Langsung ke konten utama

Kemana Bangsa Ini Akan Dibawa?



Pesan Rudi Habibie
“Hakikatnya! Apakah kita akan memiliki Kebudayaan Nasional yang tinggi sebagai Kebudayaan Indonesia, ataukah Peradaban Indonesia. Satu hal penting adalah kemauan menanggalkan sikap sebagai bangsa pengemis, bangsa budak, atau bangsa kuli.  Dan pemimpin nasional, elite masyarakat wajib memberi teladan untuk hal itu.
Politik Uang yang hanya untuk mencapai kekuasaan yang dilakukan siapapun dari warga negara Indonesia, hanyalah melanggengkan jiwa pengemis, jiwa budak, dan jiwa kuli bagi bangsa sendiri. Itu berarti memang mereka tidak menginginkan terwujudnya sebuah Peradaban Indonesia, sebuah Kebudayaan Indonesia yang tinggi, kecuali kekuasaan yang Rakus dan Lalim



Kalimat yang tertulis dalam Buku Biografi B.J. Habibie ini rasanya seperti sentilan di tahun yang kabarnya tahun politik ini. Memang sepertinya bangsa ini sedang kehilangan jati dirinya. Bangsa yang dulunya punya semangat juang tinggi pantang menyerah melawan kolonialisme hingga 3,5 abad dan mampu memproklamirkan sendiri sebagai bangsa merdeka, seolah sedang terlena. Bangsa ini sedang terbuai dalam kenikmatan semu, tidak menyadari bahwa kemerdekaan di tahun 45 itu bukanlah puncak kejayaan bangsa ini. Tetapi saat itu adalah jalan pembuka menuju cita-cita nasional yang tertuang di berbagai landasan luhur bangsa ini yang dulunya dirancang oleh founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lantas kemana bangsa ini akan dibawa?
Negara ini negara demokrasi, kemana arah laju republik ini ya sistem demokrasi itu yang mempengaruhinya. Hanya saja tantangan demokrasi di Indonesia ini seperti adanya kelompok-kelompok sosial dan agama menganggap demokrasi adalah produk Barat yang kufur bahkan haram. Kelompok lain seperti kelompok Kiri yang tumbuh melalui gerakan politik radikal lebih mengutuk pada demokrasi liberal pada aspek neolib yang identik dengan kapitalisme. Tapi memang celakalah bangsa ini jika akan menuju pada demokrasi liberal. Tantangan-tantangan ini terjadi semenjak masa reformasi, tetapi ahli politik lebih menyebutnya redemokratisasi. Yang jelas transisi ini seperti main untung-untungan, banyak yang bilang demokrasi sudah berjalan, ada yang bilang ini mengarah pada demokrasi liberal. Penilaian-penilaian di awal masa transisi yang mengatakan demokrasi setengah hati karena pergantian pemimpin Suharto mundur tanpa syarat kemudian digantikan Habibie pula yang naik tanpa syarat. Seakan saat itu demokrasi belum seutuhnya dan belum punya identitas pijakan. Salah satu contohnya saat itu masih dilibatkannya militer dalam parlemen. Sebenarnya demokrasi bukan saja proses yang mulus dan gampang, sekali lagi untung-untungan. Kalu saja persiapan tidak matang hasilnya juga tidak memuaskan hanya sebatas permukaan. Hal-hal seperti reformasi, revolusi, restorasi sejatinya tidak bisa dilakukan tergesa-gesa tanpa mempersiapkanproses selanjutnya. Lihat saja revolusi industri di Inggris, Revolusi Perancis negara itu menyiapkanya bertahun-tahun. Kemudian yang baru-baru ini beberapa negara melakukan reformasi penggulingan rezim malah sampai berulang kali.
Aktor-aktor yang saat itu bermain mengusung reformasi apakah juga paham idealisme demokrasi yang seutuhnya? Kok sepertinya tidak sesuai, hasil yang seharusnya mengembalikan demokrasi seutuhnya yaitu semua berdasar kepentingan rakyat dan membawa kesejahteraan rakyat. Sepertinya setelah reformasi hanya semakin kental dengan peristiwa perebutan kekuasaan. Mungkin hal-hal seperti ini memang menjadi sejarah bangsa kita yang harus dilalui untuk menuju sebuah cita-cita luhur NKRI. Lalu, apa yang bisa kita lakukan saat ini? Di saat Apatisme semakin besar. Legitimasi pemerintah hilang.
Pemilu selalu diteriakkan menentukan perubahan nasib bangsa kedepan. Rakyat sudah bosan dengan kata-kata itu, rakyat sudah menganggap hanya obral janji calon penguasa. Seperti agenda 5 tahunan orang bagi-bagi uang, kaos, bantuan, konfoi, dan bikin panggung rakyat. Mungkin uforianya saja yang malah tiap 5 tahun ditunggu masyarakat perkara hasilnya masa bodoh. Belum lagi calon kebanyakan hanya cari popularitas sekedar mencari suara sebanyak-banyaknya, artis ramai-ramai terjun jadi politisi. Seharusnya partai jangan hanya kejar popularitas yang terpenting adalah kualitas. Tetapi karena kacaunya sistem yang ada hanya berebut kekuasaan, akhirnya banyak yang menghalalkan segala cara. Kalau saja sadar kepentingan rakyat tentu semua itu pada tujuan yang sama siapapun nantinya yang terpilih juga akan bekerja bersama-sama. Logika sederhananya demokrasi itu berasas kepentingan rakyat, berarti jelas partai sebagai saluran kepentingan rakyat tentu memperjuangkan kepentingan rakyat. Anehnya kok kalau di atas jadi beda, rakyat maunya sejahtera tetapi kebijakan seolah sama sekali tidak berpihak pada sejahtera itu.
Golput bukan jalan terbaik, asal memilih juga salah, memilih yang memberi bayaran juga tidak tepat. Mari menjadi rakyat pemilih cerdas, betul-betul memilih dengan saksama. Mungkin sebagian besar juga bingung yang baik itu seperti apa? Tentu yang tidak hanya tebar pesona tetapi benar-benar meyakinkan. Nyatakan saja ketika ada calon kampanye, berani atau tidak calon itu untuk membuat pejanjian datang ke wilayah dapil bukan saat akan pemilihan saja tetapi sesudah terpilih juga mau menyambangi sebagai seorang wakil rakyat. Tanyakan niat kongkritnya untuk wilayah, sederhana saja senjata rakyat saat ini adalah mengajak mereka berembug.
Lalu pemimpin atau yang sejatinya mewakili kepentingan rakyat itu seperti apa? Pemimpin hanyalah manusia biasa, semua bisa menjadi pemimpin setidak-tidaknya sudah mampu memimpin dirinya sendiri. Sehingga pemimpin atau wakil rakyat itu membutuhkan pamomong. Lalu siapa pamomong itu? dalam demokrasi pamomong adalah rakyat, seharusnya suara rakyat yang didengarkan tentunya melalui mekanisme seperti kepartaian, wakil rakyat di parlemen, lsm, media, dan lain sebagainya. Negara ini akan stabil bila rakyatanya sudah paham dan satu tekad untuk terus mengawal melalui cara apapun dan tentunya yang utama tetap panyuwun kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mereka yang sejatinya mudah meneriakkan itu tentu golongan menengah seperti sarjana, politisi, praktisi, pemikir, dan orang-orang yang peduli akan nasib bangsa ini, termasuk orang-orang yang berjiwa nasionalis. Sudah saatnya mereka mengemban amanah dari pemegang kuasa sejati yaitu rakyat jelata. Sudah seharusnya golongan menengah itu mulai sadar menjadi tumpuan rakyat. Analoginya rakyat jelata seperti Punokawan suaranya selalu dijadikan pertimbangan oleh para kesatria Pandhawa yang jujur, adil, bijaksana. Tetapi beda nasib dengan Togog dan Bilung yang suaranya juga konsisten tetapi para Kurawa yang licik itu tetap serakah. Pemimpin juga saatnya sadar bahwa mereka adalah Pandhawa sejati atau hanya Kurawa yang berbungkus Pandhawa. Sehingga kemana bangsa ini dibawa tanyakan kepada rakyat, kalau tanyakan pada pemimpin dan penguasa tentu mereka punya pandangan yang terpengaruh ego dan kepentingan pribadi termasuk golongannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb