Gambar: Google by Wiyono
Beberapa waktu lalu saya membaca
buku Rahwana Putih karya Sri Teddy Rusdy yang membeber Epos Ramayana dengan
sudut pandang “Sang Kegelapan Pemeran Keagungan Cinta”. Rahwana bukan saja
menjadi sosok pahlawan Alengka (Sri Langka) tetapi dia lah yang sudah menghiasi
hidupnya dengan cinta. Kelahirannya bukan sebagai anak haram karena Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi sedang menjalani takdirnya. Begitupun masa-masa
keemasan Rahwana dalam Dasamuka Kalajaya ia sedang menjalani perannya sebagai
pemberi warna dalam keagungan cinta sesuai kehendak Sang Pencipta.
Berangkat dari dasar pemikiran
dan sudut pandang tentang kisah Rahwana tersebut saya mencoba membuat sedikit
sudut pandang ceritra pewayangan mahabarata. Ramayana dan Mahabarata dalam
pementasan wayang selalu menyimpan petuah tersembunyi. Lalu apa sebenarnya
maksud mumculnya sosok Punakawan dalam dunia pewayangan kita? Ada sebuah pesan
tersembunyi dari dibuatnya sosok Punakawan yang begitu luar biasanya, khususnya
pada sosok Ki Lurah Semar Badranya.
Sebuah hal yang sangat mungkin ketika para wali khususnya
Susuhunan Kalijaga di masa silam sudah berpikiran bahwa di masa depan pesan
baik tidak melulu dari seorang ksatria ataupun bangsawan sekelas Puntadewa. Ya,
bagaimana kalau Puntadewa yang memang tersohor kejujurannya itu sudah mulai
berbohong. Bukankah ia juga gambaran manusia biasa? Memang, dalam kisah, Puntadewa atau Yudhistira sosok yang sangat terpercaya sampai-sampai ada sebuah
peristiwa menarik dalam perang suci Baratayudha.
Saat Senopati Perang Dinasti Kuru berada
dalam tampuk kepemimpinan Resi Durna, kubu Pandhawa semakin terdesak. Kresna
sebagai penasihat perang Pandhawa mengatur sebuah siasat perang. Sosok Durna
dan putranya Aswatama adalah sebuah perpaduan kekuatan sempurna, maka untuk
merobohkan Durna hanya ada satu jalan membunuh Aswatama. Membunuh Aswatama
tidaklah mudah jika berdekatan dengan Durna begitupun sebaliknya. Untuk itu, kubu
Pandhawa bersama Kresna sepakat untuk membuat sebuah isu terbunuhnya Aswatama,
dengan cara Aswatama dialihkan dari medan perang Kurusetra. Kemudian disebarlah
berita di tengah-tengah pasukan yang sedang beradu senjata bahwa Aswatama telah
terbunuh di tangan Bima. Tetapi ada satu kendala bahwa satu-satunya orang yang
tidak bisa menerima keputusan itu adalah Puntadewa. Pandhawa juga sudah tahu
pasti Durna akan menemui Puntadewa untuk mendapat kabar kebenaran. Namun, demi
sebuah perang suci Puntadewa hanya pasrah pada kehendak dewata kalau seandainya harus
berkata se-naif dusta.
Siasat itu dijalankan sempurna, riuh
semangat pasukan perang sontak berubah menjadi kabar terbunuhnya Aswatama. Resi
Durna yang mendengar kabar tersebut seolah tak percaya. Hanya ada satu jalan
bagi Resi Durna yaitu bertanya pada Puntadewa. Puntadewa sangat dipercaya
bahkan oleh musuh sekalipun kalau dirinya terjaga dari dusta.
Resi Durna segara menuju perkemahan dibelakang pasukan perang dan
menemui Puntadewa.
Di tengah raminya dentingan senjata Durna mengajukan pertanyaan.
“Salam, Guru Durna”
“Tak usah berpanjang lebar Yudhistira, apa benar Bima telah membunuh as...
tama?”
Puntadewa harus berpikir lama untuk menjawab. Namun, ia hanya mendegar
kata tama di tengah ramainya pasukan perang. Maka terbersit dalam ingatanya
bahwa Bima pagi itu telah membunuh gajah estitama.
“Katakan wahai muridku!”
“Benar Bima telah membunuh tama”, jawab Puntadewa.
Puntadewa tidak berbohong, namun ia mengatakan sebenarnya bahwa Bima
memang membunuh tama (Gajah Estitama).
Berita itu membuat Durna limbung tak
berdaya. Ia sudah tidak mempedulikan perang tetapi hanya ingin segera menemukan
jasad putra tercintanya. Saat itulah dimanfaatkan oleh Destrajumna yang memang
sudah menjadi takdirnya untuk menebas leher Resi Durna.
Kisah tersebut menjadi gambaran
dalam keadaan terdesak perang saja Yudhistira/Puntadewa tetap memegang sebuah
kejujuran. Tetapi apa yang terjadi jika misalnya dihadapkan pada negeri kita
tercinta ini saat puntadewa-puntadewa sudah muali berbohong bahkan bersekongkol
dengan Duryudana. Mungkin menjadi salah satu jawaban alternatif mengapa Punakawan
sejati dihadirkan. Selain punakawan merupakan gambaran bentuk sejati sistem
demokrasi ala Sunan Kalijaga yang menempatkan semar sebagai dewa sekaligus
rakyat jelata.
Saya mencoba menganalogikan
sebagai berikut. Kalau beberapa waktu lalu kita sempat diributkan dengan pilpres yang
diibaratkan perang suci Baratayudha. Padahal tidak jelas siapa Pandawa siapa
Kurawa. Bahkan Pandawa pun bisa jadi lebih Kurawa. Atau bagaimana jika akhirnya
Pandawa dan Kurawa berkoalisi membangun kekuatan dahsyat sebuah
dinasti. Saat akhirnya Yudistira naik tahta dan Duryudana menjadi wakilnya. Pertanyaan-pertanyaan
muncul. Dimana rakyat jelata? Semua akan terbalut kemegahan sebuah dinasti
ditengah keterpurukan sebuah bangsa. Pengemis tertutup citra berderma keluarga
dinasti. Orang-orang miskin yang kelaparan tertutupi melimpahnya kekayaan
ekonomi makro negeri Ngastina. Gubuk-gubuk reot di pelosok-pelosok negeri
tertutup megahnya istana. Dan yang memilukan kejahatan kecil di lingkungan masyarakat sudah tertutup kejahatan besar dinasti yang sudah dianggap wajar.
Siapa pengemis, si miskin, pemilik gubuk reot, dan tukang copet itu?
Merekalah punakawan yang muali tergilas zaman. Saat Semar pun sudah dianggap
pembual dan penghibur dagelan wong cilik.
Ya, inilah sebuah keadaan sebuah
negeri yang para ksatrianya berebut kekuasaan di hadapan rakyatnya dan membuat
rakyatnya terpecah-pecah. Tetapi ksatrianya hanya melakukan perang semu
kemudian dibelakang mereka bergemul menikmati kekuasaan bersama.
Aturan dibuat seenaknya sendiri. Ahh..
saya sempat berpikir apa benar judi bola akan dilegalkan menggantikan
pertandingan sepakbola di perhelatan Pekan Olahraga Ngastina.
Yudhistira seolah memilih Bisma
yang mulai renta menjabat di sebuah dinasti sebagai dewan luhurnya. Ia seolah olah
mengalahkan musuhnya. Musuh dalam selimut, musuh tetapi mereka kelonan dalam
selimut. Ketika Bisma mangkat, maka teman kelon yang seolah musuh itu akan
diangkatnya menjadi bagian penguasa. Duryudana yang sementara mendpat secuil negara
bagian akan segera diangkat menjadi panglima tertinggi. Lalu negara bagian itu akan
dikuasai oleh anggota-anggota dewan astina yang sedang bermain isu. Tidak perlu khawatir karena saat itu
perang bukan lagi Baratayudha antara Keturunan Pandu dan Kuru. Keturunan Pandu
dan Kuru sudah nyaman di atas istana saat penjaga Ngastina seperti Bisma sudah
tersingkir.
Hanya akan terjadi satu perlawanan
semesta punakawan melawan anak buah Puntadewa. Ya, barangkali saat itulah Puntadewa
yang sudah kadung tidak jujur lagi. Puntadewa yang lupa Semar. Duryudana yang
lupa Togog. Perempuan kalangan Ngastina pun kalah luhur dengan Yu Cangik dan
Dek Limbuk. Anggota dewan Ngastina pun tak lebih hebat dari Gareng, Petruk, Bagong,
dan Mbilung.
Komentar
Posting Komentar