Langsung ke konten utama

Kalau Saja Kang Somad Presiden


Kang Somad adalah gambaran pemuda desa yang mengalami suatu ketimpangan sosial kehidupan di tengah arus perubahan zaman. Kisahnya berawal dari desa ketika orangtuanya terpaksa meninggalkan dirinya di kampung. Keadaan pertengahan tahun 1993 di Gunungkidul memang tidak menentu. Bapak Kang Somad saat itu sebagai tukang bangunan terkenal semakin lama semakin meredup tergeser munculnya pemborong-pemborong berlabel sekolahan. Sementara ibunya hanyalah seorang buruh tani lahan garapan milik lurah desa. Hasilnya tak menentu tergantung kedermawanan Ki Lurah. Walhasil keadaan itu memaksa orangtuanya merantau mencari pekerjaan dan penghasilan yang lebih layak untuk membiayai Somad dan adiknya yang masih bayi. Mungkin saat itu riskan dan gambling ketika orangtuanya akan membawa Somad merantau. Ya kalau langsung dapat pekerjaan, ya kalau rumahnya sudah menetap tidak pindah sana pindah sini.
Sejak usia 8 tahun Somad sudah hidup mandiri di pedesaan yang keras. Namun ditengah keterbatasan saat itu nyatanya Somad masih punya semangat melanjutkan pendidikannya. Hari-harinya selain sekolah di SD Inpres diisi dengan bekerja mencari kayu, sementara untuk makan hanya mengharapkan pemberian dari saudara-saudaranya. Uang kiriman yang diberikan diutamakannya untuk biaya pendidikan. Kang Somad mungkin menjadi salah satu contoh kehidupan di masyarakat kita di kala itu, bahkan mungkin saat ini masih bisa kita temui. Ketulusan hati Kang Somad menjalani kodratnya membuat ia tetap bisa hidup dan menghidupi kehidupannya di tengah himpitan keadaan. Ia berhasil memimpin dirinya sendiri, mengendalikan nafsunya, dan mengontrol kebutuhannya. Hidup mandiri tidak membuatnya lantas putus sekolah tetapi anak sekecil itu tetap mengutamakan sekolah. Terbukti ia menjadi satu-satunya sarjana di desa itu. Pemuda yang punya tujuan hidup tidak berpikiran sempit. Menjadi buruh pernah dilakoninya, cleaning service ia kerjakan demi menambal uang kiriman untuk menamatkan sekolahnya hingga SMK. Barulah ketika mahasiswa ia menyusul orangtuanya merantau dan ikut bekerja untuk biaya kuliahnya.
Kang Somad punya tujuan hidup yang jelas dan landasannya mantap. Ia punya keyakinan bahwa jalan pendidikan yang akan mengubah hidupnya, tidak tergiur teman-temannya yang sejak tamat SD pergi ke Jakarta mencari peruntungan. Seandainya Kang Somad presiden adalah sebuah representasi kebutuhan pemimpin bangsa saat ini. Bangsa Indonesia membutuhkan pribadi yang konsisten, berpikiran visioner, dan punya keraifan lokal. Apabila menengok kembali reformasi tujuannya diharapkan mampu membawa negara pada sistem demokrasi menyeluruh dan sekarang sudah memasuki tahun ke-16 sejak masa transisi. Masa transisi seolah hanya mengganti presiden tetapi tidak ada perubahan mendasar. Presiden konsisten pasti akan memegang teguh amanat reformasi. Pikirannya sudah jauh kedepan karena hanya bagaimana rakyat itu sejahtera. Seperti Kang Somad tidak pernah berpikiran dan bernafsu yang lain kecuali ia laku prihatin mempersiapkan masa depan dengan pendidikan. Presiden sebagai pemimpin juga harus punya kearifan lokal tidak perlu mengadopsi bangsa barat atau manapun. Harus punya keyakinan bahwa urusan dan masalah bangsa ya sejatinya dapat diselesaikan oleh bangsa itu sendiri. Agar tidak semakin banyak aset bangsa ini menjadi makanan ramai-ramai negara lain.
Rakyat Indonesia sudah mengalami pergantian beberapa presiden yang diharapkan mampu menjadi komando dan pemangku kepentingan bersama. Tentu sudah merasakan pula ada beberapa perbedaan ataupun hal-hal yang tetap masih menjadi permasalahan klasik. Bahkan mungkin permasalahan baru yang malah muncul. Pasca reformasi kita sedang membangun demokrasi yang harusnya berwawasan lokal sehingga tidak lepas dari Pancasila Dasar Negara, Konstitusi UUD 1945, cita-cita Bhineka Tunggal Ika, dan mewujudkan NKRI. Sangat berbahaya ketika demokrasi itu nampaknya semakin hari mengarah pada demokrasi liberal. Maka presiden seharusnya segera memperjuangkan untuk menyeimbangkan 3 hal penting yakni keperluan akan demokrasi dan legitimasi, kemajuan ekonomi sebuah negara, dan keutuhan sebuah negara. Demokrasi dan legitimasi akan dimiliki oleh pemimpin yang senantiasa menjaga kepercayaan rakyatnya. Oleh karena itu harus konsisten pada kepentingan rakyat.

Kemajuan ekonomi akan menyangkut pada kesejateraan sehingga pemikiran pemimpin yang visioner itu mengutamakan pada peluang-peluang ekonomi kerakyatan. Negara agraris dan kelautan ini harus kembali kepada asalnaya, karena kedepan Indonesia adalah lumbung bahan makanan di seluruh dunia. Selanjutnya keutuhan sebuah bangsa harus didasari oleh beragamnya budaya keraifan lokal yang terangkum dalam Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah cita-cita yang  masih harus terus diperjuangkan oleh segenap bangsa ini. Sosok presiden pemersatu yang mengenal bangsa ini tentu lebih optimis dalam menghadapi semua permasalahan. Namun kiranya perlu kita sadari bangsa ini sedang berproses dan kita semua adalah bagian dari proses tersebut. Sehingga pembenahan bukan saja menjadi tanggungjawab pemimpin si pemegang jabatan presiden melainkan tanggungjawab bersama. Reformasi adalah bentuk perubahan yang gradual, perlahan, dan cenderung pelan. Kita sebagai bagian bangsa ini apa salahnya jika belajar dari sosok Kang Somad yang nglakoni prihatin dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb