Membaca judul di atas
tentu banyak menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan dimana ada hubungan drive-thru yang notabene gaya pelayanan
masa kini dengan kehidupan wong ndeso.
Orang Indonesia ngertinya drive-thru
yang asal mulanya diperkenalkan di Amerika sekitar tahun 40’an dengan istilah drive through (kendaraan lewat). Sebuah pelayanan pesanan langsung sampai dan barang diterima dengan cara si konsumen cukup menunggu
di kendaraannya. Awalnya drive through
memang hanya untuk transaksi di jalan seperti tol, kemudian merambah ke bisnis
kuliner dan berbagai penyedia jasa. Berkembang seiring manusia yang sudah hidup
dalam dunia instan dimana waktu sangat berharga.
Kita pun sebagai orang
nusantara juga sudah diperkenalkan dengan sistem ini. Kita sedang dipengaruhi
untuk hidup tidak bisa sedikit santai yang orang jawa katakan alon-alon (nganggo) waton (supayane) kelakon. Sampai dalam
hal sekecil memesan makanan haruslah cepat dan instan. Beberapa waktu lalu saya
pernah ngobrol dengan seseorang yang belum saya kenal sebelumnya. Kami sama-sama
menunggu antrian di bank. Nampaknya pria setengah baya yang saya temui ini
seorang yang berpengalaman ke luar negeri. Dia membandingkan sistem pelayanan
kita dan luar negeri.
“Di negara kita itu masih begini aja ya mas, beda
sama eropa apa asia seperti jepang, korea selatan”
Saya kemudian bertanya, “maaf, maksud Bapak?”
Sambil sedikit tertawa Bapak itu menjawab, “masih
manual antrinya makan banyak waktu, menunggu seperti ini kan kurang bermanfaat.”
Sekilas saya juga
mengamini perkataan Bapak tersebut. Budaya mereka yang ada di eropa dan asia
timur memang kerja yang tinggi. Tetapi mungkin kita lupa bahwa iklim dan
geografis yang membuat budaya kerja padat itu berlangsung. Negara dengan 4
musim tidak memungkinkan untuk bekerja sepanjang tahun. Waktu 6 bulan mereka
habiskan untuk bekerja mati-matian. Sementara 6 bulan yang lain untuk
beristirahat dan berlibur. Jadi, waktu 6 bulan bekerja tidak saja mencukupi
kebutuhan pokok tetapi juga harus memikirkan kebutuhan liburan. Liburan mereka
tentu tidak ingin hanya dihabiskan dengan berdiam diri dirumah karena cuaca
yang sangat terik ataupun sangat dingin. Maka alternatif wisata iklim tropis menjadi pilihan.
Nah, sedikit terkuak
mengapa kita memiliki kebiasaan yang dinilai lebih santai dan berteman dengan
buang-buang waktu. Padahal sejatinya kitalah pekerja keras yang tak kenal
waktu. Jadi, sudut pandang mana yang sedang kita gunakan selama ini?
Kembali pada drive through atau drive thru yang notabene adalah menginstankan sesuatu yang sudah
instan. Di kalangan kita malah menjadi sekedar gaya saja. Hal lumrah yang kewolak-walik, junk food menjadi makanan
mewah padahal di asalnya sana menjadi makanan yang murah karena kurang bergizi.
Hanya makanan instan sekedar pengganjal perut untuk mengejar beban kerja. Kalau
mau dibandingkan sangat lebih sehat pecel khas nusantara yang bahannya dari
sayuran kebun.
Drive
thru
dari gambaran pemikiran saya malah sudah berkembang di desa-desa sejak lama.
Sebuah bentuk kearifan lokal yang dibaca menjadi peluang bisnis oleh bangsa
lain. Ini hanya gambaran orang ndeso
seperti saya yang tidak paham luar negeri atau mancanegara. Setahu saya malah mancanegara
itu dahulu negara-negara mandiri yang pernah ada di naungan Majapahit Empire. Kembali
ke kendaraan lewat. Menurut pendapat saya bangsa paling welcome alias monggo saja
dengan apapun ya Bangsa Indonesia. Orang-orang kita tidak curigaan dan
berprasangka buruk tetapi malah senang menjamu tamu. Sampai di semua suku dan
masyarakat adat ada upacara tertentu untuk menyambut tamu.
Drive
thru
sendiri terilhami dari kebiasaan sehari-hari orang desa. Anda pasti pernah
menjumpai ketika di desa-desa mempersilahkan orang lewat untuk mampir itu hal
lumrah sekalipun itu hanya basa-basi sebagai tanda keakraban. Entah saudara
atau hanya kenalan atau barangkali orang yang tidak sengaja lewat tetapi
terlihat menyapa. Contohnya warga desa saya masih membiasakan hal tersebut. Berapa
kali anda lewat rumah seseorang dan terlihat ada penghuninya, ya sebanyak itu
pula kita harus mengucap permisi, ndherek
langkung, atau nuwun sewu. Kemudian si pemilik rumah akan membalas dengan “monggo.. badhe tindak pundi? kendeli
rumiyin.” Sekedar basa-basi untuk mempererat persaudaraan sekaligus juga
tawaran. “Mau kemana? Mampir dulu kerumah.” Kata-kata ini menjadi mengakrabkan
dan apabila orang yang dipersilahkan mampir juga akan diberikan sugatan atau jamuan apa yang dimiliki si
empunya rumah. Mungkin sekedar air pelepas dahaga atau sedikit camilan.
Lha kok bisa drive thru? Begini, jadi iklan-iklan
drive thru bagi masyarakat metropolis ya seperti halnya tawaran untuk mampir. Bedanya
dalam masyarakat desa sebagai peluang untuk srawung tetapi bagi kalangan
kapital dibaca sebagai peluang bisnis. Orang desa tidak pernah berbicara
keuntungan materiil. Tetapi bagi kalangan pebisnis peristiwa yang sangat biasa
dikalangan wong ndeso ini menjadi
peluang dahsyat untuk melayani kebutuhan orang kota yang serba instan. Bagaimana
saat dalam perjalanan orang tetap bisa terlayani.
Wong
ndeso semboyannya tuna
satak bathi sanak. Bisnis yo bisnis konco yo konco. Tetapi barangkali
ditangan kapital atau sang pemilik modal menjadi sanake tuna awake bathi mboko satithik.
Dadi pengen tumbas fast food numpak jaran sangu keris karo headsettan
BalasHapus