Tahun 2013 menjadi sejarah baru
dalam pendidikan Indonesia. Kurikulum 2013 diimplementasikan dengan mengusung
tema tematik terintegrasi kemudian pada pertengahan Agustus yang lalu
pemerintah mencanangkan PPG (Program Profesi Guru). Adanya perubahan yang cukup
mendasar dari unsur utama pendidikan ini karena pemerintah menilai rendahnya
kualitas pendidikan saat ini. Kurikulum baru diharapkan mampu mengusung misi
kemajuan pendidikan dengan proses yang berbeda. Pembelajaran bertema dan syarat
muatan karakter menjadi unsur pokoknya. Dengan kurikulum 2013 kabarnya siswa
tidak akan terbebani oleh materi ajar yang berat, semua materi pelajaran
terangkum dalam satu tema yang bisa diselesaikan dalam satu pekan atau lebih.
Demikian gambaran dalam pelaksanaanya yang mengedepankan pendidikan karakter
dalam proses pembelajaran dan diwajibkannya kembali kegiatan kepramukaan.
Tetapi permasalahnya ketika berbicara sistem evaluasi, kurikulum otomatis
mengubah proses pembelajaran tetapi cara evaluasi masih tetap sama. Logikanya
cara yang ditempuh berbeda kok alat ukurnya masih sama?
Kemudian permasalahan karakter, coba
saja kita pahami bagaimana mengajarkan karakter itu. Sudah tentu semua akan
memiliki jawaban yang beragam tetapi jawaban tersebut hanyalah sekedar teori
mutlak. Pada dasarnya karakter tidak dapat diajarkan atau bersifat hafalan
namun pembentukan karakter ini dimulai sejak siswa sebelum memasuki pendidikan
formal. Sekolah hanya berperan kecil dalam urusan ini, selebihnya pola didik berupa
contoh perilaku untuk siswa di keluarga dan masyarakat yang lebih dominan.
Pengaruh dari luar saat ini sangat luar biasa terutama media elektronik yang
menjadi genggaman sehari-hari. Sepertinya pengusaan teknologi kita adalah
penguasaan permukaan yang dipaksakan. Sehingga yang terjadi teknologi seperti
sekat individu dengan Tuhannya. Orang-orang sudah beragama tetapi prilakunya
menjadi manusia saja belum, dan faktor pemicunya adalah arus negatif teknologi
yang tak terbendung. Sudahkah kurikulm terbaru ini memperhatikan pencegahan
infeksi negatif teknologi informasi?
Ditengah masih rancunya
pelaksanaan kurikulum 2013 tiba-tiba terdengar ketok palu terhadap Permen 87
Tahun 2013 tentang kebijakan Pendidikan Profesi Guru. Polemik baru muncul
dikalangan calon pendidik utamanya yang menempuh jalur pendidikan keguruan.
Syarat menjadi guru PNS sebelumnya harus mengantongi sertifikat lulus Pendidikan
Profesi Guru (PPG). Kemudian di pasal 1 ayat 2 Permen tersebut ada redaksi yang
menyatakan “program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan
mempersiapkan lulusan S1 kependidikan dan S1/DIV nonkependidikan yang memiliki
bakat dan minat menjadi guru untuk menguasai kompetensi secara utuh”. Cukup
mencengangkan karena jelas seorang sarjana (BACA S.Pd) harus bersaing dengan
sarjana ilmu murni yang berminat menjadi guru. Ada fakta kualitas guru dari
program kependidikan dinilai kurang mumpuni sehingga apabila ada dari lulusan
ilmu murni lebih baik ya tidak masalah menjadi guru karena untuk kebaikan
pendidikan. Namun alasan ini agaknya kurang tepat apabila ditinjau dari
berbagai aspek.
Ada beberapa hal yang seharusnya
menjadi pertimbangan dalam menerapkan kebijakan PPG ini. Pertama kebijakan
sertifikat PPG sebagai syarat CPNS sebenarnya tujuannya sangat baik karena untuk
menjaring guru yang benar-benar berkualitas. Padahal ketika berbicara PPG
tentunya muncul permasalahan biaya yang ditanggung untuk menempuh pendidikan
profesi. Kabarnya biayanya cukup mahal untuk menempuh PPG selama satu tahun
ini. Target PPG untuk bisa dinyatakan lulus adalah bisa menguasi Subject Spesific Pedagogy (SSP Workshop),
Teaching Practicum, Competency Test. Dari segi biaya jelas masalah baru
bagi yang memang kurang mendukung dari segi keuangan. Sebenarnya ada program
seperti SM-3T yang nantinya setelah selesai mengikuti program dapat menempuh
PPG dengan gratis. Tetapi kuota SM-3T juga terbatas selain itu butuh
pengorbanan yang tidak sedikit untuk mengajar di wilayah yang tergolong
terpencil.
Kedua kebijakan PPG juga bisa
ditempuh oleh pemegang ijazah sarjana ilmu murni. Inilah bentuk menempuh jalur
instan untuk menjadi pendidik. Pendapat bahwasannya sarjana ilmu murni kualitas
pengetahuannya lebih mumpuni dan kemapuan mengajarnya bisa lebih baik itu di
satu sisi memang benar. Akan tetapi ini seolah-olah melemahkan lulusan sarjana
kependidikan, seorang sarjana kependidikan harus menempuh pendidikan selama
kurang lebih 4 tahun dengan tambahan PPG. Sementara seorang sarjana non-kependidikan
untuk menjadi calon guru dapat ditempuh instan 1 tahun melalui. Kompetensi
pedagogia, personal, sosial, dan profesional seorang guru rasanya tidak mungkin
dipelajari hanya dengan 1 tahun. Logikanya yang sudah mempelajari 4 kompetensi
tersebut selama 4 tahun di program kependidikan saja masih dinilai perlu mengikuti
PPG untuk mendalami. Sementara yang belum pernah mengenyam 4 kompetensi itu apa
mungkin dalam 1 tahun bisa mengejar lebih mendalam. Ini menjadi semacam tidak
berfungsinya lulusan kependidikan karena hanya setara dengan orang non-kependidikan
sehingga masih harus menempuh program profesi. Padahal guru bukan perkara
megajar, yang terpenting mendidik dan disitulah pengetahuan mengenai psikologi
pendidikan, landasan pendidikan, pemahaman mengeni siswa, dan pendukung lain
sangat berperan. Rasanya kebijakan ini menjadi sangat tidak adil untuk seorang
sarjana kependidikan. Adakah hubungan ketidakberdayaan pemerintah untuk membuka
lapangan pekerjaan pada lulusan sarjana? Pengangguran dengan kualifikasi
sarjana memang tinggi dan kebetulan permintaan menjadi guru sedang
besar-besarnya. Semoga saja bukan itu tetapi benar-benar mengejar guru
berkualitas, tidak sekedar mengejar kuantitas yang instan. Gambaran kurikulum
2013 dan kebijakan PPG tersebut adalah bentuk pendidikan kita yang reaktif dan
instan. Pertama, menghadapi permasalahan bangsa mengenai masalah akhlak dan
moral anak bangsa dengan reaktif mengubah kurikulum. Padahal sistem di dalam kurikulum
2013 apabila dipelajari asal usulnya kabarnya sudah berkembang di eropa tahun
60an. Kedua, permasalahan kualitas guru dan kurangnya tenaga guru ditanggapi
dengan instan membuka program profesi guru.
Sebenarnya sisi reaktif dan instan
ini juga telah muncul lebih dahulu ketika ditetapkannya program untuk mensejahterakan
guru melalui sertifikasi. Reaktif dalam pengertian bahwa ada semacam
pengambilan keputusan yang gegabah akibatnya ditanggapi masyarakat dengan
ramai-ramai menjadi calon guru. Apakah minat yang tiba-tiba luar biasa ini satu
rekasi akibat profesi guru dengan tunjangan sertifikasi? Jawabannya semua guru
maupun calon guru yang mengejar sertifikasi tentu punya maksud dan tujuan
masing-masing. Sisi baiknya dengan semakin banyak guru maka pemerataan
pendidikan mungkin kedepan bisa lebih setara. Di sisi lain kualitas masih
menjadi pertanyaan juga apabila melihat reaktifnya perguruan tinggi dengan
ramai-ramai ikut membuka program keguruan. Banyak yang beranggapan untuk menjadi
guru cukup mengajar sementara mendidik terabaikan. Padahal sejatinya guru lebih
kepada pengabdian dan panggilan jiwa untuk membentuk siswa. Mohon maaf untuk
para pendidik, mungkin beberapa pendidik atau calon pendidik sudah mengabaikan
pengabdian.
Fakta yang ada kesejahteraan guru
melalui sertifikasi yang diharpakan akan meningkatkan kualitas guru justru
nyatanya tidak seperti itu. Tunjangan sertifikasi harapnnya benar-benar
dimanfaatkan guru untuk menunjang kualitas dan keterampilan guru tetapi
ternyata sebagian besar hanya untuk mengejar pemenuhan kebutuhan diluar
profesinya. Memang tidak bisa disalahkan melihat kondisi saat ini dihimpit
dengan berbagai kebutuhan yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Perlu kita
sadari kemajuan pendidikan juga jangan berfokus pada pembenahan sektor
pendidikan saja tetapi semua lini kehidupan bangsa ini juga harus bersinergi berbenah.
Inilah dangakalnya kita dengan cita-cita reformasi yang sebenarnya perlahan,
gradual, dan cenderung pelan. Tetapi pendidikan malah seakan reaktif
terburu-buru untuk berubah secara massive. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan
malah membuat pendidikan ini tergopoh-gopoh karena reakif dan instan.
bahasan menarik
BalasHapus