Langsung ke konten utama

Sumpah Berujung Serapah

Sumpah adalah kata-kata, janji, komitmen yang telah diucapkan seseorang disertai dengan sesuatu yang menguatkan sumpahnya tersebut. Seseorang biasanya bersumpah ketika akan terikat dengan apa yang akan diembannya. Seperti sumpah jabatan, kontrak, perkawinan, saksi peradilan, dan lain sebagainya. Kita sering kali menyaksikan di televisi maupun secara langsung para pejabat melakukan sumpah jabatan. Berbicara mengenai sumpah jabatan yaitu sumpah yang sejatinya memiliki keterikatan yang sangat kompleks. Keterikatan janjinya pada Tuhan, komitmen dirinya, orang-orang yang mempercayainya, dan hukum yang berlaku.
Orang yang mengucapkan sumpah pastilah penuh kesadaran dan bukan sekedar ucapan yang terlontar dari mulut. Apabila kita membahas lebih mendalam mengenai sumpah jabatan maka banyak kejanggalan kita temukan. Pelantikan jabatan strategis pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif disertai dengan sumpah dibawah keyakinan yang dianutnya. Tetapi, akhirnya banyak kita temui mudahnya seseorang dalam jabatan itu melanggar sumpahnya. Fenomena yang sebetulnya tidak bisa diterima akal sehat tetapi sekarang menjadi hal yang seolah wajar. Sumpah seolah-olah hanya sisi pelengkap proses formal yang harus ditempuh ketika akan mengemban amanah suatu jabatan. Celaka sekali kalau semua sudah menganggap bahwa sumpah hanya sekedar pernyataan tak berisi bahkan tanpa beban moral si pemegang sumpah.
Pada prosesnya menyeleweng, melanggar, atau mengkhianati sumpahnya sendiri bisa dengan mudah dilakukan. Misalnya seorang bupati bersumpah dalam jabatannya akan menjalankan tugasnya  dengan sebaik-baiknya, tidak melanggar ketentuan hukum, melaksanakan hingga waktu yang ditentukan. Selama kurun waktu jabatan bupati tersebut seharusnya bupati yang sudah bersumpah itu memegang teguh ucapannya. Sumpahnya menjadi kontrol diri pribadi. Menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya maka bupati tersebut harus melaksanakan program yang telah ia susun. Kepentingan orang banyak diutamakan bukan kepentingan pribadi. Kerap kali seorang bupati atau pejabat strategis lainnya lalai dan akhirnya menjalankan praktik-praktik KKN.
Hal lain berkaitan dengan masa jabatan. Kalau berkaca peraturan di Indonesia si bupati tersebut dalam masa jabatannya boleh tidak menyelesaikan tugasnya sampai batas waktu yang ditentukan. Misalnya, bupati meninggal sebelum masa jabatan berakhir, mengundurkan diri dengan alasan tertentu,dan  mendapatkan jabatan struktural lainnya. Kalau berhenti dari jabatan berkaitan dengan usia, kemampuan fisik dan mental maka ini melanggar sumpah tetapi diluar pengetahuan kita manusia. Namun, jika berkaitan dengan pelanggaran hukum atau mendapatkan jabatan struktural lainnya jelas ini bisa kita katakan melanggar sumpah jabatannya. Terbukti si pejabat tidak bisa memegang komitmen sekaligus mengendalikan pribadinya. Alasan apapun yang mendasarinya tetap saja ini melanggar sumpah dengan sengaja. Pejabat bisa saja berkelah  tugas masih diteruskan oleh wakil dan pejabat lain yang ditunjuk. Pejabat masih bisa ikut mengurus program dari jenjang struktural yang lebih tinggi.
Pertanyaan-pertanyaan muncul, apa iya transisi tidak mempengaruhi program? Bagaimana janjinya dengan masyarakat di masa lalu? Yang jelas sumpah yang tidak dipenuhi sedikit banyak akan mempengaruhi integritas seorang pemimpin. Hobi melanggar sumpah jelas mengurangi kepercayaan bagi orang-orang yang mau menelaah dengan jernih dan cerdas. Sumpah khususnya sebuah jabatan bukan perkara seperti dunia permainan anak-anak, setelah terucap lalu terlupakan.

Wajar saja kalau sumpah berujung serapah. Serapah bisa dikatakan sebagai kutukan atau doa jelek yang sagat dipengaruhi kesetabilan emosi. Masyarakat kalau sudah dikecewakan maka tidak bisa dicegah lagi serapah bermunculan. Penilaian yang kadung tidak simpatik dengan perbuatan seorang pejabat atau tokoh membuat stigma-stigma negatif bersautan. Bibit-bibit serapah siap tumbuh. Di luar aturan yang berlaku di negara bangsa ini sudah seharusnya figur-figur pengemban jabatan itu jangan bermain dengan sumpah. Jangan bermain dengan sumpah suci kalau tak ingin berujung serapah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb