Langsung ke konten utama

Kere Ngambrukake Bale



Setiap hari ada saja kabar aneh-aneh terjadi di sekeliling kita. Termasuk kabarnya kere-kere yang masih bisa tertawa di keadaan yang serba terhimpit. Tawa kebahagiaan yang tulus bentuk kebersamaan sesama kere. Bagi saya kere tidak masalah. Kere itu tidak memalukan, kere juga tidak butuh bantuan dan santunan. Yang selama ini dapat bantuan dan santunan kan yang miskin dan tidak mampu.
Kalau ada yang tanya, bukannya kere, miskin, dan tidak mampu itu sama saja? Jawabannya berbeda. Walaupun ada paribasan kere munggah bale yang bisa dimaknai naik kelas dari hidup kecingkrangan menjadi berkecukupan (OKB), kere tidaklah seperti itu. Kere itu malah jauh dari keinginan munggah bale. Sementara miskin dan tidak mampu ini hidupnya kekurangan dan merasa kurang. Contohnya malah bukan rakyat atau wong cilik tetapi seringnya penyakit kekurangan dan merasa kurang ini menyerang para pejabat dan konglomerat. Bukti sederhananya siapa yang suka korupsi, ngecu, maling duitnya orang kecil? Sudahlah, jelas siapa yang sebenarnya miskin dan tidak mampu itu dan siapa yang maling dan kemalingan.
Maka dari itu saya mau buat pembelaan sebagai bagian dari kere dengan istilah kere ngambrukake bale. Ini adalah pilihan terakhir selain usaha-usaha yang sudah kere banyak lakukan sebelumnya. Keadaan negara bangsa ini sudah kepalang basah krisis multidimensi. Pengaruh pesatnya kapitalisme juga mengobrak-abrik tatanan seolah negara hampir tak berdaya memberikan perlindungan dan pelayanan kepada segenap bangsanya. Dengan keadaan seperti ini hanya ada dua pilihan untuk negara dan pemerintahannya menghentikan atau membiarkannya. Kalau hanya menghentikan mungkin hasilnya tak jauh beda dengan yang sudah-sudah. Pilihan terakhir hanya membiarkannya sampai pada titik nadir sebobrok-bobroknya. Biarkan saja kalau saat ini dipimpin dan dikelola ngawur oleh yang duduk di bale-bale itu. Kebijakan-kebijakan semakin tidak beres dan keadaan carut marut. Anggap sebagai ujian bagi para kere. Kere yang tidak tergoda lagi duniawi tetapi sedang diiming-imingi bantuan-bantuan serba uang. Padahal tidak tahunya kere ini sebenarnya malah bos dari segala bos.
Kere juga sudah sejak lama sibuk bangun khayangan. Khayangan yang dibangun seharusnya bisa mengembalikan jati diri untuk memperbaiki pola dan dasar pemikiran negara ini. Membangun khayangan berarti memperbaiki akhlaq segenap masyarakat dan praja di dalamnya. Ternyata tidak semuanya bisa belajar. Kere pun sudah lama ndheder satriya. Kere itu jiwa ksatria semua ibarat kata berani mati di dalam hidupnya. Tidak ada lagi keinginan yang bermacam hanya sadar kebutuhan dan membangun persaudaraan.
Tidak perlu takut, tidak perlu cemas menghadapi segala yang terjadi. Kere-kere ini sudah lebih survive dibandingkan negara Indonesia. Kere ini adalah mbahnya Indonesia. Kere ini terlalu baik hati dan sabar mendidik negara Indonesia yang masih anak-anak tetapi semakin tidak tahu diri. Senjata pamungkas kere untuk ngambrukake bale adalah dengan sabar dan selalu memohon ampunan Tuhan. Kepasrahan ini tentu akan segera mendapatkan jawabannya. Sabarnya para kere akan terjawab 2 hal. Pertama, hancurnya sistem negara yang ada dan muncul tatanan baru. Kedua, kesadaran untuk selalu ingat dan berhati-hati dalam bertindak.



Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb