partai-partai sama juga suaranya tetapi biasanya dalam kurun waktu kampanye saja. Pasca kampanye entah kemana satu suara kepentingan rakyat itu??? Kampanye itu tidak ada arogansi lho, memperkenalkan bukan mengganggu dan menyadarkan itu bukan memaksa. Ternyata anak-anak lebih gedhe dari orang gedhe ya. J
Kampanye dalam pemilu sejatinya bukan ramai-ramainya konvoi, parade, atau karnaval. Walaupun ini juga merupakan proses yang harus dijalankan dalam kampanye terbuka. Yang sering kita jumpai di jalanan itu hanyalah semarak di permukaan atau hiburan semata, tujuannya agar mengenal kembali. Masyarakat jangan sampai berhenti pada ketertarikan sebuah atribut tetapi harus benar-benar mendalami bagaimana track record partai dan segala sumber daya di dalam kendaraan politik tersebut. Pelaksanaan kampanye di Indonesia terdiri dari dua tahapan. Pertama, bersifat skala kecil dan atribut seperti saat calon mengadakan pertemuan terbatas dan tatap muka untuk menyebarkan bahan kampanye berupa program-program. Kedua, pelaksanaan kampanye melalui rapat umum dan iklan media. Pada rapat umum inilah yang dibarengi dengan ramai-ramainya pengerahan masa.
Kampanye idealnya menuju sasaran yang dibutuhkan masyarakat, ketimbang uforia yang terkadang malah menimbulkan beberapa gangguan ketertiban. Belum lagi pemasangan atribut yang berlebihan sehingga menimbulkan sampah visual. Parahnya lagi tanaman di jalanan dijadikan landasan paku-paku atribut tersebut. Padahal pemimpin itu tidak hanya memimpin rakyat tetapi sesungguhnya semua makhluk. Pemimpin yang baik rakyat sejahtera, hewan aman, tanaman damai, bangsa lelembut pun tenang, dan alam seisinya akan turut mendukung. Itulah konsep pemimpin sejati yang mampu membawa diri dimana ia hidup.
Sekian tahun berlalu rasanya kampanye masih disertai konvoi yang begitu-begitu saja, malah rasanya kok semakin semrawut. Silahkan bagai partai untuk mengevaluasi hal itu, untuk diperbaiki setidaknya di kampanye pilpres yang akan datang. Sama-sama mengeluarkan dana lebih tepat sasaran apabila dalam kampanye umum lebih mengutamakan aksi-aksi sosial ketimbang kebisingan jalanan. Zaman sudah berkembang sudah sepantasnya cara-cara yang lama diubah dan lebih mencari kebermaknaan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb