“Kalau
banyak ketimpangan di negara bangsa ini, akankah NKRI sempat menikmati ulang
tahunnya lebih dari angka seratus?”
Pernyataan sekaligus
pertanyaan yang menggelitik ini pernah saya temui dalam sebuah literasi
mengenai chaos dan cosmos. Kekacuan
akan menciptakan keteraturan tetapi sangat mungkin juga apabila kekacuan itu
berkepanjangan maka kehancuran yang didapati. Indonesia akan segara memasuki
era baru peta kekuatan politik dan ekonomi dunia. Perdagangan bebas slah
satunya, tak lama lagi menunggu hitungan bulan kita akan memasuki AFTA (Asean
Free Trade Area) di 2015 dan WTO di 2020. Lalu apa yang harus dipersiapkan oleh
negara bangsa ini?
Sebelum berbicara persiapan
menghadapi era perdagangan bebas ini hendaknya kita sedikit menganalisa fenomena
yang sebenarnya terjadi. Dalam perkembangan ekonomi dan kebutuhan manusia
berkaitan dengan konsumsi. Konsumsi yang tinggi menuntut pula produksi yang
singkat tetapi menghasilkan banyak barang. Barang-barang konsumsi yang bisa
bertahan lebih lama, bisa dinikmati penduduk dari belahan bumi yang lain, dan
tentu memberi keuntungan yang berlipat. Keadaan ini menjadi awal perubahan-perubahan
yang besar sepanjang kehidupan manusia. Perubahan dari masa berburu meramu beralih
ke bercocok tanam. Peralihan pertanian ke industri padat karya dan mesin yang
dikenal dengan revolusi industri pada abad 17. Adanya revolusi industri ini
membuat perubahan yang mendasar ketika industri berkembang seiring teknologi
juga terus berkembang maka kebutuhan bahan baku sangat beragam. Kebutuhan bahan
baku tidak mungkin dipenuhinya sendiri maka perlu mendatangkan dari daerah
penghasil hingga akhirnya munculah imperialisme modern. Perluasan daerah
pemasaran, mencari bahan baku mentah, penanaman modal yang surplus, dan tenaga
buruh yang murah.
Nusantara di masa lalu juga
merasakan dampak yang dahsyat. Ketika kelautan/maritim nusantara di era
kerajaan sangat kuat bahkan sangat disegani, bangsa barat hadir dengan
pengaruhnya yang lain. Perhatian penduduk nusantara dialihkan pada pertanian
darat yaitu berfokus pada pemenuhan bahan baku dan pengerahan buruh di sektor
pertanian. Akibatnya hingga sampai saat ini kita seolah terjebak pada sumber
daya di darat, itu saja hanya sektor pertanian. Kemudian melahirkan paham-paham
menjadi seorang buruh. Lebih berharga buruh kuli daripada bangga menjadi buruh
berdasi di corporate-corporate milik
asing yang sejatinya adalah penghisap. Bangsa ini melupakan laut kita sendiri
yang amat sangat kaya. Pertambangan dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Walhasil
ketidakseimbangan pemahaman ini membuat sebuah kekacuan di negeri yang kaya tetapi
tidak pernah menikmati kekayaannya.
Ada terobosan untuk
melakukan nasionalisasi aset. Tetapi nasionalisasi aset berarti negara harus
menanggung beban untuk membeli semua aset yang jatuh di tangan asing. Maka tentu
memerlukan jumlah uang yang tidak sedikit. Barangkali negara juga hanya bisa
berhutang. Pada siapa berhutang? Bank Dunia, tak ubahnya lepas dari satu
cengkraman menyerahkan diri pada genggaman lain yang lebih berbahaya. Maka tak
ada jalan lain selain negara bangsa ini harus berusaha mengelola perputaran
uang di negeri sendiri. Meningkatkan sektor-sektor produksi strategis termasuk
usaha kecil menengah. Meningkatkan wirausaha-wirausaha lokal yang harapannya
kedepan terus berkembang bisa membeli saham-saham yang sudah dimiliki oleh
asing. Inilah jalan nasionalisasi aset berdikari, bukan negara yang terbebani
tetapi seluruh elemen bangsa ikut andil merebut kedaulatan ekonomi dan sumber
daya alam yang telah lama lepas.
Berbicara AFTA dan WTO
memang suatu keharusan yang pasti terjadi. Era baru perkembangan setelah maju
pesatnya industri dan teknologi. Pangsa pasar adalah tujuan dari produksi
industri. Jumlah penduduk Indonesia yang tinggi menjadi tujuan pasar yang amat
menjanjikan. Ditambah kegemaran bangsa ini untuk menikmati namun belum terlalu
kuat muncul semangat untuk ikut memproduksi. Konon banyak orang kaya baru di
negeri ini jadi membeli semua barang tanpa memperhatikan daya guna. Sementara ketika
perdagangan bebas itu sudah mulai berjalan persaingan antar negara adalah
bagaimana bisa menyediakan produk barang dan jasa yang mampu bersaing. Memiliki
standar baku di pasar dunia. Jelas bahwasanya sebuah produk akan mampu bersaing
dengan produk dari negara lain apabila produk tersebut juga bisa menjadi raja
di negerinya sendiri. Tetapi faktanya produk asing sudah terlanjur merambah
menjadi teman keseharian kita. Indonesia adalah sasaran empuk pemasaran
berbagai produk.
AFTA sebuah keuntungan dan
kerugian. Keuntungan jelas dengan adanya kesepakatan yang sudah direncanakan
sejak tahun 1992 ini membuat barang dan jasa yang dipasarkan antar negara di
Asean tidak dikenai tarif bea masuk alias 0%. Kerugian adalah bagi negara yang
produknya kurang mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan negara lain.
sebenarnya AFTA sangat menguntungkan dengan perkiraan jumlah penduduk di Asean
yaitu sekitar 500 juta jiwa tentu dengan tingkat kesejahteraan yang beragam. Seolah
kesepakatan ini terlihat menguntungkan bagi Indonesia. Tetapi apakah produk
kita sudah siap, bukankah selama ini kita belum mampu memenuhi kebutuhan
sendiri terbukti dengan gemarnya main impor. Negara-negara di Asean seperti
Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina ini yang tentu lebih diuntungkan
apabila membaca pasar Indonesia dengan hampir separuh penduduk Asean adalah
WNI. Kalau Indonesia tidak ingin mengalami keruntuhan ekonomi maka harus segera
bisa mengelola sumber daya manusianya menghadapi tantangan baru ekonomi dunia
di 2015 dan 2020.
Ekonomi dunia saat ini
dikuasai oleh daratan Asia Pasifik negara seperti Jepang, Korea Selatan, China,
India, dan seharusnya Indonesia. Kita sangat diuntungkan sebenarnya dengan
penduduk yang banyak apabila bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Kalau tidak ya
hanya akan menjadi bulan-bulanan berbagai produk industri dari Jepang, China,
Korea Selatan, India, dan negara-negara adidaya. Ketidaksiapan pada akhiranya akan
membawa pada keadaan kekacauan yang seperti bom waktu siap meledak kapan saja.
Sebagai bangsa Indonesia
sebenarnya ada hal besar yang harus disadari bahwa negara bangsa ini pada
saatnya nanti akan kembali menjadi pusat peradaban dunia seperti di masa
lampau. Nusantara, nusa dan antara atau lautan diantara
gugusan-gugusan kepulauan. Tuhan telah memberikan anugerah yang luar biasa. Kita
memiliki zona laut dangkal yang amat luas di mana zona ini kaya akan ikan dan
tumbuh-tumbuhan laut. Didukung posisi kita berada di khatulistiwa sehingga
memperoleh panas matahari sepanjang tahun. Matahari yang menembus hingga
kedalaman 90 meter membuat fotosintesis dapat berjalan baik. Lautnya kaya
oksigen sehingga plankton tumbuh dengan subur. Ombak yang di dukung angin yang
terus ada sepanjang tahun dan pengaruh pasang purnama. Maka plankton dapat
tersebar merata sehingga lautan Indonesia dikaruniai ikan yang melimpah karena
sumber makanan utama ikan ada di laut Nusantara. Dan banyak dari kita mungkin
belum menyadari bahwa suatu saat bisa saja makanan utama kita beralih ke hasil
laut. Ya, daratan atau tanah yang terus menerus kita tanami ini memiliki jangka
waktu kesuburan. Tidak selamanya subur apalagi dengan adanya pupuk anorganik
dan pestisida yang merusak tanah. Maka jika hasil pertanian darat sudah tidak
mencukupi kebutuhan manusia di muka bumi, pada saatnya nanti hasil laut yang
sangat potensial. Bahan makanan pokok akan beralih pada hasil kelautan. Saat itulah
Indonesia harus sudah berdaulat penuh atas wilayah lautnya. Dan mulai saat ini
juga harus sudah mampu mengelola hasil kelautan. Seringkali karena keteledoran negara
bangsa ini pencurian hasil laut banyak terjadi di ZEE, sementara nelayan tradisional
kita tidak bisa berbuat apa-apa beradu dengan kapal-kapal besar berbendera
asing yang ikut mencari ikan. Secepatnya Indonesia harus sadar maritim dan
kembali seperti kejayaan Jenggala, Majapahit, maupun Sriwijaya di masa yang
lampau.
Keajaiban masih dimiliki Indonesia atau Bumi Nusantara
ini. Wilayah negara lain kesuburan tanahnya terbatas bahkan ada yang tidak
subur sama sekali seperti gurun pasir. Tengoklah negerimu tanahnya akan tetap
subur. Mengapa? Karena cincin api atau gugusan gunung api selalu memuntahkan
isi perutnya yang akan kembali menyuburkan tanahnya. Belum lagi jika
membicarakan sumber daya mineral, migas, dan berbagai barang tambang. Maka tinggal
menunggu waktu saja Nusantara bersama pribuminya kembali menjadi pusat
peradaban dunia atau barang kali hanya menjadi penonton kejayaan Nusantara di
bawah kuasa orang-orang asing. Sekali lagi melihat luar biasanya negara bangsa
ini bukan tidak mungkin peta kekuatan politik dunia terus melakukan berbagai
cara agar Indonesia tetap seperti ini, sengaja untuk terus dikendalikan seperti
boneka. Sekian.
Komentar
Posting Komentar