Kelas 4 sekolah dasar sekitar
tahun 2002 saya mulai kenal dengan internet. Perkenalan saya dengan internet
tidak begitu mesra. Waktu itu saya belum berani bertatap muka langsung dengan
internet. Ibarat pertemuan pertama masih dicomblangin belum berani kenalan sendiri. Salah satu
pengajar SD memperkenalkan kami dengan internet. Saat itu kelas kami dibagi
menjadi 4 kelompok setiap kelompoknya terdiri 5-6 orang. Perintahnya sederhana
diminta menuju warung internet kemudian membuka www.google.com
dan kita bisa menemukan apapun di sana. Bagi anak-anak usia 9 tahun saat itu memang
internet sangat mengangumkan. Apalagi saya yang notabene wong desa melihat saja sangat luar biasa. Tetapi walaupun saya
orang desa tahun ‘98 saya sudah jago pegang komputer. Pengetahuan tentang perangkat komputer saya dapatkan saat tetangga yang kontrak kios di sebelah rumah memiliki rental komputer. Setiap pulang sekolah
selalu nimbrung ke rental tersebut. Kang Icha pria asal Kalimantan yang pertama
kali membuat saya bersalaman dengan mouse dan keyboard.
Waktu dapat perintah untuk
nginternet rame-rame, saya yang paling ahli. Bilik kecil didalamanya berjubel 5
orang anak umur 9 tahun yang tidak bisa diam. Setiap menulis sesuatu di search engine lalu menekan enter kami
berteriak kegirangan. Apalagi ketika muncul gambar-gambar. Mungkin kalau
perkenalan anda dengan Mbah Google menuliskan nama masing-masing di search engine dan anda
tekan enter, maka perkenalan anda cukup romantis. Berawal dari perkenalan secara
keroyokan dengan internet mulailah
ada ketertarikan lebih pada dunia maya ini. Ketika masuk SMP sekolah
menyediakan fasilitas akses yang tidak terbatas. Saya mulai tahu dengan akun dan
chatting setelah suka bermain online
game. Akun email pertama kali
yang saya gunakan adalah yahoo. Saat itu masih mengalami chatting dengan MIRC
lalu bertukar akun friendster. Kemudian
hadirnya facebook yang begitu luar biasa dan diikuti media-media sosial yang lain.
Dimulailah fenomena nick name dan username di sebuah akun sosial media yang pernah mengalami berbagai
keanehan. Saya pernah mengalami periode dimana sangat tergila-gila dengan media
sosial dan terjebak pada keanehan nama kita di
dunia maya itu. Awal mula mempunyai email,
saya sudah suka dengan nama bukan sebenarnya. Waktu itu username saya anggar_rich. Terinspirasi dari film
anak-anak Richie Rich biar
seolah-olah seperti kerabat keluarga rich.
Bagi anak usia 13 tahun tidak pernah berpikiran kalau embel-embel nama rich ini bisa menimbulkan polemik batin
di kemudian hari. Saya bangga menulisakan email saya dimana-mana karena bagi
saya identitas username ini paling unik. Barulah sadar ketika saya memasuki masa SMA ada seorang
teman yang menegur saya. Saya masih ingat betul dia nyeletuk, “weseh rich wong sugih.”
Kalimat itu begitu mengena sampai
saya bingung sendiri bagaimana menanggapinya. Saya tidak pernah berpikiran
ingin menunjukkan bahwa saya orang kaya atau apapun. Wong pada dasarnya saya cuma
orang ndeso yang sedang terjebak di
dunia maya saja. Tetapi masa remaja memang saat dimana kita ingin mendapat
pengakuan dan menjadi yang terpandang itu tak dipungkiri. Ya, seperti syair yang
mengatakan “kesombongan masa muda yang indah”. Bang Haji pun berkata “masa muda
masa yang berapi-api.” Rich itu
awalnya memang hanya sekedar username
tetapi entahlah itu menjadi semacam kebanggan. Saya pun merasa sangat bersalah
memasang nama dengan embel-embel rich
tersebut. Saya mulai berpikiran bahwa jelas akan banyak anggapan ketika orang
lain membaca itu. Anggapan pertama ketika membca semua akan menilai saya ingin
menunjukkan seperti orang kaya atau barangkali anak yang sedang ngimpi siang bolong jadi orang
kaya.
Satu keadaan dimana ada dua
permasalahan yaitu saya sebagai pencetus ide dan orang lain sebagai pembaca
yang akan menilaii. Keduanya sama terjebak dengan anggapan dan judge sekilas. Kalau bahasa sekarang
terjebak merk tetapi tak pernah berpikir
kualitasnya dalam jangka pendek, menengah, atau jangka panjang. Saya menilai rich itu nama yang beken tetapi tidak
pernah berpikir akibatnya kalau pada waktunya orang akan berkesan si pemilik akun orang yang sombong. Demikian penting sebuah nama, maka gunakan nama sendiri jelas tidak berbahaya dan legal secara hukum.
Satu lagi ketika ada fenomena
nama alay yang panjangnya memenuhi layar gadget.
Seingat saya waktu itu pernah memiliki nama di akun facebook yang cukup berlebihan juga. Beruntung saya cepat tersadar
kemudian beralih nama tetapi masih dengan sesuatu yang palsu lagi yaitu menambahkan Young di akhir nama. Seolah seperti terbebas dari satu
cengkraman tetapi segera terperangkap dalam cekikan tangan yang lain.
Kadang terpikir dalam benak saya
kenapa perkara nama saja kita sering terjebak bangga dengan nama-nama yang
bukan asli milik kita? Sungguh sangat memprihatinkan apabila ternyata otak ini
sudah terbalut untuk selalu mengagungkan sesuatu yang hadirnya dari luar. Maka disadari
atau tidak betapa bahayanya penjajahan pola pikir dan mental akibat masuknya pengaruh-pengaruh global yang tidak terfilter. Nama adalah salah satu bagian contoh kecil identitas yang
semestinya kita maknai sebagai pemberian dan harapan. Dengan pemaknaan
identitas tersebut setidaknya kita akan lebih sibuk menggali pusaka di dalamnya
daripada cuma tiru-tiru padahal malah seperti belo melu
seton.
Rich pun sampai sekarang belum akan menjadi kaya karena bangsa kita seharusnya adalah sugih tanpa bandha. Young juga
tidak lagi muda kalau kebo tuwa sudah
berhenti menyusu dari gudel-gudel pink.
Komentar
Posting Komentar