Langsung ke konten utama

Membaca Ulang Kejawen


Masyarakat Jawa sudah sejak lama memiliki suatu ciri budaya yang khas yaitu Kejawen. Kejawen dikatakan sebagai ajaran, ilmu, paham, maupun agama. Namun, nasib ajaran kejawen saat ini cenderung mulai tersingkirkan dan dianggap ilmu yang tidak sesuai lagi karena penuh mitos dan mistis. Sekiranya pemahaman seperti itu perlu kita luruskan dan kita buka kembali sejaranya. Kalau melihat beberapa ajaran yang pernah berkembang di Jawa bisa kita rangkum menjadi 3 periode. Pertama, masa sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha yaitu semacam bentuk animisme dan dinamisme kepercayaan terhadaproh-roh dan danyang. Namun, banyak yang berpendapat bahwa bangsa Jawa di kala itu sudah memiliki kepercayaan yang di luar animisme dan dinamisme. Terlihat dijumpai pada bentuk piranti upacara nasi tumpeng, pundhen berundak dan candi. Bahkan ilmu pengetahuan tentang perhitungan waktu, windu, wuku, dan neptu dina.
Kalau berdasarkan beberapa sumber misalnya Babad Tanah Jawi diperkirakan masa kepercayaan Jawa ini terjadi sekitar 500-600 SM. Ketika zaman Chun Chu’lu di Tiongkok terjadi peperangan dan ada beberapa Jung yang mendarat di Pulau Jawa. Saat itu sudah dijumpai penduduk yang berkulit sawo matang dan mata tidak sipit, ada juga berkulit kuning langsat dengan mata sipit. Fakta ini mungkin berhubungan dengan sebuah sumber yang menyatakan Penduduk Jawa berasal dari orang-orang daratan Cina yang membanjiri pulau ini sejak 3000 SM.  Kemudian dikisahkan juga Raja Rum pernah memerintahkan pada tahun 350 SM mengirimkan 20.000 laki-laki dan 20.000 perempuan ke Pulau Jawa. Bisa dipastikan masa itu penduduk di Jawa memiliki ajaran tersendiri yang mungkin sumber sejarahnya perlu terus di gali.
Barulah pada tahun 100 SM terjadi perpindahan kaum Hindu-Waisya karena terjadi permasalahan keyakinan. Kemudian para pedagang atau kaum Waisya ini meninggalkan India menuju tanah Jawa. Ini menjadi awal masa kedua ajaran yang pernah berkembang di Jawa. Tulisan kuno tentang Jawa menerangkan tentang kisah Aji Saka seorang utusan dari Kerajaan Astina (Gujarat). Aji Saka ini yang menaklukan penguasa tanah Jawa saat itu yaitu Raja Dewata Cengkar dari kerajaan Medang. Namun tidak lama berselang Aji Saka dikalahkan oleh Daniswara sehingga membuat ia harus kembali ke Astina. Tahun 125 M Aji Saka kembali lagi ke Jawa dengan membawa gerombolan orang-orang Buddha. Secara berangsur-angsur mulai menduduki berbagai wilayah di seluruh Jawa hingga tahun 424 M. Perpindahan kedua ini dikenal dengan mulainya Babad Tanah Jawa.
Pada tahun 450 M terjadi lagi perpindahan penduduk India penganut ajaran Wishnu yang menetap di sekitar sungai Citarum dan Cisadane. Kalau melihat ajarannya dan posisinya di wilayah barat Pulau Jawa dapat dipastikan ini adalah cikal bakal Tarumanegara, sebuah kerajaan Hindu tertua ke-2 setelah Kutai di Kartanegara. Kisahnya terdapat dalam Naskah Wangsakarta.
Di pusat pulau Jawa juga masih berdiri kerajaan Medang yang kemudian pada tahun 900 M berpindah ke Jawa Timur. Kerajaan ini lebih kita kenal dengan Medang Kamulan. Kamulan ini adalah Ngastina atau Gajah Huiya merupakan keturunan Hindu Waisya yang dimasukkan dalam kekuasaan kerajaan Medang periode Jawa Timur setelah berpindah dari Medang periode Jawa Tengah. Dalam sejarahnya, kerajaan ini diperintah oleh Airlangga (1019-1049M) kemudian digantikan Prabu Jayabaya (1135-1157 M). Masa ini sebenarnya juga bukan merupakan ajaran Hindu ataupun Buddha yang murni karena lebih kepada muncul ajaran baru bernama Siwa Buddha atau Jawa Buda. Bentuk ajaran Agama Buddha Mahayana yang bercampur dengan ajaran kepercayaan Jawa. ajaran ini mencapai puncak keemasannya pada era kerajaan Majapahit.
Ketiga, masa masuknya Islam dan berkembangnya ajaran Kejawen. Ajaran kejawen sebenarnya adalah ajaran Islam Tasawuf yang berbalut Jawa Buda. Ajaran ini berkembang pada era Majapahit yang diprakarsai oleh Wali Sanga terutama Sunan Kalijaga. Ajaran kejawen yang diprakarsai oleh Wali Sanga hampir semua naskah-naskahnya dapat kita temui di Keraton Surakarta, Yogyakarta, Kacirebonan, Mangkunegara, dan Pakualaman. Pada perkembangannya kejawen ini mulai tersingkirkan dan dianggap ajaran yang berdiri sendiri di luar Islam. Hal ini didasari pelbagai faktor yaitu kesimpangsiuran informasi, masuknya pengaruh barat dengan paham matrealisme, dan adanya pemurnian Islam beberapa kelompok Fikih.
Pada kisaran abad-19 kejawen banyak diklaim sebagai ajaran di luar Islam oleh beberapa kelompok Islam Fikih. Penganut kejawen dikucilkan dan mendapat cap negatif dari mereka. Keadaan ini mengakibatkan muncul berbagai reaksi dari penganut kejawen. Para penganut kejawen melakukan perlawanan dengan sengaja memisahkan diri dari Islam atau tidak mengakui bagian dari Islam. Pada saat itu juga berbarengan imperialisme barat dengan semboyan 3G (Gold, Glory, Gospel) yang sejak kedatangannya mengikis jati diri bangsa nusantara. Maka demi memuluskan penyebaran agama bangsa barat, kejawen ikut pula ditampungnya. Keadaan ini membuat informasi yang berkembang dari waktu ke waktu seolah Islam dan Kejawen terpisah dan menganggap kejawen ajaran asli Jawa. Padahal kejawen lahir dari Islam Tasawuf yang didakwahkan oleh wali sanga di Tanah Jawa. Ajaran kejawen ini induknya adalah Wirid Hidayat Jati.
Penelitian yang dilakukan Clifford Geertz (1950) dalam bukunya Agama Jawa menggolongkan adanya kelompok Abangan, Santri, dan Priyayi. Saat itu juga telah masuk ajaran marxisme yang akhirnya menimbulkan manifestasi tersendiri di kalangan orang Jawa. Kejawen atau yang dianggap oleh Geertz sebagai Agama Jawa melebur bersama marxisme yang nasionalistik. Keadaan ini memungkinkan pemeluknya mendukung kebijakan politik komunis di Indonesia sambil memurnikan upacara-upacara dalam kejawen terutama dari kalangan abangan. Pemurnian ini sekali lagi semakin menjauhkan kejawen dari sisa-sisa ajaran Islam di dalam kejawen itu sendiri. Maka tak pelak munculah berbagai aliran baru kejawen yang sejatinya salah paham.
Ajaran Kejawen bentuknya sebagai wejangan yang utuh bersumber dari Tasawwuf Islam. Tasawwuf merupakan ilmu untuk menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun lahir dan batin, dan memperoleh kebahagiaan abadi. Wejangan-wejangan untuk senantiasa mengingat Allah ini kemudian dinamai wirid. Jadi, wirid tidak hanya kita pahami sebagai bacaan-bacaan khusus yang dilafalkan selesai menjalankan ibadah wajib. Sunan Kalijaga (1450-1550) merangkumnya dalam wejangan utuh sebagai dakwah, kemudian mencoba dikumpulkan kembali oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1594-1645), dan terakhir kali oleh Ranggawarsita dikumpulkan kembali kemudian disebut dengan Wirid Hidayat Jati. Demikian sedikit gambaran sejarah Kejawen sebagai hasil Islam Tasawwuf. Wa Allahu A’lam
Sebagai penutup ada beberapa rangkuman yang sekiranya dapat memperjelas sejatinya kejawen. Hal ini diungkapkan oleh Dhamar Shashangka mengenai pelurusan kembali definisi kejawen sebagai berikut.
  1. Kejawen pada mulanya jelas-jelas ajaran para wali. Tidak dikenal dan ditemui istilah kejawen pada lontar-lontar masa Majapahit ke atas atau masa yang lebih tua dari Majapahit.
  2. Kejawen adalah bagian dari Islam secara tidak langsung, bukan ajaran asli Jawa. Naskah-naskah kejawen banyak dan mudah didapati di keraton-keraton Jawa yang sampai sekarang masih eksis.
  3. Aliran baru yang mengajarkan spiritualitas Jawa yang tidak bermuatan Tasawuf Islam, Hindu-Budhha, Katolik, sebaiknya tidak disebut Kejawen. Lebih baik disebut sebagai Jawadipa.
  4. Aliran baru yang mengajarkan spiritualitas Jawa bermuatan ajaran Hindu Budhha sebaiknya tidak disebut Kejawen juga. Lebih baik disebut sebagai Jawa Buda.
  5. Aliran baru yang mengajarkan spiritualitas Jawa bermuatan Katolik bolehlah kita sebut Kejawen. Tetapi demi diferensiasi, lebih baik kita sebut kejawen katolik.


Sumber :
Babad Tanah Jawi (Soedjipto Abimanyu)
Agama Jawa (Cliffort Geertz)
Induk Ilmu Kejawen; Wirid Hidayat Jati (Dhamar Shashangka)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb