Langsung ke konten utama

Celana “Lepis” dan Belajar Makna Profesional


Saya tertarik mengangkat masalah profesional  tetapi  bedanya ini dari sudut pandang awur-awuran Berawal dari keisengan saya ingin membuat perbandingan untuk menjelaskan profesional dari sudut pandang yang sederhana maka saya menganalogikan celana lepis. Celana lepis merupakan istilah untuk menyebut jenis celana berbahan jeans. Lepis sendiri adalah ejaan ala orang jawa ndeso dari merk jeans kenamaan asal paman sam levis. Levis dari nama sang penemu Levi Strauss yang pada awalnya menemukan jenis bahan denim lalu berkembang ke blue jeans. Kalau di Indonesia ya memang pantasnya lepis selain sesuai lidah juga menunjukkan kalau barangnya kebanyakan kw. Celana jeans sendiri pada awalanya adalah style untuk kalangan pekerja tambang karena bahanya kuat dan barulah muncul di film peternak pada masa yang lalu atau kita kenal dengan cowboy. Namun, seiring perkembangan zaman celana ini malah jadi trend mode busana segala kondisi.
Berlanjut ke masalah definisi dari profesional. Profesional merupakan kata serapan asing dalam Bahasa Indonesia untuk menjelaskan mutu, kualitas, dan kinerja dalam sebuah profesi memiliki keahlian ketrampilan karena pendidikan dan pelatihan sebagai ciri orang profesional. Nah, cukup ribet juga kan menjelaskannya. Memang secara sederhana kita kenal dengan “right man on the right place”. Maka dikatakan profesional bahawa orang mampu dan kompeten dalam bekerja sesuai bidang keahlian dan tentu mendapat upah yang layak sesuai kebutuhan hidupnya. Tetapi apakah profesional sejati seperti itu?
Lah ini kok malah celana lepis? Begini, bagi wong ndeso kathok lepis ini menunjukkan tingkatan tertentu bagi pemakainya dan tidak lazim digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Pemakainya memang umum yang didominasi kalangan muda. Dikatakan tingkatan tertentu bagi pemakainya karena celana ini bagi kelangan ekonomi desa jadi barang yang cukup bernilai karena harganya. Ibarat membeli celana lepis saja kalau sudah lebaran atau hari raya. Tidak mungkin juga digunakan sehari-hari karena tidak sesuai dengan kondisi profesi orang desa yang rata-rata sebagai petani. Bekerja di sawah atau mungkin ngarit pake celana jeans selain panas juga sangat tidak nyaman untuk bergerak. Walaupun ada juga yang menggunakan dengan model celana pendek. Apalagi upacara-upacara desa atau hajatan jarang yang mengenakan celana berbahan jeans, kalaupun ada sudah dikombinasikan dengan kemeja batik.
Segi penamaan pun unik, “kathok lepis” maka akan menunjuk pada semua bentuk dan jenis celana jeans tidak peduli merk lainnya. Ya bagi si lepis inilah profesionalisme, dia siap diposisikan sebagai apapun sampai-sampai hanya dicadangkan. Dia menurut saja dikatakan mewah dan dia manut saja diinjak-injak di sawah.
Belajar dari profesionalisme katok lepis tadi bisa kita tarik perbandingan. Selama ini pemahaman kita bahwa profesional itu orang yang punya keahlian dan mengerjakan sesuai bidang keahliannya. Orang yang belajar tentang pendidikan maka pekerjaannya  di sektor penddidikan sebagai tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Seorang teknisi mesin bekerja di industri-industri misal pembuatan kendaraan. Seorang akuntan menjadi bagian keuangan dan lain sebagainya. Ini adalah sebuah kriteria yang aneh akibat munculnya zaman industri yang segala sesuatu bertenaga mesin.
Ya kalau profesional memakai kriteria seperti itu maka saya akan menuntut presiden yang profesional, kepala daerah yang profesional, dan lain sebagainya. Seharusnya profesional dimaknai berkaitan dengan leadership. Bagaimana memimpin dirinya dalam suatu lingkungan yang berbeda-beda. Tidak ada kepemimpinan yang diajarkan kepemimpinan muncul dari sebuah keadaan. Tidak ada kathok lepis di semua kondisi karena kathok lepis muncul menyesuaikan keadaan.

Kriteria yang ada sekarang ini namanya merendahkan manusia sebagai ciptaan Tuhan apabila mengatakan individu itu bodoh karena tidak belajar ini dan itu. Sifat unik manusia adalah bisa menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru. Tinggal ada yang mau diajak sama-sama belajar atau tidak, iya to? 

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb