Langsung ke konten utama

Pemenang Yang Belum Menang

Pilpres tahun 2014 ini aneh dan lucu. Perhitungan quick count ataupun real count yang sejatinya hanya gambaran awal tanpa menghasilkan keputusan hukum yang sah seolah menjadi hasil pasti. Alangkah mengejutkan ketika masing-masing kandidat capres dengan segera mendeklarasikan kemenangannya. Kita tentu tidak bisa menyalahkan keputusan itu karena mungkin menjadi bagian dari strategi sekaligus rasa syukur masing-masing capres dan cawapres beserta tim sukses dan simpatisan.
Lalu, apakah keputusan itu sudah tepat? Rasanya bila muncul pertanyaan ini kita akan berpikiran ada suatu dampak negatif dikemudian hari. Ketika pemenang dalam pemilihan umum calon presiden ini ditetapkan oleh pemegang otoritas yaitu Komisi Pemilihan Umum. Reaksi-reaksi mungkin akan beragam, namun besar harapan kita bangsa Indonesia tetap berpikiran dewasa dan menerima ini semua sebagai takdir yang harus dilewati negara bangsa ini untuk naik ke tingkat berikutnya. Walaupun pasti ada laporan-laporan indikasi kecurangan atau pelanggaran selama pemilu, biarlah itu menjadi bagian dari proses  hukum yang memang sudah ada yang berwenang. Kita semua tidak perlu terlalu terpancing isu tak bertanggungjawab, cukup tetap berfokus mengawal pemerintahan yang akan datang dan tetap berkarya untuk negara bangsa ini. Bhinneka tunggal ika dan sila persatuan indonesia harus tetap ditegakkan.
Saya mencoba menggambarkan keadaan ini dalam suatu kisah pewayangan dari Bambang Pecuk Penyukilan alias Petruk dan Bambang Sukodadi alias Gareng. Gareng dan Petruk dahulunya adalah sama-sama ksatria. Bambang Sukodadi dikisahkan telah selesai dari pertapaanya di Bulukutiba dan memutuskan untuk mengembara. Dalam pengembaraan ia ingin menguji kesaktiannya terhadap ksatria yang ditemuinya. Bambang Sukodadi terbukti memang sangat sakti namun sifatnya yang sombong membuat siapapun ia ajak untuk berduel. Suatu hari, ia berjumpa dengan ksatria lainnya bernama Bambang Pecuk Panyukilan. Bambang Panyukilan juga sama-sama baru menyelesaikan pertapaannya. Maka bertemulah dua watak kesombongan dan keangkuhan masing-masing untuk saling mengunggulkan kelebihannya. Keadaan ini memaksa mereka untuk bertarung sebagai sarana membuktikan kesaktian masing-masing. Bambang Pecuk Panyukilan pun tidak merasa gentar menghadapi dan meladeni tantangan tersebut. Konon, pertarungan sengit keduanya berlangsung hingga berhari-hari.
Dua ksatria ini memiliki kesaktian yang sepadan. Perkelahian yang saling membuktikan kesaktian ini juga berdampak merusak tampilan fisik mereka menjadi jelek dan rusak akibat pukulan-pukulan yang dilancarkan kedua belah pihak. Lalu datanglah Batara Ismaya memakai jati diri sebagai Semar. Semar berusaha melerai perkelahian kedua ksatria ini namun tidak berhasil. Semar merasa berang terhadap sifat sombong dan angkuh keduanya. Lalu semar berkata bahwa sifat sombong dan angkuh adalah murka dan sangat jelek. Kata-kata semar yang merupakan kesaktiannya seketika itu pula berdampak pada Bambang Sukodadi dan Bambang Pecuk Panyukilan. Terkena kesaktian tersebut keduanya menjadi jelek. Akhirnya Bambang Sukodadi dan Bambang Panyukilan langsung menyesali diri begitu menyadari kini fisik mereka sudah buruk dan jelek. Mereka segera bertaubat dan mohon ampun tetapi wujud yang sudah berubah jelek tidak akan bisa dikembalikan ke asal mulanya. Dan ini menjadi takdir perjalanan hidup keduanya.

Tidak bisa dipungkiri terkadang pertarungan untuk membuktikan sesuatu dan mendapatkan sesuatu dibumbui hal-hal baik maupun buruk yang muncul ke permukaan. Alangkah malangnya apabila kita disibukkan untuk terus menerus mencari keburukan orang lain. Tentu sebagai manusia tidak akan pernah lepas dari kesalahan. Ada baiknya tetap berpikir positif bahwa kesalahan yang pernah diperbuat siapapun, mereka sudah menyadarinya dan bertaubat serta sudah berubah menjadi lebih baik. Bukan hak setiap orang untuk menghakimi terus menerus yang akhirnya membuat ketidaknyamanan. Adanya lembaga hukum dan peradilan lah yang bisa membuktikan hal tersebut. Tugas kita sesama manusia hanya bisa saling menjaga dan mengingatkan. Seperti dalam kisah Bambang Pecuk Penyukilan dan Bambang Sukodadi ternyata pemenang sejati adalah bukan yang bisa mengalahkan musuhnya tetapi sosok yang bisa mengalahkan angkuh dan sombong dalam dirinya sendiri. Sehingga kemenangan itu juga membawa kebahagiaan dan kedamaian bagi semua pihak. Durung menang yen durung wani kalah, durung unggul yen durung wani asor, durung gedhe yen durung wani cilik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb