Liburan dan wisata
sejatinya merupakan bentuk hiburan. Orang kita sering menyebut dengan istilah
refresh dan refreshing. Banyak yang harus disegarkan; ketegangan pikiran,
suasana hati, kelelahan badan, kebosanan pandangan, kebisingan pendengaran yang
itu-itu saja, bahkan aroma udara yang banyak pewangi, dan kata-kata dari mulut
yang kaku. Dahulu sewaktu masih SMA saya mengikuti salah satu kegiatan
ekstrakurikuler pecinta alam. Ekskul yang tidak banyak diminati dan dianggap
liar tidak punya prestasi. Dianggapnya orang-orang di dalam kegiatan ekskul ini
hanya urakan saja dan suka pergi-pergi tidak jelas. Namun ada hal yang saya
menjadi tertarik mengikuti kegiatan pecinta alam yaitu bisa menjadi diri
sendiri.
Saat ini banyak topeng
bisa kita gunakan untuk sekedar menutup borok atau mencari citra. Satu hari
bisa berganti-ganti topeng sesuai keadaan lingkungan. Bukan mimikri ala
bunglon. Bunglon tetaplah bunglon walaupaun ia berganti warna. Mimikri berarti malah sudah ajur-ajer dengan lingkungannya. Tetapi topeng
kita terkadang mengubah total kepribadian. Saya medapat julukan pekok saat menjadi anggota pecinta alam.
Alasannya sederhana ketika pendidikan dasar ada pertanyaan dari senior.
“Asalmu seko ngendi, Le?”
“Dari
Gunungkidul”, jawab saya.
Entah maksudnya apa beliau bertanya lagi.
“Vixion
itu jenis sepeda motor, itu motor apa?”
Tanpa ragu saya menjawab, “yamaha, kak!”
Salah satu senior menyanggah, “Pekok kowe! Wong gunungkidul ra ono sing kenal yamaha kabeh motor
jenenge honda.”
“wes-wes,
iki jenengi pekok wae.. ngaku-ngaku wong Gunungkidul jebul ra Gunungkidul
blas.”
Awalnya saya tidak
paham apa maksud senior-senior saya itu. Tetapi saya ingat tetangga saya pernah
bilang waktu saya pulang ke desa. “Le,
hondamu eyupno eman-eman kepanasen.” Disini saya baru sambung memang benar
orang-orang desa biasa menyebut semua tipe kendaraan roda dua itu dengan honda.
Ya seperti kalau beli mie instan menyebut dengan kata tumbas sarimi. Menyebut sirup dengan kata orson. Menyebut sabun
cuci dengan kata rinso. Tidak peduli itu jenisnya apa yang penting ia menunjuk
pada kata yang sebenarnya khusus menjadi
sangat umum.
Sungguh begitu
sederhana kehidupan mereka sampai mengenal sesuatu dengan lebih sederhana. Saya
orang Gunungkidul tetapi sudah jadi yang sok pintar. Pekok itu pun akhirnya bukan jadi umpatan kasar karena pekok bagi saya kesederhanaan. Ketika
saya masuk bangku kuliah pun merasa memang paling enak jadi orang pekok bukan konotasi sebagai tolol
tetapi kesederhanaan pikir.
Bayangkan kalau kita
memang sebenarnya hanya dipekoki oleh topeng-topeng yang bukan menunjukkan kita
sebenarnya. Betapa sulit hidup ini dan pastilah tidak tenang dimanapun kita
berada. Topeng-topeng inilah yang akhirnya membuat kita menjadi butuh refresh
untuk kembali segar seperti diri kita yang apa adanya. Memang apa yang membuat
kita penat dan tidak tenang, ya salah satunya kita hidup dalam kepura-puraan.
Sampai-sampai mengingat Tuhan juga masih dengan topeng-topeng kepura-puraan.
Hal paling nyaman seperti ketika berdialog dengan Tuhan saja masih tidak jadi
diri sendiri, tidak menghamba, tidak memanusiakan diri. Rasanya berat hidup
dalam keadaan seperti itu.
Alam memang menyajikan
kesejukan, kedamaian, dan keindahan yang akhirnya mengantarkan kita pada satu titik
mengingat Tuhan tanpa kepura-puraan. Coba bandingkan kekaguman kita melihat
orang menunggang bentley atau lamborgini dengan melihat orang berjalan
di alam terbuka yang hijau indah. Kira-kira mana yang akan lebih mengingatkan
kita pada keagungan Tuhan.
Saya semakin yakin
kenapa belakangan ini banyak orang berusaha menjadi pecinta alam entah sampai
mana batas cinta mereka masing-masing. Tetapi memang kita di alam bisa merasa
sederhana tidak punya apa-apa kecuali bekal yang kita bawa. Menjelajahi alam dengan
menikmati segala atributnya. Saya jadi teringat rekan saya sewaktu pendidikan
dasar sebagai seorang pecinta alam amatiran. Namanya Hanafi, orangnya kecil
perawakannya kurus. Senior bertanya dengan rekan saya malam itu.
“Apa tujuanmu ikut pecinta alam?”
“Ingin mencintai alam”, jawabnya singkat.
“Bagaimana mencintai alam?”, sahut senior yang lain.
“Menjaga alam tumbuhannya, tidak membuang sampah
sembarangan.”
Jawaban yang normatif ini akhirnya menjadi
bulan-bulanan senior saya.
“Kalau kamu mencintai alam, ayo sekarang tunjukkan
cintamu sama alam.”
“Bercintalah dengan alam!
“Cium pohon-pohon.. berpelukan dengan tanah-tanah..”
Dengan agak merasa
canggung rekan saya itu melakukannya dengan sukarela. Apa iya cinta itu akan
berakhir dengan bercinta saja. Mana yang benar jawaban normatif rekan saya atau
bercinta menurut senior saya adalah sebuah kebenaran. Terkadang dalam memahami
cinta kita hanya sibuk menjaganya. Bisa juga karena saking cintanya pada
sesuatu maka sudah puas jika sudah bercinta dengan sesuatu itu sendiri. Tetapi
bagaimana esensi cinta itu menjaga yang kita cinta atau rasa cinta itu yang
sebenarnya harus kita jaga. Jawaban teoritis akan mengatakan, cinta itu
merawat. Entah cinta apa yang ada dalam pemahaman kita. Kalau pekok cinta alam dia hanya tahu cinta
itu sederhana sekali seperti saat mendapat julukan pekok pun dia memahami apa tujuannya. Apa cinta alam juga hanya
tujuannya menjaga cinta kita dengan alam tanpa ada tindakan. Barangkali kalau
kita lebih tahu dimana kebutuhan manusia yang hakiki adalah kedekatanya dengan
Tuhan maka yang kita butuhkan memang cinta. Rahmaan dan rohiim, pengasih dan
penyayang itulah sebagai dasar kesadaran betapa banyak kasih sayang yang sudah
tercurahkan kepada kita. Menyadari itu maka kita barulah mengenal cinta.
Pecinta alam memang
membuat semua menjadi dirinya sendiri. Ketika mereka berjalan, memandang,
mendengar, pastilah akan berucap entah lisan atau dalam hati. Senior saya pernah
berpesan nama pekok hanya boleh
dipakai saat di alam. Kita sadari atau tidak memang refreshing dan refresh itu
bentuk kembali, kembali sebagai jati diri kita. Ketika saya mengaku sebagai
orang Gunungkidul belum tentu dari sikap dan tutur menunjukkan saya Gunungkidul
yang sederhana. Maka setiap saya harus berpura-pura, saya hanya akan bilang wong pekok yo pekok wae.
Ada satu pelajaran lain
dari orang-orang yang kita katakan sebagai pecinta alam ini. Saya pernah
bertemu dengan seorang pendaki professional yang sudah menaklukkan
puncak-puncak di Indonesia. Ia berkata, “Mas mau makan ini, ayo biar
meringankan beban bawaan saya juga.” Sangat sederhana tetapi disinilah ilmu
memberi untuk meringankan. Meringankan beban bukan berarti hanya kamu
meringankan penderitaan orang tetapi kita pun merasa jadi lebih ringan. Lalu
mengajak menikmati bersama dan orang lain tidak ada beban. Memberi orang lain
membutuhkan itu harus tetapi jangan-jangan malah menjadi beban budi. Atau kita
memang memberi dan berharap harus kembali. Kalau diibaratkan memberi itu
laksana kanthong bolong, maka ya akan
lepas begitu saja tidak ada yang menahan.
Pekok
cinta alam itu mana si pemberi cinta dan siapa yang menerima cinta. Kalau pekok itu sederhana mungkin cintanya
juga sangat sederhana sampai kadang alam pung bingung bagaimana harus membalas
cintanya. Akhirnya mereka memberi bukan untuk berbalas dan ada niat untuk dapat
balasan.
Komentar
Posting Komentar