Langsung ke konten utama

Narsis : Boleh atau Tidak?


Narsis akhir-akhir ini sering dikaitkan dengan sifat yang selalu negatif.  Mungkin kisah dari mitologi Yunani ini bisa sedikit menggambarkan bahasan mengenai narsis. Dikisahkan ada seorang pria yang berwajah sangat tampan bernama Narcissus. Ia merupakan anak dewa sungai Ciphissus buah pernikahan dengan peri cantik Liriope. Kegantengan Narcissus seolah menghipnotis seorang perempuan hingga tak mengherankan banyak gadis yang tertarik dan menaruh hati padanya. Namun, tak satu pun dari semua gadis yang memburunya itu dapat meruntuhkan hati Narcissus. Meski demikian, ada seorang gadis, Echo, yang jatuh cinta berat kepada Narcissus. Echo nekat sampai mengikuti Narcissus kemana pun ia pergi. Gadis ini selalu mengejarnya dan sangat berharap mendapatkan cintanya. Hal yang tak terduga si pria harapannya menampik cintanya sehingga membuat Echo putus asa. Gadis cantik ini pun masuk ke dalam hutan. Dikisahkan, lama kelamaan tubuhnya menghilang dan yang tinggak hanya suaranya yang selalu meratapi nasib karena cintanya ditolak.
Kesedihan yang tak berujung itu membuat Dewi Nemesis berempati. Nemesis melancarkan mantra saktinya yang ditujukan pada Narcissus agar pria tampan itu hanya mencintai dirinya sendiri secara berlebihan. Suatu hari ia sedang berjalan-jalan menyusuri sungai, tanpa disadari Narcissus melihat wajahnya sendiri yang sangat tampan di permukaan Sungai Styx. Ia terkejut ketika melihat ada wajah tampan muncul dari permukaan air sungai yang sebenarnya wajahnya sendiri. Lalu narcissus berusaha untuk mencium bayangan wajahnya yang tampak baginya sangat menarik. Hal fatal terjadi karena menelongok terlalu dalam ia tercebur ke sungai hingga tewas.
Dari kisah inilah muncul istilah narsissme  yaitu sebagai perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang sering mengalami gejala seperti ini sering diistilahkan dengan narsisis (narcossist). Istilah ini muncul dikenal oleh filusuf Sigmund Scholomo Freud pendiri ilmu psikoanalisis dalam ilmu psikologi. Freud mengemukakan kisah pria dalam mitologi Yunani itu sebagai asal usul teori tersebut.
Narsis bentuk terlalu memanjakan dan mencintai diri sendiri itu dapat mendatangkan bahaya. Bahkan sangat berbahaya karena akan berkaitan dengan motivasi dan semangat. Anda yang mencintai diri dengan berlebihan bisa mengalami kebuntuan kreativitas dan semangat untuk maju karena terlalu bangga. Akan ada rasa dan pikiran yang hanya membandingakan dengan orang lain dan menganggap dirinya terbaik. Otomatis membuat orang itu tidak mudah untuk bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang, hanya tertentu yang dianggapnya sesuai. Orang Jawa biasanya lebih kenal dengan istilah “kemaki” untuk anak laki-laki dan “kemayu” untuk perempuan. Kemaki dan kemayu adalah sikap yang tidak wajar menunjukkan dirinya tidak mudah bergaul dengan strata sosial pada umumnya. Saat ini di lingkungan kita narsis dikaitkan dengan gaya orang yang sering berfoto dan menunjukkannya pada khalayak melalui berbagai media. Sampai pada fenomena selfie dan hadirnya tongsis (tongkat narsis). Padahal tidak meleulu foto yang bisa dikatagorikan narsis, sikap selalu ingin tampil dan memaksakan mendapat pengakuan juga bisa dikatakan narsis. Sehingga narsis seharusnya dipahami dari hal-hal yang menonjolkan pribadinya dengan berlebihan dalam intensitas yang panjang.

Tetapi narsis ini juga sifat alami manusia menunjukkan rasa menghargai dan mensyukuri apa yang ada dalam dirinya kepada Sang Pencipta. Memiliki sikap narsis dalam skala yang cukup dan standar akan membuat persepsi seimbang dalam berhubungan dengan orang lain. Kemudian juga tidak mengalami over confident yang juga membuat orang di sekitar anda merasa kurang nyaman. Selain itu dengan narsisme yang wajar, dalam hidup juga tidak bergantung pada standar yang dinilai oleh orang lain untuk membuat diri Anda bahagia. Narsis sejatinya boleh-boleh saja jika dapat dikendalikan dengan baik karena bagian dari perilaku yang sehat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb