Desa saya sudah banyak berubah
sejak awal tahun 90’an. Ibu saya pernah bercerita bahwa sejak tahun ‘85 warga
desa satu per satu mulai merantau dan mengikuti program transmigrasi. Kebanyakan
warga termasuk saudara-saudara ibu mengikuti program transmigrasi di daerah
Jambi, Palembang, dan Lampung. Merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, dan Semrang juga dilakoni demi harapan penghidupan yang lebih layak. Termasuk
Bapak dan Ibu saya yang pada pertengahan 92 merantau ke semarang kemudian
selang 2 tahun setelah Bapak terkena PHK berpindah menjadi buruh di Jogja
sampai saat ini.
Kebiasaan warga desa saya yang
semakin tahun semakin kuat ya merantau. Saban tahun pemuda-pemuda desa berbekal
ijazah SD bahkan hanya modal nekat pun berangkat ke Jakarta, Bogor, Bandung,
Tangerang, dan kawasan industri lainnya. Melihat kesuksesan relatif beberapa
orang yang pulang ke desa dengan keadaan dan gaya bicara yang berbeda menjadi
semakin menggiurkan. Termasuk Mas Dwi tetangga saya yang sejak kecil sudah
biasa bekerja keras. Buruh tani, beternak, penambang batu putih, dan nukang di desa pernah ia lakoni sebelum
memutuskan untuk ikut merantau.
Berpegang pada keinginan kuatnya
untuk mengubah kehidupan agar lebih baik ia mulai bekerja di sebuah perusahaan
roti di Jogja. Desa saya di Gunungkidul dengan Jogja berjarak kurang lebih 30km
ditempuh dengan angkutan umum sekitar 45 menit. Bekerja di perusahaan roti
sekitar 2 tahun tetapi sayang di tahun 97 pabrik roti itu harus gulung tikar. Mas
Dwi akhirnya memutuskan kembali ke desa menjadi buruh tukang. Di tahun 2000-an
kakak iparnya yang merantau, mengajaknya untuk bekerja di Jakarta. Mas Dwi
tanpa berpikir panjang menyetujui ajakan tersebut. Dalam pikirannya daripada
kerjaan nukang di desa yang tidak begitu laris. Ya, desa masih mengenal sistem sambatan (gotong royong) untuk membangun
rumah atau kandang ternak. Tukang bayaran hanya dipake kalau ada yang membangun
rumah permanen.
Setelah 3 tahun di Jakarta Kang Dwi
Pendek sapaan akrabnya kembali ke desa lagi. Konon ceritanya ia di Jakarta
mendapat pekerjaan yang lumayan menjanjikan. Mas Dwi bekerja sebagai buruh
pemasangan interior gypsum. Ia memutuskan
pulang kampung karena berniat mulia untuk menikah. Seorang gadis yang rumahnya
terletak di sebelah langgar desa rupanya sudah memikat hatinya sejak masa
remaja dulu.
Beberapa waktu sejak Mas Dwi
mencari nafkah di tanah seberang memang kami menjadi jarang bertemu. Mas Dwi sore itu mampir ke
rumah saya di Jogja. Ia datang bersama anak dan istrinya setelah 2 tahun
menetap bekerja di Palembang. Saya ingat ketika saya pulang kampung lebaran 2 tahun
yang lalu membawa hp touch screen
paprikan korea yang rupanya menarik perhatian Mas Dwi. Saat itu ia nyeletuk
pada saya, “saploke tuku hp iki iso
ketemu koncoku neng fisbuk.” (sambil menunjukan hp cina miliknya yang ada
antena televisinya)
Kemudian Mas Dwi meminjam hp saya dan terlihat lihai
memainkan berbagai aplikasi. Lalu ia bertanya, “hp ngene ki larang ora? Sing iso nggo yutub, neng yutub ki ndelok
opo-opo ono.”
Wajar saja seorang pekerja
seperti Mas Dwi pastilah hiburannya sejenis dangdut pantura yang bisa ditonton
dan di unduh gratis dari yutub, eh youtube
maksud saya. Ia juga bercerita baru saja membeli audio player yang memory penyimpanannya menggunakan flashdisk. Sampai sekarang belum pernah
ia gunakan soalnya belum punya flashdisk.
Baru ketika kakak saya menghadiahkan flashdisk dengan diisi lagu-lagu dangdut
senangnya bukan main.
Ada sesuatu standar baru dalam
masyarakat bahwa seakan media sosial sudah menjadi semacam kebutuhan yang
utama. Menulis status dan menunggu untuk dikomentari. Mengunggah foto dan
berbagi informasi sekaligus ada niatan sederhana mendapatkan like dan
pertanyaan, “dimana itu? kok bagus sekali.” Mengupload video menjaring pemirsa
sebanyak-banyaknya. Kebutuhan eksistensi diri setiap individu memang melekat
seperti hal pokok yang harus dipenuhi. Media sosial menjadi tempat orang yang
terkadang tak bisa bersosialisasi menjadi gagah dan perkasa dalam mengungkapkan
pikiran dan gagasannya.
Sekedar bertemu dan berbagi pesan
dengan kawan lama. Seperti mas Dwi yang bisa bertemu lagi dengan teman-teman
kecilnya melalui fisbuknya. Setiap orang bisa tiba-tiba muncul dan
menjadi panutan di dunia maya. Apalagi public
figur yang telah lama ada ketika mempunyai sosmed langsung beramai-rami
berteman atau sekedar menjadi pengikut untuk mengulang apa yang diungkapkanya. Media
sosial yang banyak macamnya bisa tersedia dalam satu gadget mungil harga
miring. Ini sebuah kemajuan teknologi sekaligus memangsa setiap individu. Banyak
individu jadi gagap dan latah. Gagap membeli supaya terlihat smart dengan memegang smartphone dan latah ikut berbicara apa
saja terkadang tak peduli what’s on your
mind atau what’s happening. Sudah
banyak yang terkena boomerang karena
ucapannya yang ternyata melanggar. Padahal maksud hati ingin berkata apa yang
ia pikirkan dan apa yang terjadi sesuai tujuan menulis status itu sendiri.
Seandainya pemakai media itu
punya tujuan yang sederhana seperti apa yang Mas Dwi lakukan. Ia ingin
menggunakanya sebagai hiburan dan tidak pernah neko-neko. Ia sudah bijaksana
dalam menggunakan gadget sekaligus aplikasi sosmed yang ia miliki. Bijaksana tak
perlu harus dengan kata-kata bijak tetapi kiranya membuat orang lain nyaman
saja sudah cukup. Padahal Mas Dwi hanyalah orang desa biasa yang mungkin tak
tahu status itu harus ditulis seperti apa, kata-kata pun tak seindah
orang-orang lain mengambil dan mengutip dari sebuah literasi. Atau sekedar
menyalin sebuah syair. Ya, media sosial sebagai alat pemenuhuan kebutuhan
eksistensi dan terkadang sebagai sesuatu yang menjadikan segalanya berlebihan. Narsis
dan galau sudah lama ada tetapi megapa saat ini menjadi bulan-bulanan
orang-orang katanya sebagai bentuk penyimpangan di media sosial. Saya pun akhirnya lebih
memilih mendengarkan cerita sosmed dari sosok Mas Dwi daripada saya harus
mengalami sendiri berselancar di dunia
sosial yang maya itu.
Komentar
Posting Komentar