Sluku-sluku
bathok
Bathoke
ela-elo
Si
romo menyang Solo
Oleh-olehe
payung motha
Mak
jenthit lolo lobah
Wong
mati ora obah
Nek
Obah Medeni Bocah
Nek
Urip Goleko Duit
Sluku-sluku
bathok adalah tembang Jawa yang sengaja diciptakan bukan
sekedar panglipur tetaapi juga panuntun. Sama halnya tembang Jawa lain
seperti Lir-ilir ciptaan Susuhunan
Kalijaga. Sluku-sluku Bathok juga
salah satu tembang dalam dakwah walisanga yang menurut berbagai sumber
diciptakan oleh Susuhunan Giri. Sudah banyak yang mencoba memaknai syair ini
dan menghubungkannya dengan konteks kehidupan.
Saya disini hanya
kembali menegaskan tentang tembang yang sejatinya memiliki makna membersihakan
hati agar kekuatan sirr atau nurani
itu yang senantiasa menemani dalam kehidupan. Pada awal syair terangakai kata
berbunyi sluku-sluku bathok. Ada yang
mengartikan berkaitan dengan bathok sebagai kepala. Tetapi salah satu sumber
menyatakan sluku-sluku bathok ini
berasal dari bahasa Arab yang terucap dengan logat Jawa. Ghuslu-ghuslu batnaka yang maknanya mandikanlah batinmu.
Memandikan batin
berarti membersihkan diri yang bukan saja dalam bentuk badan fisik luar tetapi
hingga batin yaitu pikiran dan hati. Sebab membersihkan badan itu mudah tetapi
batin tidaklah mudah jika tanpa perasaan pasrah. Bersih dari sifat iri, dengki,
dendam, hasut, dan penyakit-penyakit batin lainnya. Kemudian untuk menempuh
kebersihan batin ini dengan cara bathoke
ela-elo yang bermakna kepala menggeleng-geleng. Dalam aktivitas ini
biasanya dilakukan saat membaca lafaz la
illa ha illallah. Berdzikir adalah salah satu jalan untuk senantiasa
mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Pada syair Si Romo menyang Solo terdapat kata Romo dan Solo. Romo berarti
bapak namun disini menjadi bermakna orang yang sudah bersuci secara badan dan
batin. Menyang solo berarti pergi shalat (sholu=solo).
Bermakna bahwa dirikanlah shalat dengan bersuci secara badan dan batin agar
shalat yang dijalankan tidak salah niat.
Syair beriuktnya
berbunyi oleh-olehe payung motha. Secara
kebahasaan berarti membawa oleh-oleh payung motha. Dapat dimaknai bahwa
oleh-oleh berarti kembali dari suatu tempat. Kembali berarti manusia di dunia
ini tidak kekal dan suatu saat akan kembali atau mejadi berpayung motha alias
berbayang dengan maut. Maka membawa bekal yang diperlukan menuju maut adalah
urusan manusia yang tidak dapat dikesampingkan. Urusan duniawi harus senantiasa
kita lakukan dengan bersih dan dalam koridor kehendak Allah. Menegakkan shalat
yang benar-benar memberikan efek menjauhkan diri dari perbuatan keji dan
munkar. Semuanya adalah oleh-oleh yang akan kita bawa menuju maut untuk di hisab.
Syair berikutnya mak jenthit lolo lobah, wong mati ora obah. Jelas maknanya mak jenthit adalah ungkapan khas jawa yang menunjukkan sesuatu yang
tidak dinyana tiba-tiba terjadi yaitu kematian. Tidak bisa dimundurkan atau
dimajukan karena sudah menjadi ketetapan. Manusia diingatkan untuk waspada
dalam artian mati adalah hal yang sangat dekat dengan hidup. Maka tak ada lagi
yang bisa kita lakukan apabila kematian telah tiba yaitu tiba-tiba tidak
bergerak secara fisik lagi. Saat itu teman sejati hanyalah oleh-oleh yang sudah
dipersiapkan sebelumnya.
Syair selanjutnya
berbunyi nek obah medeni bocah. Ini bermakna
bahwa orang yang mati digambarkan banyak yang minta dihidupkan kembali untuk
bisa memperbaiki diri tetapi apa daya sudah terlambat. Jikalau hidup tentunya
juga akan menakutkan dan barangkali niatnya untuk memperbaiki diri juga tidak
terlaksana malah bisa jadi bertambah mudharatnya.
Syair terakhir berbunyi
yen urip goleko duit. Kalau hidup
carilah uang maknanya sangat luas bahwa saat hidup kesempatan untuk beramal
mencari duniawi dengan dasar tetap beribadah dan pasrah kepada Allah. Meyakini bahwa
hidup sudah ada ketentuan koridornya masing-masing tinggal bagaimana bisa
menyikapi hidup ini untuk senantiasa mengingat Allah agar diberikan ketenangan.
Dunia selalu menawarkan kebahagiaan maupun kesengsaraan tetapi yang hanya
terjebak pada duniawi itu pastilah akan ada pada keadaan ketika mendapat kebahagiaan
akan senang terlampau batas. Ketika mendapat sengsara akan sedih yang tak
berkesudahan. Layaknya manusia yang tidak memiliki tujuan sejati dan kurang
bisa mensyukuri apa yang telah didapat.
Tembang sluku-sluku bathok
ini apabila kita terapkan dalam konteks kehidupan apapun sangatlah tepat. Berkecimpung
di dunia yang mengombang-ambingkan pikiran dan hati seperti saat ini haruslah
memiliki kesadaran. Dunia hanyalah jeda antara asal menuju tujuan. Kita sering
menjmpai ada yang berlomba jempalitan di sana-sini menumpuk harta benda. Hingga
pada satu keadaan nampak sama usaha-usaha yang memang bersih dan perilaku-perilaku
merampok, merampas, mencuri yang rapi dan terstruktur. Melihat semakin
bertambah orang berilmu tetapi semakin tidak menunjukkan manfaat. Banyak yang
beribadah tetapi salah niat. Dalam keadaan sekacau itu manusia agar tidak
terbawa arus dan membusuk di dalamnya hanya dengan cara memaknai kehidupan dan
merenungi mati. Interval antara sangkan paran ini manusia wajib bekerja, berkarya,
dan bersosial tetapi dengan mendasarinya tetap sebagai oleh-oleh menuju tujuan
hidup yang sejati.
Komentar
Posting Komentar