Ajaran politik di China atau
yang sekarang kita kenal dengan Republik Rakyat Tiongkok/Tionghoa banyak
dipengaruhi oleh kearifan lokalnya. Watak bangsa China tidak berubah dari
ajaran kebijaksanaan yaitu konfusianisme yang telah berkembang selama 2000 tahun.
Ajaran Sang Maha Guru tersebut bisa disimpulkan menjadi beberapa hal
diantaranya yang menjadi larangan yakni tidak bersedia melihat segala sesuatu
sebagai yang benar satu-satunya, ia pantang bersikap keras kepala, dan sikap
mementingkan diri sendiri. Hal-hal yang menjadi pokok ajaran Maha Guru masih terus dibawa oleh pemimpin-pemimpin
negeri tirai bambu.
Berkaitan dengan ajaran
konfucu mengenai tata negara bisa sedikit tergambarkan dari beberapa percakapan
berikut ini. Seseorang menteri kerajaan pernah bertanya kepada Maha Guru.
“Bagaimana cara mengatasi pencuri yang merajalela?” Maha Guru menjawab, “bila kamu bebas dari rasa ingin memiliki,
mereka tidak akan mencuri, sekalipun engkau bayar mereka untuk perbuatan itu.” Mungkin
dari jawaban ini bisa kita pahami secara sederhana yakni bila dalam kehidupan
ini kita tidak mempunyai rasa ingin memiliki yang kuat maka akan muncul rasa
untuk memberi dan berbagi. Kenapa harus mencuri kalau dalam kehidupan sudah
saling berbagi dan memberi. Orang mencuri biasanya terjadi juga karena ingin
memiliki dengan berbagai alasan. Pencurian terjadi karena ada
ketidakseimbangan, kalau saja ketimpangan tidak terlalu mencolok barangkali
pencuri juga tidak ada. Lalu bagaimana dengan korupsi? Korupsi juga mencuri dan
lagi-lagi karena serakah atau dalam bahasa maha guru rasa ingin memiliki.
Korupsi itu seperti wabah menular, kalau ada yang korupsi seolah akan muncul
bibit-bibit penyakit korupsi pada lingkungannya. Orang korupsi secara tidak
langsung membuat manipulasi yang menjadikan sistem menjadi alat korupsi, maka kemungkinan
besar yang lain hanya akan ikut membusuk dalam sistem korup itu. Orang masuk
dalam sebuah sistem hanya ada dua kemungkinan yaitu masuk dan membenahi sistem
menjadi lebih baik atau ikut membusuk bersama sistem.
Seorang pejabat negara masa
Dinasti Mao pernah bertanya pada Maha Guru.
Rumusan apa yang bisa dipegang pejabat hingga pemerintahan bisa selamat?
Maha Guru menjawab, “Tidak ada rumusan
seperti itu. tetapi yang mendekati yang kau minta memang ada. Yaitu, memang
sulit menjadi pangeran atau menteri. Para pejabat yang menyadari makna ‘memang
sulit menjadi pangeran’ itu akan memerintah berbekalkan rumusan yang benar.”
Tanya pejabat lebih lanjut, “adakah rumusan yang menyebabkan negara ambruk?”
Maha Guru menjawab “sama, tidak ada
rumusan seperti itu. “Yang mendekati itu memang ada, kata orang tak ada yang
lebih menyenangkan seorang pangeran bila apapun yang dikatakannya tidak
ditentang, baik oleh menteri ataupun rakyatnya. Namun, bila saja pangeran itu
selalu benar tidak jadi soal. Akan tetapi, bila
pangeran itu keliru, dan tak ada yang meluruskannya itulah sumber kejatuhan
sebuah negeri.” Kalimat terakhir dari Maha Guru dapat dipahami dalam
sebuah negara fungsi kontrol itu sangat diperlukan.
Pada kalimat pertama saat
menjelaskan pemerintahan bisa selamat ada sebuah frasa kunci yaitu “menyadari
makna”. Menyadari makna sulitnya menjadi pemimpin adalah salah satu ciri
pemerintah yang berbekal rumusan yang benar. Lah berarti pemerintah itu
kesulitan dan tidak bisa menjalankan roda pemerintah? Maksudnya buka kesulitan
seperti itu tetapi ada kesadaran tanggungjawab semua lini dan sendi dalam
sebuah negara. Buka pemerintah yang menyepelekan setiap perkara dan suka
membuang bada bahkan lepas tangan.
Pejabat lain pernah bertanya,
“bagaimana sebenarnya seni memerintah itu?” Maha Guru menjawab, “memerintah adalah jalan lurus. Bila
pemerintah berjalan lurus, siapakah yang berani mengambil jalan bengkok?” Seorang
gubernur juga pernah bertanya kepada Maha Guru. “Bagiamana memerintah dengan
baik?” Jawab Maha Guru, “jangan engkau
berhasrat memiliki sesuatu dengan cepat, jangan engkau mencari keuntungan walau
sekecil apa pun. Yang pertama, akan mengakibatkan orang tak memahami persoalan
sepenuhnya. Yang kedua, itulah halangan
untuk menyelesaikan pekerjaan setuntasnya.”
Sejumlah sarjana yang
menekuni konfusianisme melihat bahwa selalu ada persamaan antara pemerintah
yang bijaksana dan kebijaksanaan orang seseorang. Demikianlah ajaran ini
tersebar luas, “Kata-kata yang bijaksana tak akan begitu mengesankan orang
dibandingkan dengan tindakan yang bijaksana. Pemerintah yang bijaksana tidaklah
senyata sebuah peraturan yang bijaksana tentulah membuat rakyat mencintai pembuatnya.
“Perbandingannya, pemerintah yang baik memperoleh kekayaan dari rakyatnya,
peraturan yang bijaksana memberikan rakyat
hatinya.”
Sebuah dialog yang menarik
pernah berlangsung antara Raja Hui dan Meng-tzu (orang bijaksana kedua setelah
Konfucu). “Adakah bedanya membunuh orang
dengan pedang dan dengan kayu?” tanya Meng-tzu. Raja menjawab, “tidak ada.”
Kemudian Meng-tzu melanjutkan, “maka
tidak ada juga bedanya membunuh dengan pedang atau dengan peraturan negara.”
Beberapa prisip dasar ini bagian kecil dari Konfusianisme yang merupakan ajaran
moral dan sosial yang erat dengan agama. RRT mencoba kembali pada ajaran ini
dan sudah mulai menampakkan hasil untuk negaranya.
Pemikiran politik di Asia
tidak bisa berkembang secara dinamis. Sebab utamanya adalah pertentangan
politik internal yang tidak lain disebabkan kolonialisme dengan menularkan
gagasan-gagasan politiknya. Maka penjajahan dahulu adalah alat menyebarkan
gagasan politik Barat yang katanya lebih universal, dengan ide demokrasi dan
HAM-nya. Tetapi sekiranya perlu seperti bangsa Tiongkok tidak meninggalkan
ajaran politik yang murni dari bangsanya dan sudah pasti sesuai dengan
kepribadian bangsanya. Lalu dimana Negarakertagama,
Babad Tanah Jawa, dan karya luhur peradaban Nusantara? Apakah sudah dilupakan?
Kita semua akan segera menemukan jawabannya.
Sumber : Pengantar Ilmu Politik kaya Abu Bakar Ebyhara.
Komentar
Posting Komentar