Agenda mendesak bangsa istilah
yang sering digunakan apabila menemui suatu keadaan yang akan menimbulkan
permasalahan. Dapat pula dilakukan ketika kekacuan itu terjadi dan tidak kunjung
menemukan solusi terbaik, maka semua terfokus dengan agenda mendesak bangsa.
Negara Kesatuan Republik Indonesia tempat kita bernaung saat ini sesungguhnya
disadari atau tidak sedang mengalami masa “chaos”.
Bagaimana tidak ketika melihat pada ketimpangan yang sedang melanda negara bangsa
ini sudah mendekati titik omega. Dapat
dikatakan omega sebagai lambang akhir
dalam abjad Yunani berarti sama halnya pada titik nadir. Ketimpangan kelas
sosial misalnya sisi kesejahteraan bisa kita rasakan saat ini. Bukan untuk
menuntut kesetaraan total akan tetapi seharusnya tidak terjadi keadaan yang “njomplang” tidak karuan. Bukan saja
dari kesejahteraan, tujuan negara yang terangkum dalam preambule UUD 1945 salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apakah sudah mencerminkan bangsa cerdas? Benarkah bahwa ukuran bangsa cerdas
dengan banyaknya gedung sekolah dan pendidikan yang mengutamakan hal-hal
prestisius. Entahlah...
Saya dalam tulisan ini mencoba
mengajak saudara-saudara sekalian untuk menyelami agenda mendesak bangsa
seperti apa yang harus disadarkan saat ini. Ada tiga hal di mana dua modal
utama ini yang kini mulai melemah karena mulai tidak menyadari pada satu point
terkahir. Ketiga hal itu antara lain (1) alam, (2) moral, dan (3) sejarah. Pertama, membahas alam Indonesia sampai
ada ungkapan zamrud khatulistiwa untuk menggambarkan keadaannya yang konon subur makmur gemah ripah loh jinawi.
Kiranya ungkapan seperti itu sangat pantas apabila menilik kekayaan hayati dan
mineral yang ada di bumi nusantara ini. Namun yang terjadi saat ini ungkapan itu
tak ubahnya sebuah harapan kosong ketika melihat alam Indonesia. Berbagai
kerusakan terjadi akibat eksploitasi yang kurang memperhatikan kelestarian.
Diperparah lagi gemarnya bangsa ini percaya saja pada pihak asing sehingga
banyak aset alam di negeri ini sedang di eksploitasi besar-besaran dan bangsa
ini hanya menikmati secara visual bahkan menyentuh saja sulit. Nasionalisasi
aset rasanya sangat diperlukan selain juga harus membenahi aturan dan sistem
pengelolaan.
Alam yang membentang ini subur
karena masuk dalam lingkaran cincin api sebagai gugusan pegunungan berapi yang
setiap saat siap memuntahkan materialnya. Selain itu laut luasnya dengan lempeng-lempeng samuderanya
yang terkadang sekaligus menjadi ancaman. Lalu dibalik sumber daya alam yang
melimpah itu ternyata banyak resiko yang juga harus ditanggung oleh
penduduknya. Maka jelas sistem peringatan dini seperti kegunungapian, kelautan,
penjagaan hutan dari kebakaran, dan lain sebagainya adalah pekerjaan rumah yang
menunggu untuk diselesaikan oleh segenap bangsa.
Kedua, moral adalah urusan setiap pribadi manusia dimana ia sebagai
sumber untuk bertindak positif. Barangkali bangsa ini sedang kehilangan jati
dirinya karena banyak saat ini tindakan-tindakan yang sepertinya kurang bisa
diterima akal sehat manusia. Himpitan keadaan dan kesenjangan mungkin menjadi
pemicu rusaknya moral ditambah ketidakberdayaan bangsa ini menghadapi dinamika
di era global. Informasi keluar masuk bebas tanpa sekat tetapi tidak diikuti
dengan pemahaman kemanusiaan Indonesia yang seharusnya penuh gotong-royong dan
kebersamaan. Kearifan lokal itu luntur dari pribadi-pribadi bangsa, seolah
mereka memiliki pandangan hidup baru dan menganggap kepunyaannya itu barang
basi dan kuno. Semua yang luar negeri dianggapnya baik karena mereka dipandang
lebih maju padahal benteng terakhir diri adalah jati diri bangsa. Bangga
menjadi bangsa Indonesia bukan melulu mempertontonkan simbol-simbol dan
meneriakkan kalimat-kalimat yang katanya nasionalis. Kita semua jangan
kehilangan ke-Indonesiaan, 500 lebih bahasa dan hampir 2000 suku bangsa menjadi
bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita semua mempunyai suku bangsa
berbeda, bahasa lokal yang berbeda namun satu Indonesia. Itulah budaya kita dan
disitulah jati diri bangsa ini, maka jangan sekali-kali kalian meninggalkan
kekayaan budaya nasional kita.
Ketiga, sejarah nasional Indonesia juga sangat perlu mendapatkan
perhatian karena dengan belajar melalui sejarah ini kita akan tahu perjalanan
bangsa. Hikayat ,babad, catatan perjalanan, dokumen, dan berbagai sumber
sejarah rasanya perlu disusun ulang. Sejarah mengenal historiografi yang sewaktu-waktu dapat berbenah apabila diketemukan
fakta, sumber, atau metode sejarah baru untuk menguak sebuah peristiwa. Masa
beberapa tahun silam rupanya banyak sejarah di negara bangsa ini yang mengalami
rekayasa. Rekayasa sebenarnya boleh-boleh saja dalam sejarah untuk menjaga dan
melindungi sesuatu yang dianggap membahayakan. Misal seperti Napoleon Bonaparte
walaupun di indonesia cukup dikenal tetapi di Perancis ternyata tidak begitu
diakui karena kedekatan tokoh tersebut dengan Italia. Kemudian di Jepang
sengaja menyembunyikan beberapa peristiwa di masa perang dunia ke II. Tetapi
yang terjadi di negara ini rekayasa sudah sangat keterlaluan sampai kepada
mengkultuskan satu orang atu pihak tertentu dan menutup terhadap perspektif
yang lain. Memang, kebenaran sejarah hanya bisa terbukti paling jelas yaitu pada
si pelaku sejarah. Akan tetapi saking keterlaluan rekayasa itu sampai mengubah
dan sengaja menghilangkan fakta sejarah, bahkan diperparah pola pembelajaran
sejarah kita hanya sebatas hafalan saja. Sehingga kemauan menguak atau belajar
dari sejarah sangatlah minim.
Sebut saja Presiden yang kita
kenal SBY sudah pasti banyak yang menyatakan presiden ke-6, rekayasa telah
terjadi bahwa seharusnya sudah ada 8 presiden sampai saat ini. Kita melupakan
di masa Presiden Sukarno ada peran Presiden Pemerintah Darurat Republik
Indonesia Mr. Syarifudin Prawiranegara kemudian di masa RIS ada Mr. Asaat.
Syarifudin Prawiranegara sengaja dihilangkan karena dinilai terlibat dalam satu
peristiwa yang dikatakan membangkang terhadap pemerintahan. Belum lagi
Supersemar, Gerakan 30 September, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, dan
lain sebagainya. Demi kepentingan beberapa elit yang dulu ingin melancarkan
misinya sejarah peristiwa itu dibuat satu sudut pandang yang baku. Supersemar
sebenarnya memiliki beberapa versi dan yang kita pahami selama ini sangat
diragukan kebenarannya. Gerakan 30 September selalu di identikan dengan PKI
padahal ada sudut pandang yang seharusnya kita ketahui selain PKI ada sejarah
yang menyebutkan Kudeta Angakatan Darat, ada pula yang menyatakan keterlibatan
pemimpin negara saat itu. SU 1 Maret 1949 hanya dikenal tokoh seperti Sri
Sultan HB IX, Soeharto, jarang yang membahas bahwa serangan itu sesungguhnya
sudah menjadi rencana militer Indonesia saat itu. Ini hanya segelintir sejarah
kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, masih sangat banyak apabila menelaah dari
masa sebelum NKRI ini ada kerjaan-kerajaan Nusantara yang wilayahnya sangat
luas dan di segani, luput dari pembicaraan kita.
Lucunya sistem pembelajaran yang
ada hanya terfokus pada satu peristiwa dari waktu terjadinya dan tokoh. Jarang
sekali untuk mendalami kebermaknaan peristiwa tersebut, sampai-sampai konyol
sekali ketika ilmu sejarah ini dievaluasi dengan soal pilihan. Sekali lagi
sejarah itu bukan ilmu yang pasti karena memiliki berbagai perspektif dan perlu
pemaknaan dalam setiap peristiwanya. Sudah saatnya sejarah itu digalakkan untuk
dituliskan kembali ataupun didialogkan untuk menambah wawasan kenusantaraan. Tidak
cukup belajar di sekolah untuk tahu sejarah, karena terbukti sejarah yang kita
dapat saat ini belum mendalam. Dengan itu keadaan alam, moral, sebenarnya ada
dalam sejarah tinggal mau atau tidaknya kita sebagai bagian dari negara bangsa
ini untuk membuka lembaran-lembaran lalu itu agar tidak terjerumus hal tidak
bermanfaat di masa yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar