Langsung ke konten utama

Negara Bangsa (Part II) : "Negara Setengah Bercanda"


Orang hidup itu harus bisa bercanda kalau tidak bisa mending mati saja. Kira-kira seperti itu hidup ini karena manusia pastilah membutuhkan yang namanya penghibur dan panglipur. Tetapi ada lho hiburan yang malah sama sekali tidak menghibur, seperti bercandanya negara. Mengurus negara dan mengelola segala sumber dayanya itu tidak sekedar khayalan yang ditempatkan pada kenyataan. Perencanaan dan konsep harus matang. Jadi, kalau hanya rumangsa bisa dan gembelengan tanpa kemampuan yang mumpuni sangatlah berbahaya. Pengelola dan pengurus negara itu seharusnya memiliki spesialisasi-spesialisasi kemampuan tidak hanya profesional di satu bidang saja. Maka yang merasa bisa mengelola akhirnya nampak seperti orang bercanda tetapi tidak menghibur sama sekali. Tentu bukan jayuz atau garing karena bercandanya ini masih bisa membuat tertawa kalangan tertentu.
Negara adalah istilah untuk komunitas besar menyatakan bentuk tertentu. Jika membicarakan negara kita ini dilimpahi wilayah sangat luas, beragam, subur, dan potensi-potensi kekayaan alam dan sumber daya manusia. Boleh dibilang bocorannya surga atau surga di dunia ini ya Indonesia dengan sungai-sungai yang mengalir dibawahnya. Sampai ada istilah filosofis gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kerta raharja. Gemah ripah loh jinawi dapat diartikan sebagai keadaan masyarakat yang makmur dengan keadaan tanahnya yang subur. Sementara tata titi tentrem kerta raharja berarti aman tentram yang bersumber dari kesejahteraan lahir batin. Filosofi ini tentu hadir dari keadaan dan fakta gambaran sebuah negeri. Kalau yang sejahtera, aman, dan tentram itu sebuah negeri maka penting tidak negara ini ada?
Dari pertanyaan tersebut munculah istilah negeri dan negara. Dua hal yang berbeda namun terlampau sering kita menggunakannya untuk menunjuk suatu keadaan yang sama. Negeri adalah bahasa sastra yang memiliki makna lebih mendalam sementara negara ini hanya istilah bentuk komunitas dimana ada sistem pemerintahan atau praja. Negeri kedudukannya tinggi dan luas dibandingkan negara yang hanya bermakna sempit. Bangsa itu bagian dari negeri termasuk pula keberagaman dan kekayaan hayati di sekitarnya (tanah air). Jadi, kalau ada istilah pegawai negeri sipil, sekolah negeri, perguruan tinggi negeri ini bukan perkara main-main. Negeri adalah penguasa sementara negara bisa dikatakan hanya pelayan. Negeri yang mengatur negara, bukan negara yang berbuat seenaknya kepada negeri. Sangat bercanda jika sesuatu yang bernama negara ini berbuat seenaknya kepada negeri, bahkan berani bercanda dengan si negeri. Lah dalah, tidak sopan namanya.
Istilah-istilah tadi memang agaknya membingungkan tetapi tujuan saya di sini adalah bagaimana memaknai bernegara yang sesungguhnya. Sebut saja masyarakat madani yang menjadi idam-idaman setiap komunitas. Masyarakat madani bukanlah negara ia adalah gambaran negeri. Hidup berdampingan antara kaum Anshar, Muhajirin, Yahudi yang dibuat dalam butir-butir kesepakatan. Anshar memiliki dua kesepakatan dengan kaum muhajirin dan yahudi tertuang dalam 23 fasal dan 24 fasal. Kesepakatan yang diprakarsai Rasullullah bersama umat inilah yang seharusnya dimaknai. Rasul memang tidak pernah membuat negara kehadiran beliau adalah memperbaiki akhlaq. Lalu apa maknya yang harus diambil?
Negara sebagai pengemban amanat rakyat sebuah negeri harus memiliki kemampuan menjadi jembatan penghubung dan penyelaras. Memang hal ini kalau di era sekarang adalah tata aturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi pikirkan apa dasarnya? Jangan-jangan dasarnya sudah bukan apa yang khas di negeri sehingga kurang mampu mengakomodasi semua kebutuhan. Ambil contoh dasarnya negara ini Pancasila, manifestasinya UUD 1945, semboyanya bhinneka tunggal ika jadilah bentuk NKRI. Oke, berarti jelas negara kesatuan karena sebagai penyelaras penghubung pemersatu negeri dalam berbagai bangsa. Berarti negara ini tidak mengintervensi negeri seenak udelnya dewe. Negara belajarlah dengan negeri dan sambungkan kesepakatan dan kepentingan antar bangsa.
Bisa dikatakan tugas negara hanya di lingkup demikian, yaitu mendamaikan dengan kesepakatan, memfasilitasi, memudahkan. Lha kok ada negara malah jadi ruwet? Negara ini barangkali kurang belajar tentang makna sebuah negeri dan lupa kalau bangsanya beragam. Orang-orang yang berkedudukan di negara sebagai kepala negara maupun prajanya barangkali kadung disetir yang bukan bangsanya dan negerinya sehingga seolah berjalan auto pilot di kalangan rakyat. “Loh ini gimana to negara wong rakyat karepnya gini kok malah begitu, woo lha negara auto pilot.” Negara tetap jalan semaunya oleh mesin pengendali. Yang penting sampai tujuan instan tertentu tetapi tidak mempedulikan kekhawatiran, kecemasan, kebingungan rakyatnya.
Memang ada mesin pengendali seampuh itu? Sudah tidak asing lagi bagi kita, mesin pengendali yang sudah cukup lama menjadi semacam pembelenggu ini adalah dana sokongan dari berbagai sumber. Sebut saja IMF yang memberikan pinjaman untuk pembangunan tetapi jangan lupa mereka juga mencantumkan Memorandum of Economics Financial Policies yang secara tidak langsung ikut mengatur kebijakan yang diambil oleh negara. Itu baru satu contoh, padahal ada bermacam kesepakatan yang lain.
Tulisan bagian kedua dari negara bangsa ini membagi menjadi beberapa istilah yang sebenarnya beda tetapi selalu dianggap tidak terlalu penting maknanya. Misalnya istilah negeri dengan pegawai negeri sipilnya. Apakah tepat di sebut pegawai negeri? Sekolah negeri, apa tepat disebut negeri? Padahal negeri tidak boleh diintervensi tetapi ia difasilitasi dan berposisi menjadi yang dilayani oleh negara. Anehnya dan bercandanya kok ada pejabat negara yang baru jadi tidak dong apa-apa berani mencak-mencak dihadapan pegawai negeri. Sekolah negeri diatur-atur pakai kurikulum negara. Ya sudah ke-khasan dan keberagaman ini dipaksakan untuk disamakan padahal seharusnya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Peran negara hanya terletak bagaimana menyelaraskan agar semua kepentingan berjalan tanpa ada perselisihan.  Kalau berbicara lebih jauh yaitu memudahkan, negara ini perannya membuat rakyat mudah dalam memenuhi kebutuhan dasar. Misalnya, hasil pertanian  dan kelautan untuk makan rakyat dulu baru sisnya yang dijual. Kalau harga jual rendah maka negara menjalankan fungsinya untuk membeli dengan harga yang sesuai.
Negara kadung membuat berbagai cara alternatif hasilnya tetap sulit tetapi dilain pihak yang katanya negarawan ada yang tertawa bercanda maka inilah setengah bercanda. Kalau negara mau bercanda ayo sekalian jangan setengah-setengah, tidak usah pake aturan-aturan yang sok baik terbuka saja blak-blakan kalau perlu kita tertawakan bersama-sama. Negeri dan bangsa akan lebih keras menertawakan negara. Saat negeri dan bangsa sudah mulai bercanda asik sendiri maka mau apa kamu negara?


Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb