Langsung ke konten utama

Dimana Letak Surga Pesepeda?


“If we’re going to talk about transport, I would say that the great city is not the one that has highways, but one where a child on a tricycle or bicycle can go safely everywhere”
(Enrique Penalosa)

Pernyataan Gubernur Bogota Ibukota Kolumbia periode 1998-2001 di atas rupanya menjadi trend moda transportasi di masa yang akan datang. Mengingat semakin hari kebutuhan akan kendaraan yang ramah lingkungan sangat dianjurkan. Berbagai teknologi kendaraan baru mengklaim menggembangkan mesin bebas emisi gas buang. Mulai dari teknologi hybrid, listrik, dan bahan bakar bio-energi mengiringi munculnya alat-alat transportasi saat ini. Namun tidak dipungkiri harga yang harus dibayar untuk bisa memperoleh teknologi tersebut tidaklah murah, sehingga tidak mungkin terjangkau semua kalangan. Termasuk nantinya apabila transportasi umum beralih secara besar-besaran tidak terbayang berapa biaya yang harus ditanggung. Semua ini juga pasti terjadi karena energi alternatif jelas dibutuhkan agar tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam berupa minyak bumi yang pada kisaran waktu tertentu diperkirakan akan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat di dunia. Rasanya sebuah quote di awal tulisan ini menjadi gambaran sederhana jika kota-kota itu ingin mewujudkan green city. Kerusakan udara sudah terjadi usaha-usaha konservasi tanaman itu jelas utama tetapi penyumbang rusaknya udara terbesar dari sisi transportasi ini hendaknya ditekan seminimal mungkin.
photo by ervadhi - kaliurang DIY

Surga pesepeda adalah sebuah istilah untuk menyebut tempat di mana memberikan akses dan ruang yang memberi kenyamanan bersepeda. Bersepeda tanpa berebut dengan pengendara kendaraan yang lain. Akses utama khususnya bisa dengan mudah menjangkau tempat umum sekaligus pusat pemerintahan. Mengapa harus sepeda? Jelas adanya bahwa inilah alat transportasi yang bisa dijangkau semua kalangan. Berkaca pada negara-negara lain yang mampu mengembangkan sepeda sebagai transportasi utama seperti di Jepang, Belanda, dan beberapa negara di Eropa menyediakan kesempatan seluasnya dan senyaman mungkin untuk bersepeda dalam berbagai aktivitas. Sebenarnya berbicara Indonesia sepeda sudah menjadi primadona di masanya yang lalu. Namun pembangunan transportasi ternyata melupakan akses untuk pesepeda ini sehingga tidak banyak kita jumpai lagi peminat transportasi berpedal nan menyehatkan ini. Inti transportasi adalah kenyamanan, sebagai contoh pemerintah ingin menekan kepemilikan kendaraan pribadi saat ini dan beralih ke transportasi masal. Nah, lihat transportasi masal yang kita miliki jelas lebih nyaman dan aman kendaraan pibadi maka sulit masyarakat beralih. Begitu pula sepeda apabila ingin dibangkitkan lagi sediakan ruang terbaik  dan terapkan kebijakan wajib bersepeda atau setidaknya terdapat jalur-jalur bebas dari  alat transportasi berbahan bakar.
Saya tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada kesempatan beberapa waktu silam sepeda digencarkan kembali oleh pemerintah Kota Yogyakarta. Akses-akses jalan untuk pesepeda disediakan dan program yang melegenda “sego segawe” didengungkan. Sepeda kanggo(sego) rutinitas di hari jumat untuk sekolah lan nyambut gawe (segawe). Sebenarnya di Yogyakarta sendiri penggiat sepeda itu sangat banyak terbukti komunitas penggemar sepeda jumlahnya ratusan dan eksistensi serta rutinitas mereka tetap terjaga hingga saat ini. Akan tetapi kembali lagi pada regulasi dan kesadaran yang kurang konsisten akhirnya membuat program untuk membangkitkan semangat gowes itu perlahan luntur. Jalur sepeda yang dikembangkan perlahan juga tidak bermanfaat lagi, sangat disayangkan dengan beberapa pembenahan lagi bisa saja kota di mana saya tinggal ini juga merupakan surganya pesepeda. Lalu bagaimana kota-kota lain? Rupanya semua ada keinginan menuju ke ramah lingkungan, terbukti dengan beberapa kota melakukan kebijakan “car free day” di hari tertentu. Termasuk pemuda-pemuda yang memberi tema untuk semangat bersepeda di jumat akhir bulan dikenal dengan “Last Friday Ride” di setiap kota termasuk Jogja. Kegiatan-kegiatan berupa kesadaran ini seharusnya mendapatkan perhatian serius apabila ingin mewujudkan kota yang hijau. Makna kota hijau seharusnya tidak berhenti di sisi perhatian pada pengembangan taman, konservasi hutan, dan program penghijauan melainkan transportasi juga cermin ramah lingkungan. Kita boleh sedikit berbangga di Jogja ini sepeda belum terlalu ditinggalkan bahkan di kota-kota kabupaten ada kelompok-kelompok gabungan komunitas dan club menyelenggarakan Wonosari Ngepit, Sleman Ngepit, Wates Ngepit, dan Bantul Ngepit. Berarti ada banyak harapan surga pesepeda itu dan semoga bisa tertular ke wilayah-wilayah lain.
Bayangan seperti panas dan berdebu atau pengap mungkin ada tetapi bukankah kejadian-kejadian itu juga karena banyaknya kendaraan yang menghasilkan emisi gas buang. Mari kita telaah sejenak dan sedikit menghubungkan dengan tata ruang dan tata wilayah. Seandainya mengembangkan jalur sepeda jelas tidak membutuhkan lahan yang besar tidak seperti highway untuk kendaraan seperti mobil dan motor. Untuk itu, dalam jangka panjang pembangunan jalur sepeda pastilah malah ada penghematan ruang. Ruang tersebut bisa diisi dengan pepohonan dan akses pejalan kaki bahkan ruang terbuka hijau, bak gayung bersambut semua berhubungan. Mumpung belum terlambat pembangunan ini khususnya di kota-kota kabupaten bisa diagendakan. Apabila di kota besar dirasa sulit untuk melakukan perubahan pembangunan jalan, mungkin dengan cara membebaskan beberapa jalur untuk tidak dilewati kendaraan bermotor. Becak, dokar, andhong, dan gerobak moda transportsi klasik ini apabila dikembalikan haknya juga semakin menarik mengusung kota hijau ramah lingkungan. Mungkin ulasan dibawah ini akan sedikit menggambarkan mengapa kita perlu segera menyadari pentingnya beralih ke moda transportasi yang bebas bahan bakar.

Migas Kacau...
Perlu disadari bahwa kita rakyat Indonesia seharusnya paham tentang gejolak yang terjadi tentang tidak stabilnya bahan bakar minyak. Sebenarnya jika mau mempelajari sebab-musabab kacaunya harga bahan bakar migas di negeri kita ini mengurangi konsumsi bbm adalah cara terbaik. Apa alasannya? Coba tengok UU No. 21 tahun 2001 tentang migas, pasti anda akan terbelalak dan disinal muncul carut marutnya pengelolaan migas di negara kita. Tahun 2014 ini sebagai puncaknya ketika pengelola migas bukan pertamina yang seharusnya sebagai BUMN menguasai hulu dan hilir pengelolaan migas. UU yang ada menempatkan Pertamina sebagai BUMN harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing dalam mengolah migas di tanah air tercinta ini. Analoginya seperti kita sedang membuat aturan bahwa kita sendiri tidak bebas mengelola sumber daya alam yang sejatinya milik kita, malah kita jual pada pihak asing sekaligus pengelolaannya diperparah menjual kembali kepada kita. Jatah pertamina itu tidak lebih dari 16% menguasai sektor migas di Indonesia. Inilah liberalisasi migas yang sebenarnya sedikit melenceng dari UUD 1945 bahwa SDA seharusnya dikuasai negara dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat. Jadi harga migas di Indonesia mengikuti harga Internasional. Sebenarnya apabila ditelaah lebih jauh lagi peran IMF ada dalam carut marut ini. Maka apabila ada usulan RUU Migas ini sangatlah tepat, kemudian muncul pengelola migas saat ini adalah SKK(Satuan Kerja Khusus) Migas yang menjadi harpan baru pengelola hulu pengganti pertamina walaupun belum apa-apa sudah tercoreng suap tender. Dengan kita kurangi konsumsi BBM sebagai bentuk ketidaksepakatan dengan kekacauan yang terjadi sekaligus sebagai usaha penyelamatan, sederhananya pihak asing telah menguasai pemasaran (hilir) maka jangan buat semakin menguntungkan mafia-mafia bisnis yang bermain di dalamnya.

Mengurangi konsumsi bahan bakar adalah salah satu cara terbaik menjaga bumi ini. Moda transportasi sepeda adalah alternatif yang bisa diambil oleh kota-kota besar di negeri permai ini. Surga pesepeda yang menyuguhkan keindahan alam, kenyamanan, dan kebersamaan sebenarnya ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekian J

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb