Langsung ke konten utama

Biasa Bagian Dari Istimewa


       Suara keceriaan anak-anak bermain menggelayut di sekitar rumah kecil di ujung gang sempit kota istimewa. Begitu istimewa kota ini bahkan sangat istimewa di mata dunia semenjak lahirnya daerah ini berabad-abad yang lalu. Jogja itu memang istimewa, sampai sekelompok pemuda asal jogja yang sudah mendunia dengan gaya rapnya pun mengungkapkan sajak “jogja istimewa istimewa orangnya istimewa negerinya”. Kita semua sudah tidak asing dengan lirik yang dilantunkan oleh jogja hip hop foundation itu. Istimewa orangnya terkadang masih terngiang dan berkecamuk keras dalam diri saya. Saya lahir di Jogjakarta besar dan tinggal di Jogjakarta tetapi merasa biasa saja tidak ada yang istimewa. Begitu pula dengan lingkungan sekitar rumah, orang-orang sibuk dengan kegiatanya, seperti berdagang di malioboro, bekerja sebagai pegawai, tukang sampah, karyawan, bahkan debt collector yang dikenal kejam. Tetapi bedanya kalu di Jogja walaupun debt collector tetap berhati nyaman.
       Masih banyak orang-orang di kota istimewa ini dengan hanya duduk termangu membayangkan masa depan dan masih saja belum dapat kesempatan untuk jadi lebih sejahtera. Keseharian saya juga hanya pergi kuliah, nongkrong di warung kopi diskusi membicarakan ini dan itu, bergelut dengan tugas, dan sesekali mengayuh sepeda mengobati penat. Kalau indikatornya dua hal tersebut nampak tidak ada istimewanya sama sekali. Tetapi istimewa dalam benak saya saat ini berbeda dengan penafsiran kebanyakan orang di kota ini bahkan di negeri yang amat kaya Indonesia Raya. Kalau mau tahu bedanya ya silahkan dibaca sampai tutug J.
       Kota budaya, kota pelajar, kota gudeg, keraton yang berdiri megah, ratusan gedung perguruan tinggi, ratusan lokasi wisata, dan berbagai kesenian menghiasi wajah kota ini.  Sudut-sudut kota istimewa ini sudah saya jelajahi satu persatu, maklum dengan keseharian yang bisa dikatakan tidak banyak kegiatan atau teman-teman menjuluki saya dengan istilah “wong selo” (orang dengan banyak waktu luang). Berbagai tempat wisata budaya, alam, religi, dan berbagai jenis tempat yang memanjakan mata pernah saya satroni. Sebut saja wisata alam pantai dari ujung barat Kulon Progo sampai ujung timur di Gunungkidul tidak ada yang terlewatkan. Sering setiap akhir pekan dengan modal uang seadanya menyewa tenda dome saya sempatkan menginap bersama teman-teman yang memiliki hobi sama untuk menghabiskan malam sembari bertukar pikiran. Keindahan alam Jogjakarta memang patut untuk disyukuri Gunung Merapi di utara, Laut Selatan dengan beragam keindahan pantainya, perbukitan menoreh yang membentang di sisi barat serta pegunungan seribu di wilayah timur. Luar biasa dan istimewa mungkin kata-kata yang memang pantas untuk melukiskan semuanya.
       Sejak kecil hingga saat ini terhitung sudah 10 kali saya berpindah rumah, maklum keluarga saya kontraktor alias kontrak sana kontrak sini. Dengan pengalaman hidup yang selalu berpindah itu saya juga mulai paham bagaimana karakteristik warga Jogjakarta yang sangat heterogen. Rasanya 10 kali hijrah itu akan sangat panjang bila diceritakan. Tentang Jogja Istimewa versi saya baiknya dibahas salah satu bagian saja. Sepenggal keistimewaan dimana saya merasa menjadi bagian kecil di dalamnya. Ketika masih tinggal di Gunungkidul dengan suasana lingkungan yang sebagian orang menganggapnya kampungan saya malah merasakan keistimewaan. Karena bagi saya istimewa itu originalitas masih terjaga, orang istimewa adalah orang yang beridentitas dan bercirikhas. Orang asli Gunungkidul seperti saya ini disebutnya bukan anak singkong lagi, memang gunugkidul terdapat banyak singkong tetapi sudah bertranformasi menjadi gaplek maka tesebutlah kota gaplek. Kota gaplek mungkin asing bagi sebagian orang tetapi itulah Gunungkidul dan saya ini anak gaplek. Gaplek itu singkong yang sudah dikeringkan dengan dijemur agar lebih awet. Kalau pernah mendengar atau merasakan nasi thiwul bahan dasarnya dari tepung singkong alias gaplek yang sudah dihaluskan. Kadang ada yang mengungkapkan kekesalan dengan kata ahh gapleki, maknanya tidak jauh beda dengan ndeso atau katrok.
       Gunungkidul adalah kabupaten di sebelah timur wilayah DIY dengan kontur pegunungan karst tetapi menyuguhkan hamparan pasir putih pantai dan goa dengan aliran sungai bawah tanah dengan stalagtit dan stalagmit yang super. Setidaknya hingga saya besar saat ini sudah pernah menjelajah beberapa goa bawah tanah termasuk goa vertikal yang terkenal dengan cahaya surganya di tengah hari. Ya, goa jomblang. Membahas gunungkidul pasti tidak akan lepas dari keindahan alam dan kulturnya. Warganya terkenal ramah dengan gaya “ndeso” yang arif masih akan tetap kita jumpai. Sebagian besar warganya petani lahan tadah hujan yang tinggal di rumah-rumah tradisional jawa. Kecuali yang sudah hengkang dan merantau dari desa, kebanyakan mereka menjadi bergaya sok kota-kotaan. Memang sebagaian besar warganya merantau sekedar menjadi buruh atau kuli di kota-kota besar di Indonesia. Bisa dikatakan ketika di perantauan mereka punya bos atau majikan dan ketika pulang mereka berlagak seperti bos atau majikan. Terkadang dandanan mereka malah seperti televisi berwarna 14” dengan warna-warni berpadu, mirip bos kw 10 J.
       Lucu dan nyeleneh apabila membahas warga gunungkidul, banyak gubuk reot disana tetapi motor-motor kendaraan baru terpajang di depan rumah. Bahkan masih banyak WC berupa “jumblung” yaitu semacam lubang sumur yang diatasnya diberi batu dan lubang tempat nongkrong di pagi hari J. Semacam itu gambaran umum disana mungkin arus perkembangan zaman yang serba modern ini mulai menggusur ndesonya akibatnya ya semacam dijajah teknologi. Gengsi menjadi alasan utama mereka denga gaya hidup yang cenderung tidak ndeso lagi.
      Bagi saya istimewa yang saya alami dan rasakan di Gunungkidul selain sisi originalitas ndesonya adalah bentuk budaya gotong-royongnya masih terjaga sampai saat ini. Budaya sambatan itu masih ada sampai sekarang. Kalau di kota mana ada kerja bareng tanpa diberi upah. Sambatan itu dari kata sambat. Jadi, kita punya hajat dan ingin merepotkan orang lain. Saat mau merepotkan itu kita sambat/berkeluh kesah atau pada intinya minta tolong.
       Banyak orang-orang asal Gunungkidul menempuh pendidikan tinggi dengan bersekolah di berbagai universitas ternama di Jogjakarta. Termasuk saya ini yang mencoba peruntungan dengan diajak orangtua merantau dan akhirnya sekarang juga berstatus mahasiswa. Bersekolah hingga perguruan tinggi adalah salah satu impian saya sejak di bangku taman kanak-kanak yang akhirnya terwujud. Dalam benak saya terkadang terpikir jika saat itu tidak merantau mungkin saya sudah menikah muda dan berkeluarga. Fenomena menikah muda masih sangat tinggi di kota istimewa ini yang umumnya kita jumpai di wilayah-wilayah pinggiran. Ada anekdot dengan bahasa njakarta, nikah itu syaratnya cuma kaleh, kalih sinten?  (nikah itu syaranya hanya dua, menikah dengan siapa?). Kalau bingung maksudnya tanyakan saja pada orang Jogja J.
       Kita sering menggunakan istilah njakarta untuk berbicara dengan bahasa campuran Jawa dan Indonesia. Misal “sudah berapa dina tidak makan sega?” yang maksudnya sudah berapa hari tidak makan nasi. Atau “eh kemarin aku jalan ngidul waktu di jalan sliringan sama kamu pas nunggang motor, tapi aku celuk tidak mengo” yang maksudnya kemarin aku jalan ke arah selatan berpapasan dengan kamu sedang naik motor tapi aku panggil tidak menoleh. Kata-kata semacam itu dalam obrolan kita kenal dengan istilah njakarta. Apalagi bahasa di jogja ada lagi bahasa preman yang menggunakan lafal aksara jawa, seperti brand clothing yang terkenal dengan kaos oblongnya. Di jogja ini bagi orang biasa seperti saya dengan duduk ngobrol di warung kopi atau angkringan saja sudah mendapatkan hiburan yang istimewa.
       Segelintir cerita tentang gundul (Gunungkidul) menggambarkan kehidupan sosial yang akan kita jumpai bila ada di lingkungan tersebut. Selain originalitas yang sudah saya ceritakan tadi ada sisi yang menunjukkan perubahan ke arah modern dari wilayah Gunungkidul. Pembangunan kota sebagai pusat pemerintahan berkembang seperti wilayah-wilayah yang lain. Gedung-gedung pemerintahan, fasilitas umum, pertokoan, dan pusat-pusat perbelanjaan satu persatu bermunculan termasuk pembaharuan penataan pasar-pasar tradisional. Dengan adanya pembangunan fisik seharusnya perlu ada kesadaran dari semua pihak untuk meningkatkan pembangunan sumber daya manusia. Agar orang-orang biasa seperti saya tetap merasakan istimewa dan tetap menjadi bagian dari keistimewaan Jogjakarta. Orang biasa dengan kesadaran intelektualitas dan religiusitas tidak akan termakan modernisasi hanya pada sisi luar saja. Karya-karya anak bangsa dalam segala bidang sangat ditunggu daerah dan negara kita tercinta ini untuk membawa modernisasi ala indonesia dengan identitas budaya masing-masing. Kalau sekedar konsumtif mungkin wc’nya masih jumblung tapi nongkrong sambil main i-pad dan manasin montor ninja J. Atau mungkin main tablet terus salah nulis status. Lucu belum lama ini ada masalah yang katanya penghinaan Jogja. Bagi saya tidak apa-apa, wong kalau tidak dihina ya tidak merasa kalau punya, tidak sadar mau menjaga. Piss dab!
       Dari Gunungkidul saya belajar. Ada satu keyakinan yang tertanam kuat bahwa suatu saat saya dan gunungkidul saling membutuhkan. Begitupun kita semua harus memiliki keyakinan seperti itu untuk daerah kita masing-masing dan ciri khas itu bukan untuk dicari perbedaannya tetapi untuk saling menghargai. Dadi wong biasa ora popo, dadi wong istimewa nek ora ngati-ati malah dadi popo.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb