“Kekayaan
dan pangkat memang diinginkan setiap orang. Tapi, bila itu hanya membawa
pemiliknya menuju jalan kesengsaraan, lebih baik ditinggalkan saja. Kemiskinan
dan kejelataan adalah hal-hal yang harus dijauhi. Namun, apabila tak membawa
kamu ke jalan yang rusak, terimalah”
(Maha
Guru)
Pendidikan dengan
berorientasi title dan ijazah adalah sebuah permasalahan baru. Penggemblengan
yang menjadikan seolah-olah title dan ijazah adalah segalanya dibandingkan
makana pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan menjadi sempit yang tidak
mencerdaskan malah membodohi secara halus. Akibatnya ajaran moral tak pernah
didapatkan selama proses pendidikan berlangsung. Agama, karakter, dan budi
pekerti hanya menjadi bagian mengejar title dan ijazah karena orientasi nilai.
Bukan pada bagaimana pendidikan termasuk didalamnya agama, karakter, budi
pekerti yang membentuk moral sehingga memperbaiki individu yang belajar.
Title yang diberikan karena ujian pada tingkatan-tingkatan
tertentu. Ijazah pada sekolah-sekolah berkisar dari tingkat dasar sampai
doktor. Lalu dimana ajaran moral tumbuh, kalau dalam sistem ini hanya
kompetitif yang diutamakan dan tentu hanya berpikir untuk lulus saja. Mereka
yang lulus berharap penuh mendapatkan suatu kedudukan, kekayaan, pangkat, dan
nasib yang lebih baik. Inikah yang diinginkan dalam pendidikan?
Pendidikan membentuk
manusia yang seutuhnya dan merdeka dalam pilihan hidupnya. Mengajarkan cinta
kasih hubungan sesama manusia dan kewajiban terhadap sesama manusia. Ajaran
untuk hormat-menghormati di sekolah dan di masyarakat. Ujian dan mendapatkan
ijazah semestinya dipahami menjadi sebuah hadiah bukan tujuan. Tetapi sistem
yang sudah kadung mendewakan keduanya hanya bisa dilawan dengan memahaminya
dalam diri masing-masing. Tujuan pendidikan adalah belajar segala hal, berlatih
segala hal, memahami berbagai problematika, dan mencari solusi nyata. Tidak ada
persaingan, cukup kita tidak mengganggu kepentingan orang lain dan menjadi
lebih bermanfaat bagi orang lain. Sekolah menuntut kita untuk belajar kemudian
mengerjakan ujian dari hasil belajar, tetapi sekali lagi sangat jelas bahwa
kehidupan selalu menguji kita dan kita belajar dari hasil ujian itu untuk
menjadi lebih baik.
Saya hanya akan mengatakan bahwa dengan sistem yang
berlaku saat ini sekolah itu hanyalah pelengkap untuk menjadi manusia
seutuhnya, tetapi belajar adalah sarana utama untuk menjadi manusia bermoral.
Sekolah hanya dilakukan pada jam-jam tertentu dan belum tentu mendidik. Di luar
sekolah banyak sarana belajar tentang kehidupan yang barangkali akan lebih
mendidik. Jadilah manusia yang merdeka, dengan sistem seperti ini jangan
terjebak pada agungnya ijazah dan title. Belajarlah terus menerus dan jangan
menjadi manusia pesimis seolah nasib hanya ditentukan ijazah dan title. Bangsa
kita sedang terjebak kecerdasan semu tetapi kurang kecerdasan yang bersumber
dari kearifan lokalnya.
Ijazah
dan title yang disandang kalau sesuai dengan perilaku dan pribadinya tentu itu
sekolah yang berhasil. Tetapi ketika banyak orang yang tidak sekolah malah bisa
mengajarkan moral kehidupan, berarti ada yang salah dengan sekolah. Mengapa
sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan malah mempersempit pemahaman orang,
membodohi, membelenggu, dan merampas kemerdekaan. Pernahkah kita berpikir,
sesungguhnya bukan mengajarkan yang paling penting tetapi mendidik. Moral bukan
diajarkan, yang utama adalah mengaplikasikan sehingga bisa menjadi contoh.
Moral hanya bisa didapat ketika kita sudah mantap pada satu ideologi dan
memiliki idealisme yang bertanggungjawab. Sistem yang hanya mengutamakan teori
yang bertumpuk tapi nol besar sisi aplikasi dan figur tauladan adalah awal
sebuah kekacuan. Kita seharusnya bukan menjadi bangsa yang gandrung prestasi
individu tetapi bermusyawarat dan berkeadilan bersama. Hati-hati bukanlah
pandai saja yang kita butuhkan. Wong
pinter iso keblinger!
Komentar
Posting Komentar