Ketika akan menulis
dengan judul ini saya sempat berpikir berulang kali. Barangkali kata porno bagi
sebagian pembaca bisa jadi kontoversial. Sakral dan porno sesuatu yang sangat
kontras. Sakral memposisikan makna menuju kesucian sementara porno istilah yang
berhubungan dengan ketidakpantasan. Porno adalah sebuah istilah yang awal
mulanya menunjuk sebuah tempat di Yunani kota Porne. Di sana terdapat kuil Aprodhite dimana menjadi tempat
pelacuran pada masa yang lalu. Maka munculah istilah porno sebagai sebuah
bentuk pelacuran. Porno dan pornografi lebih banyak dipahami sebagai sisi visual
seksualitas, erotisme, ataupun cerita yang mengumbar sebuah gambaran keintiman
hubungan.
Beberapa waktu yang
lalu saya mengunjungi salah satu toko buku di Jogja. Niat dalam hati hanya
ingin melihat buku-buku tentang budaya siapa tahu ada yang cocok untuk menambah
koleksi. Ketika sedang memilih deretan buku di etalase, tidak sengaja mendengar
obrolan dua pengunjung yang posisinya sekitar satu meter di samping kanan saya.
Salah seorang dari mereka berkata, “eh ini lho candi sukuh, candi porno itu lho.”
Kemudian temanya menyahut, “iya lho lambang dari peradaban kita dulu itu
porno-porno.” Mereka terlihat seperti tertawa geli sambil membolak-balik
halaman buku. Ada tiga hal yang saat itu langsung terpikir di benak saya. Pertama, candi sebuah karya arsitektur
yang menunjukkan kebudayaan yang tinggi. Kedua,
simbol-simbol seksualitas itu bukankah menunjukkan sebuah makna tertentu. Ketiga, mengapa harus menertawakan hal
seperti itu?
Memang tidak dipungkiri
ketika melihat bentuk arca atau relief alat kelamin atau dikenal dengan istilah
lingga yoni akan terasa aneh. Saya dahulu
pun sempat memiliki pemikiran yang sama dengan dua pengunjung yang tidak
sengaja saya temui tersebut. Tetapi setelah bertemu dengan beberapa orang,
kemudian mendapat cerita-cerita tentang peradaban nusantara di masa lalu
pengetahuan pun mulai sedikit demi sedikit terbuka. Ditambah membaca buku-buku
yang berhubungan dengan kesusastraan nusantara di masa lalu.
Untuk memahami hal ini
kita harus memahami dahulu bahwa pada dasarnya pencapaian pengetahuan manusia
itu akan terus berkembang. Seperti teori yang mengatakan bumi itu datar dan
memiliki batas tertentu kemudian terbantahkan dengan bumi itu bulat dimana jika
berjalan dari satu titik akan kembali pada titik semula. Begitupun pencapaian
pengetahuan manusia untuk mencari jati diri. Lambang-lambang yang menunjukkan
seksualitas itu adalah bentuk cara berpikir filsafat manusia di masa yang lalu.
Di nusantara diyakini jauh sebelum munculnya peradaban barat dengan
filusuf-filusufnya, bangsa kita sudah memiliki peradaban yang tinggi di masa
itu. Pemikir-pemikir hebat sudah ada. Bahkan sebelum agama-agama wahyu masuk di
nusantara bangsa kita sudah menemukan kepercayaannya dari hasil pencariannya. Sehingga
pencapaian pikir peradaban masa silam ini jika ditarik pada paham-paham agama
akan terjadi pertentangan.
Mengapa lambang lingga
dan yoni? Sederhana saja jawabannya yaitu di masa lalu manusia berusaha mencari
dari mana asal muasal manusia hadir ke dunia. Belum ada jawaban-jawaban agama
wahyu yang dengan gamblang bisa menjelaskan kejadian manusia. Peradaban manusia
dimasa lalu menemukan bahwa asal muasal manusia adalah ketika kemaluan
laki-laki dan perempuan bertemu. Penyatuan ini menjadi harmonisasi yang
menimbulkan penciptaan sebagai sangkaning
dumadi. Jadi, sebuah paham yang menunjukkan cikal bakal penciptaan manusia
tetapi bukan oleh kehendak Tuhan. Sudah menyadari sangkaning dumadi tetapi belum mencapai sangkan paran. Sehingga penyatuan ini dianggap sebagai sesuatu yang
sakral bahkan menjadi pemujaan. Di masa lalu orang percaya manusia itu berasal
dari bapak dan ibu. Keselarasan di dunia ini terjadi dari pasangan-pasangan
sehingga dilakukanlah pemujaan leluhur atau nenek moyang.
Bagain intim ini
menjadi sangat mistis dipercaya sebagai kesucian bermula dan asal dari
segalanya. Asal kejadian ini kemudian digunakan dalam banyak aktivitas termasuk
hal terang-terangan maupun bentuk simbol konotatif. Salah satunya ditemukannya
punden berundak di Jawa Lama. Gambaran manusia yang berasal dari penyatuan
lingga dan yoni ini sampai saat ini pun masih terbawa. Tumpengan adalah sebuah
tradisi khas Jawa Lama. Sebenarnya tumpeng adalah wujud bersatunya lingga yoni.
Nasi kerucut gambaran lingga dan lauk yang berserakan disekitarnya sebagai
yoni.
Paham khas Jawa lama sebagai
hasil pencapaian peradaban Bangsa Jawa ini tentu sudah sangat mengakar kuat. Misalnya candi
sukuh yang dikatakan porno oleh pengunjung yang saya temui di toko buku. Ya,
sebagian besar akan menganggap begitu ketika melihat keadaan candi. Saat masuk
areal candi dari patung manusia sampai hewan menunjkkan kemaluannya. Ketika belum
memahami latar belakangnya tentu kesan sesuatu yang tidak pantas akan muncul. Candi
yang dibangun abad XVI ini sebagai tempat ritus. Ritus perkawinan, ritus cocok tanam
untuk mengharap kesuburan, sampai ruang bagi pembesar kerajaan setelah turun
tahta pada masanya.
Dikisahkan dalam ritus
perkawinan, di altar candi sukuh seorang perempuan diuji virginitasnya. Gadis yang
hendak kawin dibalut kain putih dan dibawa ke atas altar. Sakramen ini
dilangsungkan malam hari saat purnama dengan kain yang dipakainya para perawan
melepas virginitasnya. Malam pertama yang dilakukan di altar itu disaksikan
kerabat dekat. Pemimpin ritus akan mengambil kain yang terpercik darah perawan
dan dioleskan ke patung lingga sebagai persembahan sekaligus tanda dimulainya kehidupan
suci. Sakralitas lingga yoni ini juga
ada kaitannya dengan makhluk halus. Mungkin kita pernah mendengar saat bertemu
makhluk halus atau ketika takut digoda makhluk halus diminta telanjang bulat. Kemaluan
dalam kepercayaan lama diyakini bisa menyingkirkan hantu.
Hal-hal demikian tadi menjadi
paham dari kepercayaan purba alias Jawa Lama. Kendati dalam perkembangannya
mengalami berbagai akulturasi dengan berbagai agama yang datang ke Jawa seperti
hindu dengan agama Siwa’nya, juga Buddha dengan ajaran Tantra Bhairawa. Ketika
agama-agama mulai masuk di Jawa maka terjadilah sinkretisme.
Dalam agama Hindu Jawa, Jawa Buda, atau Siwa Buda dikenal adanya Nava Durga
yaitu sembilan dewi yang menyertai Siwa sebagai dewa tertinggi. Untuk melukiskan
kekuatan Siwa ini, Mahadewa berubah menjadi beberapa sosok yang berbeda-beda
dan tergambar sedang bersenggama dengan sembilan dewi yang selalu bersamanya. Keyakinan
ini menunjuk bahwa persetubuhan bukan nafsu birahi melainkan jalan menuju mahasukha (kebahagiaan agung) puncak
maha tinggi dari kebenaran para dewa. Sedang bagi kodrat manusia pelepasan
nafsu itu untuk membuang anasir negatif dalam tubuh agar mampu menguasai ilmu para dewa. Nava
Durga dalam pewayangan mirip tampilan Betara Kresna. Penjelmaan Betara Wisnu
itu dimanapun berada selalu didampingi sekumpulan gadis atau gopinya yang
melayani segalanya termasuk kebutuhan biologis. Paham ini di Jawa diterapka
oleh Kertanegara Raja Singasari (1268-1292). Dalam Kitab Pararaton dikisahkan
Sang Raja menuju moksa melalui ritus
mengumbar nafsunya.
Kepercayaan lingga yoni yang dahulunya tertuang
dalam arsitektur punden berundak ini
ternyata tak lekang oleh waktu. Sampai terlihat pada bentuk arsitektur Candi
Borobudur yang dibangun abad ke delapan oleh Syailendra menunjukkan kekuatan kepercayaan itu. Bentuk
Candi Borobudur sangat berbeda dari bentuk sebenarnya yaitu kuil-kuil Buddha di
Srilanka. Borobudur mengadopsi gaya punden
berundak. Perkembangan kesusatraan Jawa pun juga kental dengan unsur
kesakralan lingga yoni seperti, serat gatolojo, centhini, damargandul, serat
kidung sudamala, wejangan sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu.
Manusia Jawa berciri
ketika mengamalkan suatu ajaran sebenarnya bukan mengamalkan secara
mentah-mentah. Ajaran yang datang itu kemudian dimodifikasi untuk disesuaikan.
Ketika ajaran Islam masuk dikenalah Kejawen. Menilik Kejawen ketika menengok
pada induk serat hidayat jati maka
kita pun akan menemukan sakralitas lingga
yoni dalam tataran filosofi yang sudah
menemukan hakikat manusia yang sesungguhnya.
Berikut ini salah satu bagian Wejangan Wirid Pembukaning Tata Malige Ing Dalem Betal Mukadas (Awal
Penataan Mahligai Di Baitul Muqaddas)
Kagem
Jaler (Untuk Laki-laki)
Sejatine
Ingsun anata Malige ana sajroning Betal Mukadas. Iku omah enggoning
pasuceningsun. Jumeneng ono ing kontholing Adam. Kang ono ing sajroning Konthol
iku Pringsilan, kang ana ing antarane Pringsilan iku nutpah, iya iku mani:
sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem,
sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsung, ora ana pangeran
anging Ingsun Dat kang anglimputi ing Kahanan Jati. Jumeneng Nukat Gaib tumurun
dadi Johar awal, ing kono wahananing Ngalam Akadiyat, Ngalam Wakdat, Ngalam
Wakidiyat, Ngalam Arwah, Ngalam Misal, Ngalam Ajesam, Ngalam Insan Kamil,
dadining manusa kang sampurna, iya iku sejatining Sipatingsun.
Sesungguhnya Ingsun
(Aku) menata Mahligai di Baitul Muqaddas (rumah suci). Disanalah rumah tempat
penyucian Ingsun. Berada pada konthol Adam. Yang ada di dalam konthol itu
Pringsilan; yang ada diantara pringsilan itu Nuthfah, yaitu Mani; di dalam Mani
itu Madzi; di dalam Madzi itu Wadzi, di dalam Wadzi itu Manikem; di dalam
Manikem itu Rahsa, di dalam Rahsa itu Ingsun, tiada Pangeran (Tuhan) selain
Ingsun, Dzat yang meliputi Keadaan Sejati. Berada di dalam Nuqthah Ghaib (Titik
Gaib), turun menjadi Jauhar Awwal (Mutiara Awal), dari sana tercipta keberadaan
Alam Ahadiyyah (Alam Keesaan), Alam Wahdah (Alam Kesatuan), Alam Wahiddiyah
(Alam Ketunggalan), Alam Arwah (Alam Banyak Ruh), Alam Mitsal (Alam
Perumpamaan), Alam Ajsam (Alam jism, Jasad, atau material), Alam Insan Kamil (Alam
Manusia Sempurna), sehingga menjadi manusia sempurna dan itulah sesungguhnya
Sifat Ingsun.
Kagem
Pawestri (Untuk Wanita)
Sejatine
Ingsun anata Malige ana sajroning Betal Mukadas. Iku omah enggoning
pasuceningsun. Jumeneng ono ing Baganing Siti Kawa. Kang ono ing sajroning Baga
iku Reta, kang ana ing antarane Reta iku mani: sajroning mani iku madi,
sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku
rahsa, sajroning rahsa iku Ingsung, ora ana pangeran anging Ingsun Dat kang
anglimputi ing Kahanan Jati. Jumeneng Nukat Gaib tumurun dadi Johar awal, ing
kono wahananing Ngalam Akadiyat, Ngalam Wakdat, Ngalam Wakidiyat, Ngalam Arwah,
Ngalam Misal, Ngalam Ajesam, Ngalam Insan Kamil, dadining manusa kang sampurna,
iya iku sejatining Sipatingsun.
Sesungguhnya Ingsun
(Aku) menata Mahligai di Baitul Muqaddas (rumah suci). Disanalah rumah tempat
penyucian Ingsun. Berada pada Baga Siti Hawa. Yang ada di dalam Baga itu Purana;
yang ada diantara Purana itu Reta (indung telur), yaitu Mani; di dalam Mani itu
Madzi; di dalam Madzi itu Wadzi, di dalam Wadzi itu Manikem; di dalam Manikem
itu Rahsa, di dalam Rahsa itu Ingsun, tiada Pangeran (Tuhan) selain Ingsun,
Dzat yang meliputi Keadaan Sejati. Berada di dalam Nuqthah Ghaib (Titik Gaib),
turun menjadi Jauhar Awwal (Mutiara Awal), dari sana tercipta keberadaan Alam
Ahadiyyah (Alam Keesaan), Alam Wahdah (Alam Kesatuan), Alam Wahiddiyah (Alam
Ketunggalan), Alam Arwah (Alam Banyak Ruh), Alam Mitsal (Alam Perumpamaan),
Alam Ajsam (Alam jism, Jasad, atau material), Alam Insan Kamil (Alam Manusia
Sempurna), sehingga menjadi manusia sempurna dan itulah sesungguhnya Sifat
Ingsun.
Wejangan diatas
merupakan sekelumit bagian bentuk filosofi yang sudah mencapai pada hakikat
tertinggi dalam ilmu makrifat. Karya sastra dengan Basa Jawa baru yang berusaha
dikumpulkan ulang oleh Ranggawarsita ini adalah bentuk percampuran ajaran untuk
mencapai kebenaran. Kebenaran yang dikejar melalui pikiran manusia dengan
berdasar kepada kebenaran wahyu.
Nah, kembali pada pokok
bahasan di awal kiranya tidak tepat kalau menyebut warisan budaya itu porno. Candi
sukuh tetaplah mahakarya peradaban di masa lalu. Simbol-simbol warisan budaya
jangan terburu dimaknai buruk karena perlu digali untuk menunjukkan tataran
berpikir manusia di kala itu dengan segala makna denotatif maupun konotatifnya.
Dan rasanya tidak wajar menertawakan atau merasa geli karena bisa dikatakan
sakralitas lingga yoni memang ada. Tentu
anda pernah mendengar cerita-cerita nusantara di masa lalu ketika sebuah
peradaban yang aman tentram minim kasus kriminal termasuk pelecehan seksual. Ya,
karena seksual menjadi sesuatu yang sakral. Lalu ketika aturan semakin jelas
dan agama juga sudah memberikan ajaran etika dan moral tetapi kenapa malah
dibeberapa kesempatan sekarang ini kita sering menjumpai hal yang tidak
menunjukkan manusia-manusia beragama. Maka kiranya kita perlu menggali pusaka
di masa lalu dan ketika itu baik pertahankan kemudian sempurnakan dengan ajaran
yang kita punya saat ini.
Mengutip dari :
Tafsir Gatolojo & Sakralitas Yoni, Penulis:
Djoko Su’ud Sukahar
Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati, Penulis:
Damar Shashangka
Komentar
Posting Komentar