Langsung ke konten utama

Konsep 3B Pemberantasan Korupsi


Konsep 3B sebenarnya sebuah pemikiran yang pernah diungkapkan oleh Raja Kasultanan Yogyakarta yaitu Sultan HB II. Beliau mencetuskan konsep ini ketika masa kasultanan dahulu yang sedang dilanda krisis kepemimpinan akibat mulai masuknya pengaruh kolonialisme. Sehingga untuk menjadi pemimpin yang baik memperjuangkan keadilan harus berani menanggung akibat seperti 3B yaitu, bui, buang, dan bunuh. Namun dari konsep tersebut kita sebenarnya bisa belajar dalam menghadapi permasalah baru yang sedang menggerogoti negara bangsa ini.
Korupsi, sebuah istilah yang sudah menjadi bahan perbincangan setiap hari di kalangan masyarakat. Selain maraknya kasus korupsi di berbagai elemen khususnya terjadi di elite-elite pemeintahan kita, kasus korupsi ini juga belum menemukan penanganan tepat. Lembaga yudikatif yang ada sampai dibentuknya komisi khusus seperti KPK ternyata belum bisa menghasilkan efek jera dari sisi hukumannya. Terkadang muncul anggapan bahwa korupsi ini semacam karakter seseorang yang serakah sehingga perlu penghukuman sesuai dan setimpal. Padahal jika membicarakan korupsi khususnya pada pejabat pemerintahan banyak hal yang sebenarnya kurang disadari dan dianggap lumrah. Gratifikasi, uang pelicin, pungutan liar, diskon karena pejabat, dan lain sebagainya itu bisa digolongkan dalam korupsi jika ada ketidakwajaran. Coba saja tengok pasal demi pasal pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kembali pada permasalahan memberikan hukuman dan efek jera, hukuman mati apakah diperlukan? Banyak yang berpendapat bahwa sangat diperlukan termasuk apabila melihat korupsi itu sebagai kejahatan kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan atau kejahatan luar biasa bilamana korupsi itu dengan sengaja memiskinkan masyarakat, menggasak dana bantuan, atau memanfaatkan penderitaan. Apalagi kalau si pelaku memang tergolong memiliki watak kerakusan dan keserakahan maka hukuman mati itu pantas saja. Sementara jikalau hukuman mati ada kita terlebih dahulu perlu memperhatikan sistem peradilan yang ada. Sistem peradilan dari hakim, jaksa, dan termasuk pasal-pasal hukum yang jelas harus dibenahi. Paling mengkhawatirkan ketika peradilannya saja juga korup, betapa bahayanya hukuman mati bisa menimpa orang yang sejatinya tidak bersalah melainkan hanya dikambinghitamkan.
Berkaitan dengan konsep 3B sebenarnya merujuk pada point kedua yaitu “buang”. Bui dan bunuh sudah banyak diusulkan dan diperbincangkan tetapi rasanya buang atau pengasingan ini belum pernah terumuskan. Ide-ide seperti memiskinkan koruptor, mempermalukan koruptor beserta keluarganya seakan kurang efektif menimbulkan efek jera. Berkaca pada sistem buang di era yang lampau bisa memperbaiki diri seseorang maka mungkin saja koruptor juga akan berubah setelah mengalami masa pengasingan. Diasingkan dalam artian ditempatkan pada suatu wilayah tanpa sepengetahuan kerabat dan tanpa alat komunikasi dalam bentuk apapun. Betul-betul dipisahkan dari dunianya selama ini dan dipindah-pindahkan dalam kurun waktu tertentu. Jadi, usulan hukuman mati adalah pilihan terakhir ketika korupsi masih saja ada ketika gambaran hukuman pengasingn itu diterapkan. Rasanya masih banyak pulau-pulau di Indonesia ini untuk mengucilkan kehidupan para koruptor itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb