Kebudayaan muncul dan
berkembang dalam suatu tatanan masyarakat. Kebudayaan memuat hal-hal kebiasaan
yang dilakukan secara turun-temurun dan berkesinambungan sehingga menjadi hasil
budi daya dari suatu kelompok hidup. Dalam istilah lain kita mengenal adanya
tradisi. Tradisi berkaitan dengan hal yang sudah dilakukan orang-orang di masa
lalu kemudian diajarkan pada generasi selanjutnya dengan berbagai dasar yang
melatarbelakangi adanya sebuah tradisi itu sendiri. Maka tradisi juga kadang
digunakan untuk memahami sesuatu yang bersifat konvensional dan kuno dengan
istilah tradisional. Sebagai masyarakat Jawa kita sangat paham kondisi sosial
yang sebagian masih menjujung tinggi tradisi nenek moyang. Kegiatan-kegiatan
yang bersifat khas tidak dipengaruhi dari ajaran agama maupun pengaruh dari
asing masih terus terjaga.
Masyarakat Jawa
sebagian masih memegang teguh tradisi tersebut dibarengi dengan agama yang
sudah diyakini. Maka terkadang bagi sebagian orang menganggap bahwa tradisi
tersebut bertentangan dengan ajaran agama. Anggapan bahwa keberadaan kegiatan ritual-ritual
seperti hal yang sangat kental dengan kepercayaan animisme, mistik, takhayul,
klenik, dan lain sebagainya. Tetapi, sebagian juga menilai bahwa ini adalah
bentuk sinkretisme di masyarakat Jawa, dimana terjadi asimilasi antara
kepercayaan yang sudah ada sejak lama itu dengan ajaran agama.
Masyarakat Jawa 80%
adalah pemeluk Agama Islam. Sebagian besar muslim Jawa masih mempertahankan hal
yang sifatnya khas tersebut tetapi dengan cara turut mengislamkan tradisi
tersebut. Tradisi slametan atau genduren, banyak yang mengasumsikan
kegiatan ini dengan kepercayaan tertentu. Kiranya pembahasan itu sering menjadi
perbincangan dan terkadang kerap menjadikan pertentangan. Sebenarnya bila
dipandang dari sudut relativisme masyarakat Jawa tradisi slametan memiliki pola dan makna tersendiri. Hal ini akan semakin
menguak bahwa kegiatan ini bukan hadir karena ajaran agama tertentu melainkan
sebuah peristiwa yang memang sudah ada sejak sebelum Jawa menjadi pusat
penyebaran beberapa agama.
Slametan
berasal dari kata slamet, yang oleh
orang Jawa di definisikan dengan kata “ora
ana apa-apa” (tidak ada apa-apa atau tidak ada sesuatu yang menimpa
seseorang). Bersifat upacara kecil yang formal dilaksanakan di waktu tertentu
dan peristiwa khusus yang sakral. Peristiwa seperti kelahiran, kematian, panen
raya, pindah rumah, membuka usaha, khitanan, membuat organisasi bahkan membuka
sebuah rapat politik. Tidak lain tujuannya ingin selamat. Suasana kejiwaannya
kuat dengan disertai hidangan beragam syarat makna dan doa-doa yang dipanjatkan
di acara inti. Di dalamnya ada penyampaian maksud dan tujuan dari si empunya
hajat dengan penjelasan menggunakan bahasa Jawa krama inggil yang sangat resmi.
Kemudian pemuka Agama Kyai atau ulama membacakan doa-doa keselamatan.
Secara pola slametan diselenggarakan umumnya di
malam hari seusai sembahyang Maghrib. Mengenai penentuan hari apabila berkaitan
dengan upacara katakanlah seperti pernikahan, tuan rumah akan mengambil hari
baik berdasarkan hitungan sistem kalender Jawa. Upacara dilakukan oleh kaum
pria sementara perempuan hanya bertugas menyiapkan segala hidangan dan
perlengkapan. Ketika prosesi upacara dilakukan perempuan hanya dibelakang ruang
utama sembari mengikuti dengan khidmat. Kaum pria yang diundang adalah tetangga
dan kerabat dekat. Tidak ada perbedaan siapapun diundang oleh utusan tuan
rumah. Tidak ada dasar seleksi golongan kaum tertentu yang boleh hadir
melainkan semuanya ikut ngalaberkah.
Alasan kegiatan ini
malam hari karena berdasarkan asumsi bahwa malam adalah waktu sengang dari
aktivitas pekerjaan. Pada umumnya masyarakat Jawa dahulu sebagai petani bekerja
di siang hari hingga petang. Prosesnya sangat sederhana, begitu tamu tiba
langsung duduk mengambil tempat yang biasanya berupa tikar. Duduk bersila
membentuk lingkaran yang memenuhi ruangan utama. Satu persatu berdatangan dan
suasana mulai sedikit ramai dengan obrolan para tamu. Bila lingkaran sudah
terisi penuh dan tuan rumah serta sesepuh atau pemuka agama telah menempati
posisinya maka suasana menjadi tenang tanda upacara siap dimulai. Pertama, tuan rumah menyampaikan
sambutannya yang pada intinya mengucapkan terimakasih. Kedua, tuan rumah atau terkadang yang mewakili mengutarakan niatnya
upacara selametan; misal upacara mitoni (7 bulanan), peringatan hari besar
Islam seperti Maulid Nabi, Peringatan 1 Syawal dan sebagainya. Setelah maksud
kusus tersebut maka maksud umum yang semuanya sama yaitu memohon keselamatan.
Setelah tuan rumah menyelesaikan sambutanya maka salah seorang yang hadir mulai
memimpin upacara. Dalam hal upacara ini doa-doa yang dipanjatkan dalam bahasa
Arab yang umumnya dipimpin kyai atau ulama kemudian para tamu mengamini.
Keadaan inilah yang
dianggap menjadi semacam percampuran. Tetapi sebenarnya apabila dinilai dari
sudut pandang Agama Islam pun tidaklah melanggar syariat tertentu apalagi tergolong
perbuatan bid’ah. Slametan, genduren,
atau kenduri ini dalam era modern saat ini bisa dikatakan seperti kegiatan
mentraktir kawan sejawat di sebuah restoran dengan berbagai hidangan. Sama ada
bentuk berbagi sesama manusia yang didalamnya ditambahkan doa bersama memohon
keselamatan dari Allah. Sesuatu bisa dikatagorikan bid’ah itu ketika mengubah
tatanan ibadah mahdah yang segala
sesuatunya sudah ada tuntunannya dalam Al-Quran dan Hadist. Maka slametan adalah ibadah muamalah dimana
dilakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan sesama manusia tanpa menyalahi
aturan yang ditetapkan Allah. Dimanakah letak keharmonisan tersebut? Nanti pada
akhir tulisan akan kita telaah makna slametan
ini.
Kegiatan akhir dari
upacara slametan adalah makan bersama
dan biasanya membawa berkat atau bingkisan dari tuan rumah untuk keluarga di
rumah. Harapannya agar ada rasa syukur dari semua pihak yang menerima seingga
mendapat berkah keselamatan. Maka upacara selamatan pun selesai.
Makna dari slametan ketika kembali dengan pandangan
relativisme Jawa maka akan diperoleh nilai hubungan sesama manusianya yang sangat
tinggi. Hadirnya semua kalangan tanpa membedakan status dan golongan menegaskan
bawa tidak ada beda dari orang lain, semua duduk sejajar bersama memohon
permohonan yang sama. Tidak ada yang merasa rendah diri semua disugukan hal
yang sama dan diminta untuk melakukan kegiatan yang serupa. Tidak ada seorang
pun mengucilkan diri dari orang lain, semua berhadapan berdampingan dalam satu
tempat. Maka jelas bahwa slametan
secara tata kebudayaan adalah kegiatan menahan kekuatan-kekuatan pengacau. Di
dalam slametan ada bentuk peristiwa
memusatkan, mengorganisasi, meringkas ide umum, dan menyatukan nilai. Sehingga slametan sebenarnya memang penangkal hal
negatif yang hadir dari kalangan orang per orang sendiri. Ancaman perpecahan,
disintegrasi, konflik kususnya di masyarakat Jawa sangat mungkin diredam dengan
upacara tradisi slametan. Tradisi serupa slametan di masyarakat lain juga ada misal di kebudayaan minang ada
upacara makan bajarna atau di papua
upacara bakar batu.
Namun, diluar pola dan
makna ada sesuatu yang kadang menjadi ganjil khususnya dalam memahami
penggunaan simbol atau kadang disebut sesaji. Di era berpikir modern saat ini
memang kita akan sulit menerimanya. Tetapi jangan lupa bahwa sesaji adalah
gambaran simbol-simbol yang didalamnya memuat unsur-unsur di bumi. Sederhananya
mengapa di Idul Fitri ada ketupat? Itu adalah simbol bahwa ketupat itu ketika
dibuka isinya putih bersih maka ada harapan kembali kepada fitri.
Kalau ada yang memahami
bahwa sesaji itu bentuk keharmonisan kita dengan sesama makhluk Tuhan yang lain
maka saya berusaha memahamkan seperti berikut ini. Jangan terburu-buru memaknai
bahwa sesaji wujud persekutuan manusia dengan makhluk halus berupa jin,
lelembut, danyang, dan lain sebagainya. Sekali lagi di Jawa telah berkembang
bahwa kita harus menjaga keharmonisan sesama makhluk. Tidak hanya yang nampak
seperti hewan, tumbuhan, air, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak dipungkiri
makhluk halus memiliki dunianya sendiri yang berdampingan dengan manusia. Maka
sesaji berupa makanan itu juga disediakan apabila mereka juga akan ikut
menikmati. Seperti menyiram tanaman
dan memberi makan hewan. Lalu apakah
makhluk halus makan seperti kita? Di kalangan Jawa kemenyan serta bau-bau
makanan dianggap sebagai makanan untuk makhluk-makhluk halus. Selain bau
kemenyan memang menyegarkan suasana, di luar hal itu adalah untuk mengajak
semua untuk menikmati makanan. Lalu makhluk halus memakannya seperti apa?
Seperti ketika di depan anda ada sate dan anda mencium aromanya, tetapi sate
tidak hilang. Untuk itulah mengapa makanan tersebut masih ada tertinggal untuk tetap
kita nikmati setelah makhluk-makhluk halus tersebut memakannya.
Komentar
Posting Komentar