Langsung ke konten utama

Baratayudha Dan Hakikat Hidup


Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan.
Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan diketahui pada detik-detik berlangsungnya perang Baratayudha di Padang Kurusetra. Dikisahkan Prabu Krisna sebagai penasihat keluarga Pandawa berusaha melihat kitab Jitabsara untuk mengetahui nasib Pandawa dalam Baratayudha. Prabu Krisna melakukan meditasi untuk menembus khayangan Suralaya tempat bersemayam para dewa untuk melihat isi Kitab Jitabsara. Tujuan terbesarnya ingin membawa Kitab Jitabsara tetapi ia juga menyimpan misi lain untuk sedikit mengubah jalan cerita dalam kitab. Ia berubah menjadi kumbang dan menumpahkan tinta ketika Batara Narada akan menuliskan nasib Antareja dan Baladewa. Dalam beberapa versi diceritakan gelagat Krisna di kayangan tercium yang mengaku sebagai Sukma Wicara sehingga hampir mendapat hukuman.
Kitab itu berisi nama-nama ksatria dalam kubu kurawa dan pandawa yang gugur di medan perang. Dengan pengetahuan itu Prabu Krisna sebagai penasihat pandawa akan lebih mudah mengatur siasat perang. Setelah berhasil membawa Kitab Jitabsara Prabu Krisna sebenarnya sudah berusaha mengajak pihak kurawa untuk membatalkan Baratayudha. Tetapi itu semua juga tidak berhasil karena semua juga sudah tertulis dalam Kitab Jitabsara. Perang tetap akan terjadi, kemenangan juga sudah dipastikan dari pihak Pandawa. Kemenangan sudah didapatkan tetapi kodrat dan nasib harus tetap dijalani untuk menuju kemenangan tersebut.
Dalam kehidupan kita ini ada kiranya perlu menyadari bahwa kodrat kita termasuk nasib sejatinya juga sudah dituliskan sebelum manusia memiliki jasmani hadir di rahim ibundanya. Diri manusia sebelumnya telah bersumpah dan bersaksi sebagaimana Q.S. Al-Araf: 172, Dan ingatlah ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” “Benar! Dan kami bersaksi. Tepatnya di baitul ma’mur (rumah sebagai tempat keinginan) manusia bersumpah untuk setuju menjadi wakil Allah di muka bumi.
Baitul ma’mur juga digunakan sang diri teken kontrak tentang kehidupan yang akan dialami di dunia ini. Mereka menyadari semua yang akan diembannya, kontrak hidup sengsara adapula kontrak menjalani hidup bahagia. Semua disetujui saja karena belum ada beban jasmani maupun hawa nafsu yang mempengaruhi. Lah, enggak enak dong yang dapet sengsara? Perlu disadari teken kontrak ini merupakan perjalanan kehidupan kita yang panjang. Perjalanan dengan mengemban tugas kita ini nantinya juga kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa “Inna lillahi wa inna ilayhi rojiun” Kita ini asal usulnya dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Di bumi kita menggunakan pakaian raga jasmani yang juga sudah ditentukan untuk bisa menjalani kehidupan sebaik-baiknya. Sengsara ataupaun bahagia jika tetap senantiasa mengingat Tuhan, menjalani semua ini lebih tenang.
Orang Jawa bilang “manungsa iku mung sakdermo nglakoni”  ya seperti pandawa dan kurawa mereka harus menjalani Baratayuda di Padang Kurusetra ibarat perang kita di dunia untuk selalu berbuat baik dalam kondisi apapun. Selain itu ada kutipan “urip ki ming mampir ngombe” maka di bumi ini kita sedang mencari bekal untuk kehidupan berikutnya yang kekal. Dimana itu surga atau neraka? Bukan disana tempat yang kekal karena tidak mungkin ada yang melebihi kekalnya Sang Pencipta. Kehidupan kekal tentu saja yang “wa inna ilayhi rajiun”. Perkara surga dan neraka itu adalah hak prerogatif Allah. Dalam mencari bekal haruslah menjalani kodrat dengan sebaik-baiknya. Loh, bukannya nasib kita bisa berubah? Ya sangat bisa, kalau kita sudah menjalani kehidupan ini dengan baik, usaha maksimal dan mencari ridho Allah. Dalam Al-Fathihah “Iyya ka nabudu wa iyya ka nasta in” tentu masalah perubahan itu mudah bagi Allah kalu kita sudah beribadah dan memohon pertolongan hanya pada Allah, dan dengan “kun faya kun” semua kehendak-Nya terwujud seketika. Allah mengetahui segala sesuatu bahkan sebelum segala sesuatu itupun terjadi, bukankah Allah Maha Mengetahui.
Tugas kita sederhana, kita dahulu membuat rancangannya. Karena kita sendiri yang teken kontrak berdasarkan kesepakatan yang telah kita buat, maka kita diingatkan oleh Tuhan untuk tidak berlarut sedih apabila tidak berhasil dalam mengejar cita-cita, mengalami kegagalan, atau merasa sengsara dan sebaliknya untuk tidak terlalu bergembira menerima kebahagiaan.
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Law Mahfuz) sebelum Kami menciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. (Q.S. Al-Hadid: 22-23)
Nah sudah semakin jelas, termasuk dalam terjemahan ayat di atas ada kalimat bahwa telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptkannya. Kalimatnya bukan berbunyi sebelum Aku menciptakannya. Kata “Aku” tentu hanya menunjuk kepada Tuhan tetapi ayat ini dalam bentuk “Kami”. Jadi jelas Allah melibatkan ciptaan-ciptaan lainnya agar yang tercatat itu terwujud dan sebelumnya sudah tercatat berdasarkan kesepakatan bersama. 
Ada orang yang mendapat bencana atau musibah dan ada yang beruntung tetapi kita semua juga harus mengerti petunjuk Allah ditegaskan dalam firman-Nya bahwa,
“Allah tidak membebani suatu jiwa diluar kesanggupannya. Sekarang ini ia hanya mendapatkan imbalan dari apa yang pernah ia usahakan, dan mendapatka siksaan dari kejahatan yang telah dilakukannya. (Q.S. Al-Baqarah: 286)
“Kami tiada membebani seseorang kecuali sebatas kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada Kitab yang berbicara tentang kebenaran, dan mereka tidak dizalimi“ (Q.S. Al-Muminun: 62)
Semuanya semakin jelas tidak ada yang dirugikan, kita saat ini sedang menjalankan hasil dari kontrak itu sendiri. Kita sekarang juga diberi kesempatan untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan untuk bekal masa depan kita. Banyak yang terkadang tidak sadar telah mengkambinghitamkan Tuhan. Loh? Iya kalau hal itu baik tentu tidak masalah karena memang Tuhan kita maha segala kebaikan dan wajib bagi kita untuk selalu bersyukur. Lah kalau jelek ya jangan menyalahkan Tuhan, seharusnya kan begitu. Sering tanpa kita sadari menganggap datangnya musibah, bencana, dan ujian dari Tuhan. Tuhan kok disalah-salahkan, untung Tuhan kita maha pengasih, penyayang, lagi pengampun sehingga kita tetap bisa hidup dengan kasih dan lindungan-Nya.
Kembali ke apa yang dikisahkan dalam baratyudha, Prabu Krisna sangat berkeinginan mengetahui isi Kitab Jitabsara. Namun dari sana kita dapat belajar bahwa manusia tak perlu tahu apa yang telah kita tuliskan di masa yang lalu cukup melakoni hidup ini dengan usaha yang baik dan maksimal apabila ingin mengingat kembalilah kepada Kitab Suci Al-Quran. Al-Quran dan Hadist memberikan pegangan hidup kita di dunia untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Hal lain yang perlu diingat cobaan, musibah berupa bencana atau hal lain yang berupa kerusakan kehancuran tentu bukan dari Tuhan karena sudah jelas Tuhan tidak mungkin merusak atau bersifat tidak baik. Hanya saja itu merupakan ketetapan-ketetapan Allah apabila ada ketidakadilan dan suatu ketimpangan. Bukankah Allah Tuhanmu memiliki 99 nama “asmaul husna” dan kesemuanya nama-nama yang paling baik. Mengenai pernyataan yang sering kita dengar bahwa Tuhan sedang menguji kita, sebenarnya bila kita menyadari keagungan Tuhan tidak dengan ujian pun Tuhan sudah lebih tahu sampai sebatas mana kemampuan ciptaan-Nya.
Baratayudha dalam pewayangan apabila kita pahami tentu juga berhubungan dengan petuah-petuah. Dahulu wali khususnya Sunan Kalijaga menggunakan media wayang untuk berdakwah tujuannya menyesuaikan dengan budaya juga karena wayang memang cara penyampaian yang tepat bagi penduduk di Jawa. Hakikat kehidupan diajarkan agar kita dapat selalu sadar dalam menjalani kehidupan ini. Dengan kesadaran tentu manusia akan selalu “eling lan waspada”. Ada nasihat orang Jawa berbunyi “Trima Mawi Pasrah, Suwung Pamrih Tebih Ajrih; Langgeng Tan Ana Susah, Tan Ana Seneng, Anteng, Mantheng, Sugeng Jeneng.” Artinya, menerima dengan tawakkal, tiada pamrih, jauh dari takut; abadi tiada duka, tiada suka, tenang memusat, nama pun selamat. Ini merupakan ajaran dari R.M. Sosrokartono yang populer di Jawa.
Trima mawi pasrah  bermakna menerima apa saja dengan pasrah dan tawakal. Untuk mengehilangkan rasa takut dan was-was, orang diminta untuk ikhlas tanpa pamrih apapun. Langgeng tan ana susah, tan ana seneng  dapat diartikan sudah mencapai ketenangan batin yang abadi tanpa banyak dipengaruhi rasa senang maupun susah. Kesenangan maupun kesusahan ditekan sekecil mungkin sehingga tidak berpengaruh terhadap kehidupan. Anteng Mantheng, sugeng jeneng mengarah pada kehidupan yang tenang mampu memusatkan perhatian pada kebutuhan dengan baik jauh dari pengaruh nafsu duniawi yang berlebihan. Sehingga orang memiliki ketentraman hidup bisa tahan terhadap godaan yang datang setiap waktu serta tetap bekerja dengan baik dalam keadaan apapun.

Referensi :
Achmad Chodjim Sunan Kalijaga
Imam Budhi Santosa Buku Nasihat Kitab Nasihat Hidup Orang Jawa
Toto Sugiharto Genderang Baratayudha


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb