Langsung ke konten utama

Wong Jawa Hilang Kejawaannya


Berbicara Wong Jawa pasti pikiran dan asumsi kita menggambarkan orang-orang dengan ciri khasnya yang halus dan lemah lembut. Namun, Jawa sebenarnya tidak hanya terbatas pada ciri itu saja. Pulau Jawa yang membentang di selatan kepualuan nusantara ini juga memiliki beragam corak. Wilayahnya terbagi menjadi 5 propinsi yaitu Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kepadatan penduduknya tertinggi yaitu 60% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Kelompok etnik yang ada meliputi Sunda, Jawa, Tengger, Badui, Osing, Banten, Cirebon, dan Betawi.
Jawa sendiri jika ditilik dari budayanya terbagi menjadi 4 wilayah budaya utama: sentral budaya jawa (kejawen) di bagian tengah, budaya pesisir Jawa (pasisiran) di pantai utara, budaya Sunda (Pasundan) di bagian barat, dan budaya Osing (Blambangan) di sisi timur. Budaya Madura terkadang dianggap yang kelima, karena erat hubungannya dengan budaya pesisir Jawa. Begitu pula dengan budaya Bali.
Sering kita mendengar istilah Wong Jawa Ilang Jawane (orang jawa hilang kejawaannya). Apa sebenarnya maksud dari ungkapan ini? Jawane atau kejawaan yang katanya hilang itu seperti apa? Tulisan berikut akan coba mengupas kejawaan itu dari sisi karakteristik masyarakat Jawa. Karakter orang jawa menurut Ben Anderson tergambar dalam dunia wayang di mana merupakan dasar moral orang Jawa mengenai kehidupan. Di cerita pewayangan terdapat perwatakan Kurawa dan Pandawa beserta karakter luar yang membela kaum Kurawa dan Pandawa.
Gambaran ksatria baik oleh sosok Pandawa dan ksatria jahat pada pihak Kurawa. Pertarungan keduanya menggambarkan kebaikan melawan kejahatan yang terangkum dalam lakon Baratayuda. Begitu pula dalam cerita Ramayana ketika Sri Rama bermusuhan dengan Dasamuka. Menurut Nur Syam ada tokoh di luar Pandawa dan Kurawa yaitu Kresna dan Karna. Kresna adalah lambang satria yang membela Pandawa dengan segala konsekuensinya. Sedangkan, tokoh Karna adalah lambang ksatria yang membela Kurawa, meskipun ia tahu bahwa Kurawa berada di pihak yang salah. Tokoh Karna inilah, ambivalensi moral orang Jawa begitu tampak. Di satu sisi, pembelaan Karna terhadap Kurawa adalah kesalahan. Namun, pembelaannya terhadap status, kedudukan, dan kehormatan yang diterima dari Kurawa bukanlah sesuatu yang salah. Membela harga diri merupakan suatu kebenaran. Karna termasuk dalam kategori membela kehormatan dan harga diri tersebut.
Ardian Kresna mejelaskan tokoh satria yang baik dalam beberapa ciri. Satria selalu berusaha mencapai kesempurnaan hidup sebagai sebuah keharusan adi kodati mengingat tugas suci manusia adalah sebagai wakil Tuhan di bumi. Kesatuan sejati, yang berarti bahwa sebagai seorang satria diharapkan mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dengan bersatu, memadu, rukun dalam sebuah wadah kesatuan sebagai sebuah kebutuhan dan rasa tanggung jawab. Kebenaran sejati, seorang satria selalu berusaha menjalani kebenaran untuk menumpaskan dan melenyapkan segala keangkaramurkaan. Memayu hayuning bawana, berarti kesatria membuat dunia menjadi sejahtera.
Kesucian sejati, satria selalu berusaha menjadi suci dan menciptakan kehidupan suci hingga akhir hayatnya. Kebijaksanaan sejati, seorang satria yang baik selalu bijaksana walaupun jalannya sangat sulit. Pengetahuan sejati, satria tidak akan pernah berhenti mencari ilmu keahlian maupun keluhuran hidup. Kesadaran sejati, satria selalu mencari pemahaman agar menjadi manusia yang sadar dan yakin akan keberadaanya di dunia sebagai makhluk pribadi, sosial, dan makhluk Tuhan. Kasih sayang sejati, berarti satria yang baik membentuk manusia yang welas asih terhadap sesamanya. Tanggung jawab sejati, berarti bahwa semua tindakan, perbuatan, dan tugas yang diemban diselesikan dengan baik dan tuntas.
Tekad sejati, satria selalu memiliki kehendak dan niat mencapai cita-cita penuh tekad walaupun dilakukan dengan susah payah penuh resiko. Pengabdian sejati, satria berusaha menjadi pemberani, bersemangat, dan berdedikasi tinggi serta siap melaksanakan semua tugas yang diemban dan diperintahkan. Kekuatan sejati, bahwa satria memiliki kekuatan lahir dan batin yang seimbang, tabah dalam segala cobaan, godaan, dan rintangan hidup. Kebahagiaan sejati, bahwa satria selalu berpikir masa depan dengan gemar prihatin dan selalu mencari bekal masa depan.
Berikut tadi beberapa karakter dari sosok ksatria/satria yang menjadi patokan ajaran moral. Bambang Pranowo mengungkapkan karakter orang Jawa dengan melihat simbol pewayangan Pandhawa Lima. Mereka adalah Puntadewa(Yudhistira), Werkudoro(Bima), Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Puntadewa, Nakula, dan Sadewa gambaran tokoh yang lemah lembut dan selalu mengalah. Arjuna adalah tokoh yang pandai, baik dalam diplomasi maupun perang. Arjuna bisa berunding dengan musuh dan mengatur siasat perang. Sedangkan, Werkudoro adalah tokoh yang lurus, pemberani, dan pantang menyerah. Werkudoro tidak pandai diplomasi dan tidak kenal kompromi. Jika menurutnya benar maka ia akan berperang apapun resikonya. Nah karakter-karakter Pandawa Lima ini yang menjadi gambaran untuk memahami orang Jawa. Secara keseluruhan orang jawa memang sangat lembut, akomodatif, dan mudah bersahabat dengan siapa saja. Tetapi memandang dan menyikapi orang jawa haruslah hati-hati, karena orang jawa memiliki filosofi tiga nga, yakni ngalah, ngalih, ngamuk.
Orang Jawa juga diidentikan dengan sifat yang segan, sopan, menyembunyikan perasaan atau tidak suka terlalu terbuka. Suku Jawa juga dikenal sangat tinggi dalam menjaga etika berbicara dan bertingkah laku. Sikap yang dikenal dengan andhap asor ini untuk menjaga hubungan yang tetap baik. Ada sebuah nasihat Jawa berbunyi, “wong jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis.” Inilah gambaran orang jawa yang kadang penuh kiasan dan simbolik. Tidak terlalu terbuka dalam mengungkapkan sesuatu atau tidak terang-terangan. Dimaksudkan untuk tetap menjaga keharmonisan. Menjaga etika ini juga ditunjukkan dalam unggah ungguh basa jawa (tata krama berbahasa jawa). Dalam berbicara ada aturan-aturan khusus berdasarkan tingkatan usia dan kepada subjek bicara. Untuk seorang yang lebih muda kepada orang tua wajib menggunakan bahasa yang lebih halus (krama, krama inggil) agar lebih sopan. Berbeda dengan ketika berbicara dengan rekan sebaya. Sementara, orang tua kepada yang lebih muda hendaknya juga menggunakan bahasa halus, selain bertujuan membelajarkan juga untuk menunjukkan kesan sopan beretika. Nah inilah senjata nga filosofi terakhir orang jawa yaitu ngajeni. Peribahasa lain adalah ajining diri soko lathi, ajining diri soko busono. Gambaran benar-benar menjaga ucapan dan tingkah laku.
Ngajeni atau menghormati ini lebih dipengaruhi oleh kehidupan orang Jawa di masa lalu yang melalui masa panjang feodalisme. Akhirnya muncul sikap feodalistis yang sebagian besar menganggap negatif. Feodalistis masyarakat Jawa memandang Raja bukan sekedar simbol melainkan memiliki kekuasaan dan kekuatan. Bisa dikatakan munculah sikap patuh dan manut yang tak terkendali. Ciri khas feodalistis adalah memberikan kekuasaan besar pada golongan bangsawan dan sistem sosial yang mendewakan pangkat atau prestasi kerja. Namun, dalam masa feodal dulu tidak bisa disalahkan. Dalam tradisi masyarakat jawa ada konsepsi penguasa memiliki sifat bertentangan di dalam dirinya serta memelihara keseimbangan. Dalam artian memiliki kontrol diri yang baik dan mampu menciptakan keadilan. Sehingga penguasa (raja/ratu) layak mendapat penghormatan dan pengabdian sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatullah). Sehingga wajar jika sebagian menganggap pemimpin harus diikuti tanpa ada keinginan melawan. Kebiasaan masyarakat ini sangat bisa mematikan budaya kritis dengan tetap mendukung orang yang kurang bisa memimpin. Terbukti sampai saat ini masih terasa, rata-rata nyaman jika presiden itu orang Jawa. Kebiasaan ini sebenarnya memiliki sisi positif yaitu lebih mudah digerakkan dan disadarkan, dengan syarat oleh tokoh yang benar-benar tepat menjadi panutan. Mungkin Jogja bisa menjadi gambaran keadaan tersebut dimana keistimewaan Raja Ngayogyakarta Hadiningrat masih ada.
Ciri khas dasar orang Jawa yang lain adalah narimo ing pandum dan ora ngoyo. Filosofi orang jawa yang betul-betul sadar hakikat diri bahwa sejatinya hidup sudah mengalir berdasarkan koridor-koridor ketetapan dan kesepakatan hamba dengan Gusti di masa sebelum ada di dunia. Berusaha untuk berubah ada tetapi hanya sebuah improvisasi diri untuk menjalankan garis kodrat dengan sebaik-baiknya. Jadi tidak ngoyo tetapi penuh kesadaran dan selalu waspada.
Lalu dalam konteks sistem saat ini sebenarnya ada perlambang lain yang menggambarkan sosok orang Jawa tersebut. Punakawan adalah karakter khas dalam pewayangan yang sengaja diciptakan dan karakteristiknya memang sangat manusiawi. Para wali dahulu dalam penyebaran Agama Islam selalu melihat adat istiadat maupun dari budaya yang berkembang saat itu. Wayang dimodifikasi dengan memunculkan karakter Punakawan dalam rangka mengajak pada kebenaran dan mencegah kemungkaran. Sosok-sosok yang merakyat tetapi menjadi penasihat ndoronya (ksatria).
Adrian Kresna menjelaskan Punakawan memiliki figur-figur seperti:
1.    Semar yang bisa memberi kesejukan hati dan ketentraman hidup tanpa mengumbar hawa nafsu.
2.    Gareng yang tak mudah silau dengan kemajuan bangsa lain, bila perlu laku prihatin mengencangkan ikat pinggang sesuai kemampuan kodratnya.
3.    Petruk yang selalu sabar dan tidak grusa-grusu, pikiran dengan penuh bijaksana.
4.    Bagong yang selalu tabah dan sederhana, bisa memotivasi cinta negeri dan bahkan memberontak karena saking patriotisnya.
Punakawan ini memiliki tugas utama sebagai teman atau bisa juga disebut abdi untuk para ksatria Pandawa yang luhur budi pekertinya. Semar dan kawan-kawan juga bertugas sebagai pamomong atau penasihat spiritual. Semar mengajak para ksatria asuhannya untuk selalu berbuat kebaikan (nafs al mutmainah) dalam istilah lain amr ma’ruf. Adapun watak ksatria yang dimaksud seperti : sopan, jujur, berani, halus, budi pekerti luhur, sabar, tulus, gemar menolong, siaga, waspada, dan bijaksana. Gambaran seorang rakyat yang menjadi kontrol para pemimpinnya.
Nasib berbeda akan dialami Togog dan Bilung sesama abdi yang ngemong ksatria Kurawa. Nasihat dan omongannya selalu diminta tetapi tidak pernah didengarkan apalagi dilaksanakan oleh para Kurawa. Hanya sebatas formalitas belaka. Begitulah nasib rakyat di bawah pimpinan yang berbeda gambaran rakyat yang disayang pemimpin dan yang seolah diperhatikan namun sejatinya tidak. Maka rakyat dalam gambaran orang Jawa adalah bisa menjadi ksatria atau lebih tinggi lagi adalah penasihat para ksatria. Untuk menuju kebahagiaan suatu negeri memang harus ada pemipin bijaksana dan selalu digiring untuk mengajak kepada kebaikan.
Karakteristik perempuan Jawa secara lebih khusus lagi digambarkan pada dialog sosok Cangik dan Limbuk. Cangik adalah seorang janda, konon dulunya istri Tumenggung yang gugur di medan perang. Secara fisik memang cangik digambarkan dengan sosok yang sangat tidak menarik baik dari proporsi tubuh dan ukuran tubuh. Apalagi dihadapkan pada jenis masyarakat patriarki yang hanya memandang ketubuhannya saja. Limbuk digambarkan perempuan yang berbadan besar dengan tingkah lakunya yang kenes. Karakter ini sengaja .diciptakan untuk dikontraskan dengan sosok putri-putri istana. Sebagai pendukung keluhuran putri-putri keraton.
Cangik juga gambaran penyampai ide-ide masyarakat dan limbuk pendengar dan pembahas ide tersebut. Keduanya memang tergambar dalam hubungan seorang ibu dan anak. Dialognya menggambarkan norma kepantasan perempuan Jawa. Inti dari nasihat cangik kepada limbuk tentang kewajiban-kewajiban istri terhadap suami. Terkadang juga tidak luput bahasan mengenai atribut kekuasaan laki-laki. Mengkritik laki-laki yang terkadang didapati sering menggunakan segala cara untuk mencari dan mempertahankan perempuan, pangkat, dan kehormatan tanpa menghiraukan pihak lain.
Dalam cerita ciri khas dunia patriarki juga mengungkapkan dunia laki-laki penuh hierarki penindasan dan kekuasaan, sementara perempuan lebih cenderung pada kemerdekaan dan kesetaraan. Peran-peran yang menantang, membutuhkan tanggungjawab besar diperuntukkan bagi laki-laki dan peran-peran menjaga keharmonisan lebih dibawa sosok perempuan.
Jadi, berbicara karakteristik orang Jawa demikian kompleksnya untuk digambarkan. Sifat kuat seperti sabar, narima, dan ikhlas memang kental dimiliki orang Jawa yang sebetulnya lebih menunjukkan dimensi feminin. Kehilangan kejawaan bisa saja diartikan dari hilangnya unsur karakteristik bagai ksatria maupun rakyat yang menjadi penasihat ksatria. Bisa disimpulkan feodalistis masyarakat Jawa bukan hanya manut tetapi bagaimana ngemong pemimpin dan sesama untuk mencapai tujuan hidup sejati. Wayang kulit merupakan salah satu media dakwah yang digunakan para wali untuk mengajak pada kebenaran dan mencegah kemungkaran. Pemberi peringatan yang sesuai dengan dimensi feminin dan kebiasaan masyarakat tentu akan mudah diterima dan dipahami. Semoga karakteristik masyarakat Jawa tidak hilang dan kabur sehingga merupakan suatu hasil doa yang selalu kita amalkan: Allahuma arinal haqa-haqa warzuknat tibaa wa’arinal bathila-bahila warzuknat tinaba. Artinya : “Ya Allah tunjukanlah yang benar kelihatan benar dan berikan kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukannlah yang salah kelihatan salah dan berikan kekuatan kepadaku untuk menghindarinya. Memang sudah menjadi tugas kita semua sebagai seorang hamba yang berjiwa ksatria untuk menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya.

Sumber acuan:
Babad Tanah Jawi (Soedjipto Abimanyu)
Punakawan (Ardian Kresna)







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb