Langsung ke konten utama

Guru Bukan Menggurui


“Murid gurune pribadi, guru muride
pribadi, pamulangane sengsarane sesami,
ganjarane ayu lan arume sesami”

Ungkapan dengan basa jawa di awal tulisan ini apabila diartikan yaitu murid gurunya pribadi, guru muridnya pribadi, tempat belajarnya penderitaan sesama, hadiahnya kebaikan dan keharuman sesama. Apabila diambil maknanya ungkapan murid gurune pribadi, guru muride pribadi bahwasanya di dalam setiap diri manusia terdapat potensi guru dan murid. Di dalam diri manusia terdapat jiwa guru sejati, sekaligus murid dari sang guru sejati. Tempat belajarnya penderitaan bersama berarti realita dalam kehidupan yang dijalani setiap manusia. Belajar dari kehidupan itu sendiri, yaitu apabila seseorang menjalani kehidupan ini secara ikhlas dan tawakal dengan cermat, jujur, terbuka, bijaksana, dan tidak putus asa. Hingga seseorang itu benar-benar berilmu dan menemukan hikmah kehidupan, dia akan memperoleh semacam ganjaran. Ganjaran ayu lan arume sesami, berarti orang berilmu itu punya kepribadian baik dan memberikan ketenangan maka senantiasa akan bermanfaat ilmunya untuk orang lain. Namanya menjadi harum, karena ilmunya berhasil diamalkan kepada orang lain di sekitarnya. Dan perlu kita ketahui orang berilmu tidak harus orang sekolahan, karena ilmu itu cakupannya luas dan belajar itu bisa dilakukan di mana saja.
Guru tidak menggurui. Guru itu apa? Orang jawa bilang digugu lan ditiru berarti menjadi sosok panutan dan tauladan. Guru yang sering diartikan sebagai pendidik dan pengajar ini sesungguhnya tidak terbatas pada dunia sekolah saja. Karena pendidikan tidak mengenal tempat dan waktu, begitu pula dengan belajar. Maka benar adanya bahwa dalam setiap diri manusia terdapat potensi menjadi guru dan menjadi murid. Orang untuk menjadi bisa harus belajar kepada yangih lebih menguasai. Orang untuk jadi tahu harus mencari tahu kepada yang lebih mengetahui. Jadi, guru yang baik seperti tauladan atau figur yang menginspirasi muridnya. Anda misalkan seorang guru atau calon guru perlu menyadari dari awal bahwa Tuhan telah menganugerahkan dua telinga dan satu mulut. Maka, seorang guru bukan hanya penuh dengan omongan kepada sang murid akan tetapi lebih berusahan menjadi pendengar.
Guru harus bisa mengendalikan ego dan lebih mengutamakan untuk melayani muridnya. apabila guru sudah berpikir pada kepentingan-kepentingan pibadinya maka murid akan terbengkalai. Fokus untuk melayani murid itulah hal utama membawa sosok guru yang menginspirasi dan mencetak orang-orang hebat. Melayani dalam artian bisa membekali murid dengan kecakapan mengelola emosi,  memotivasi diri sendiri, mengelola emosi orang lain, dan membangun relasi. Proses pembelajaran yang dialektis sangat diperlukan dalam mewujudkan keadaan ini.
Kembali pada persoalan mengapa harus belajar dari kehidupan? Sederhana jawabannya menurut Susan Shumsy bahwa, “Di sekolah setelah belajar, kamu diberi soal ujian. Dalam kehidupan kamu diberi ujian yang mendidikmu dengan pembelajaran”. Sudah saatnya guru membawa murid dalam hal kontekstual dengan tidak meninggalkan tekstual (buku-buku). Di sini letak guru tidak menggurui, dalam kehidupan terkadang anak kecil pun bisa menginspirasi. Guru bukan menjadi sosok figur hebat yang seolah-olah apapun tahu dan selalu benar. Mengangkat kehidupan dari kalangan murid menjadikan pelajaran pun bisa menjadi alternatif. Murid dengan dialog diajak untuk memecahkan berbagai persoalan dengan solusi yang didapat bersama.
Hakikat pendidikan menurut Freire adalah pemberdayaan manusia melalui pertumbuhan kesadaran kritis bukan kesadaran magis dan kesadaran naif. Persoalannya seperti kurikulum yang kaku dan dominan akan mengekang siswa buka memberdayakan siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh batasan dan guru bagaikan seorang penegak hukum. Apa yang terjadi? Bakat dan gairah untuk mengembangkan rasa ingin tahu terbatas, “yang penting nilai saya bagus dan lulus kan cukup”. Kalau sudah seperti ini bagaimana mau menuju pendidikan yang mewujudkan manusia berkepribadian dan utuh. Tempatkan murid sebagai subjek dalam kegiatan belajar, progaram harus diarahkan pada menyantuni dan memberdayakan siswa. Guru harus berpandangan luas dan jauh ke depan, dan yang jelas berani melakukan perubahan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb