Langsung ke konten utama

Rakyat Cerdas Punya Wakil Cerdas


Birokrasi adalah sumber kekuasaan bagi kelas yang dominan secara politik, dan menjadi sumber jaminan kesejahteraan bagi sebagian besar kelas menengah tetapi menjadi sumber penindasan bagi kalangan-kalangan lainnya dalam masyarakat.
(Eva Etzioni-Halevy)

Demokrasi dan birokrasi merupakan dua hal dalam pemerintahan sebuah negara yang tidak dapat dipisahkan. Melihat birokrasi adalah kesatuan atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan mengatur dan tentu tidak terlepas dari unsur-unsur politik didalamnya. Unsur-unsur politik itu bisa berupa politisi dan partai politik sebagai wadahnya. Dari sini kita akan sedikit mengurai tentang politisi. Politisi dalam sistem pemerintah sebagai individu-individu yang memiliki jabatan (birokrat) yang tidak lain adalah tokoh-tokoh politik. Tokoh politik yang dikenal dengan sebutan politisi ini dalam negara demokrasi adalah sebagai wakil rakyat baik dalam lembaga ekskutif maupun legislatif.
Sistem pemerintahan Indonesia saat ini berbentuk demokrasi yang berlandasakan Pancasila dan UUD 1945. Dalam sejarahnya Indonesia berulang kali berubah sistem pemerintahannya, utamanya pada era awal kemerdekaan. Pemerintahan presidensiil, parlementer, demokrasi terpemimpin, hingga pada demokrasi khusus yaitu demokrasi saat ini yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Mengambil makna tentang demokrasi dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 berarti menempatkan kedua pilar bangsa itu sebagai acuan dalam pemerintahan. Jika kita mencoba melihat pada sisi sila-sila pancasila, rumusan pancasila memang sudah sangat demokratis yaitu utamanya tentang kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan perwakilan. Makna dalam sila pancasila secara tidak langsung telah melaksanakan sebuah sistem demokrasi. Tinggal bagaimana melihat pemerintahan atau birokrasi dalam negara sesuaikah dengan nilai-nilai pancasila. Kemudian di dalam UUD 1945 juga sangat jelas mengatu hak dan kewajiban sebagai bangsa.
Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi acuan dalam terselenggaranya tatanan pemerintahan dan kenegaraan. Pribadi dan individu harus sesuai dengan nilai pancasila guna mewujudkan karakter bangsa. Berbicara individu dalam pemerintah dan birokrasi akan kembali pada sosok pemimpin dari kalangan politisi. Keadaan politik di Indonesia akhir-akhir ini memang kurang kondusif, dari berbagai permaslahan dan kasus banyak menyangkut tokoh-tokoh politik. Elit politik di negeri ini tak ubahnya manusia tak berguna karena kritik dan cemooh terjadi dimana-mana. Di lain pihak negeri ini sedang mulai berbenah dalam hal sumber daya manusia.
Sesuai tujuan negara yang termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat bagian kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan ini dalam artian yang luas aspek dan unsur kehidupan bangsa ini harus memberikan pelajaran yang baik. Mencerdaskan kehidupan tentunya bisa dengan dasar nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter. Berkarakter berarti meiliki budi pekerti luhur, baik dalam beringkah laku dan bersosialisasi. Salah satu hal yang ditempuh yaitu mengembalikan manusia Indonesia yang utuh yaitu menggalakan pentingnya pendidikan karakter. Memang sangat penting adanya pendidikan karakter dalam suasana yang kurang kondusif agar memberikan pencerahan. Fenomena saat ini memang unik banyaknya orang terpelajar namun kerusakan moral juga semakin menjadi, yang bisa saja diakibatkan pengaruh ketidakberesan sistem. Compang-campingnya keadaan tidak akan pernah terlepas dari sistem pemerintah yang menaungi. Sudah barang tentu politisi dan elit politik memegang peranan penting dan sangat berpengaruh.
Elit politik sering menjadi harapan karena mereka sosok dan figur pilihan rakyat dalam negara demokrasi. Sehingga untuk membawa pada bangsa yang berkarakter pendidikan memang bisa memegang peranan utama. Pendidikan jangan dipandang sempit terbatas di sekolah. Elit politik dan pemimpin saat ini juga menjadi bagian dalam pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan keteladanan. Mencerdaskan kehidupan bangsa pemimpin tentu figur yang cedas dan mencerdaskan. Dalam posesnya menjadi pemimpin tidak sekedar membodohi dengan mengiming-imingi rakyat yang nantinya ia pimpin. Maka perlu waspada akan bentuk politik-politik pencitraan. Parahnya kalau pemimpin dan wakil rakyat sudah berpinsip “yang penting jadi pemimpin dulu, urusan bagaimana memimpin itu besok”
Sehingga jangan terlalu menaruh kepercayaan dan harapan yang lebih pada satu sosok dan figur sebelum anda terlalu kecewa dibuatnya. Jadilah rakyat yang lebih cerdas dan berpengaruh sehingga mampu menjadikan pemimpin betul-betul cerminan wakil rakyat. Rakyat Indonesia ini sangat bisa untuk menjadi kontrol pemeintahan jika memiliki tekad kemandirian bersama. Si wakil rakyat dan pemimpin juga jangan jumawa ketika menjabat lupa kepada rakyat tanpa dipangku rakyat belum tentu bisa duduk di singgasana kepemimpinan. (klik untuk baca dilema kepemimpinan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb