Kalau harus menulis menceritakan suatu hal atau perkara
yang tidak ada habisnya maka ambilah tema negara. Banyak yang kita bisa temukan
termasuk jika mau bertanya, “apakah membentuk negara itu suatu langkah yang
tepat?”
Negara dalam pemahaman kita selama ini yaitu wilayah
dengan penduduk dan pemerintahan berdaulat serta mendapatkan pengakuan dari
negara-negara lain. Kalau mau memikirkan dengan logika, negara ternyata juga muncul
dari anggapan-anggapan. Karena salah satu tujuan negara sendiri adalah mengorganisasikan
untuk memudahkan. Jika digambarkan awal mulanya sekelompok manusia memiliki
kebiasaan yang akhirnya berbentuk budaya dimana ada seorang tokoh. Maka ketika
diformalkan budaya itu melahirkan tata kelola landasan negara sementara tokoh
beserta pengabdinya adalah kepala negara dan pemerintahan. Dari situlah muncul
anggapan negara yang asalnya mungkin dari suku, koloni, atau komunitas.
Sehingga kalau rumah tangga itu diasumsikan sebuah negara maka seorang ayah
bisa dikatakan sebagai kepala negara, ibu di pemerintahan, dan bersama
anak-anak mereka adalah rakyat.
Munculah fungsi menyederhanakan tugas-tugas dalam
bentuk diwakilkan dan menunjuk orang-orang tertentu sebagai yang terdepan
memimpin sebuah negara. Kalau diibaratkan kapal tidak perlu semua penumpang
memegang kendali laju kapal, cukup nahkodanya saja dibantu beberapa awak kapal.
Nahkoda dan awak kapal dipercaya oleh penumpang membawa kapal sesuai kehendak
penumpang ingin menuju ke suatu tujuan. Sehingga kepala negara dan pemerintahan
dalam satu negara adalah berfungsi mengorganisasi bagaimana semua rakyatnya
bisa mencapai tujuan umum dan tujuan khusus dengan mudah dan tepat. Kehendak
rakyatnya adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh kepala negara dan
pemerintah untuk bisa mengakomodasi berbagai kebutuhan dan kepentingan bersama.
Maka munculah aturan dan undang-undang demi membuat kebebasan dalam sebuah
negara tetap berjalan dalam koridornya yaitu keadilan.
Itulah gambaran sederhana dari sebuah negara. Tetapi
jika berbicara negara saat ini munculah berbagai bentuk negara. Dari mana ini
berasal? Jawabannya adalah kebiasaan masyarakatnya. Kembali pada pemahaman bahwa
negara adalah anggapan yang berkembang dari satu kelompok masyarakat di daerah
tertentu. Maka bentuk negara dan sistem pemerintahan juga berkembang sedemikian
rupa. Jika berangkat dari pemahaman ini maka sangat memungkinkan bahwa setiap
kelompok masyarakat atau orang bisa membentuk negara dan sistem pemerintahannya
sendiri, yang mereka kehendaki sesuai kepribadiannya.
Lalu, jika sebuah negara mengadopsi bentuk negara
lain bagaimana? Ya, sah-sah saja asalkan tidak secara mentah-mentah diambil
kemudian langsung diterapkan. Karena ada hal yang perlu disesuaikan dan
disinkronkan dengan adat kebiasaan masyarakat. Diyakini bahwa manusia itu unik
dia akan menjadi individu yang khas berdasarkan dimana ia tinggal (geografis)
dan bagaimana lingkungan sehari-harinya (kebudayaan). Keunikan yang khas inilah
ciri sebuah bangsa. Maka salah jika ada anggapan negara itu bangsa karena bisa
jadi dalam satu negara terdiri dari berbagai bangsa.
Dalam tataran negara dengan bangsa yang beragam ini
maka perlu juga adanya bentuk negara yang khusus. Apabila negara dengan
berbagai bangsa ini mengadopsi sistem kenegaraan dengan masyarakat yang homogen
dan punya satu ciri budaya dan landasan yang sama maka tidak akan berjalan
baik. Negara dengan berbagai bangsa membutuhkan toleransi yang tinggi seperti negara
kita Indonesia sebagai penerus cita-cita pendahulunya yaitu dalam semboyan
“bhinneka tunggal ika”. Semboyan yang menegaskan perbedaan tetapi dalam satu
bingkai untuk mencapai tujuan masing-masing dengan prinsip kebersamaan
(gotong-royong). Jadi kalau ada yang mau mengubah negara bangsa ini dengan satu
ideologi yang sama misalnya sistem theokrasi, apakah tepat?
Di negara kita masih banyak ketimpangan dan
ketidakadilan itu hal yang lumrah. Indonesia itu negara yang baru lahir di
tahun 1945. Sementara bangsa-bangsa di negara ini sudah lebih dahulu lahir
sejak berabad-abad yang lalu bahkan ribuan tahun yang lalu dengan sistemnya
sendiri. Kalau ditilik dari teori sekarang kita mengenal bahwa bangsa-bangsa di
nusantara ini dulunya kental dengan sistem kerajaan bahkan dikatakan sangat
feodal. Entahlah, yang jelas bangsa-bangsa ini pernah mencapai puncak kejayaan
dengan sistemnya yang terdahulu.
Ketika masa lalu kita dikatan feodal, absolut monarki,
atau apapun itu biarlah itu hanya sebagai buah perkembangan pengetahuan.
Perkara penyebutan atau nomenklatur itu hak ilmu pengetahuan untuk memberi
justifikasi. Barangkali nenek moyang kita sebenarnya punya nama sendiri untuk
sistemnya, kita masih perlu menggalinya. Sumber-sumber sejarah malah
menunjukkan bentuk kerajaan nusantara hanya kepala negaranya saja berstatus raja
tetapi dalam tata kelola masyarakat dan pemerintahanya sudah tersendiri. Jangan-jangan
dulu itu malah lebih demokratis. Hanya saja perkara istilah demokratis belum
sampai nusantara saat itu. Malahan di masa lalu kepala negara dan pemerintahan
itu dipisahkan tidak merangkap seperti sistem sekarang. Buruknya sistem rangkap
yaitu kita pernah mengalami rezim yang otoriter bahkan mendekati fasis.
Begitu panjang perjalanan bangsa-bangsa di nusantara
dari munculnya kerajaan Medang, Majapahit Empire hingga berakhir di era Mataram
Islam. Dengan sangat kentalnya sistem terdahulu dan dibawa ke sistem baru
bentuk negara demokrasi tentu butuh berbagai penyesuaian. Sehingga masih sangat
banyak hal-hal yang menjadi permasalahan. Kalaupun tidak ketemu-ketemu
solusinya bukan berarti negara ini salah sistem atau salah urus tetapi bisa
hanya karena menjalankan sistemnya tidak sungguh-sungguh. Ya masih
setengah-setengah, ragu-ragu, kepentingan ini itu, campur tangan negara lain,
maupun warga negaranya yang belum terbiasa dengan negara demokrasi.
Sebagai rakyat kita wajib mendukung, mengkritisi,
dan saling melindungi segenap bangsa ini baik secara langsung maupun perwakilan
karena ada sistem perwakilan di negara ini. Memang sudah terlampau lama rakyat
begitu menderita dan prihatin tetapi ketika melihat pejabat pemerintahannya
begitu bermewahan. Kesenjangan terjadi di berbagai daerah. Toleransi perbedaan
belumlah dimaknai yang sesungguhnya terbukti kita masih sering mencari-cari
perbedaan daripada mengakui persamaan tujuan kehidupan kehidupan
perikemanusiaan dan keadilan.
Negara dan pemerintah seharusnya menjadi alat dan
pembantu rakyat tetapi jika keadaannya sudah kadung terbalik lalu bagaimana?
Perlu membikin negara tandingan yang sesuai kehendak rakyat? Atau seperti apa?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pastilah muncul di benak kita karena sudah
terlalu lama sebagian rakyat hidup dalam penderitaan. Menuntut dan mengharap
kepada para pemimpin dan wakil sudah dilakukan. Doa-doa harapan juga tak
hentinya dipanjatkan. Saya pikir doa kita dari negara ini berdiri sama yaitu negara
aman sejahtera, tidak banyak pemipin otak kancil dan pemerintah jahil. Usaha
juga tidak kurang-kurang semua telah bekerja, berkarya, belajar. Ada
alasan-alasan tidak sejahtera karena negara ini dikelola oleh orang-orang yang
tidak tepat, dan orang-orang yang tepat malangnya tidak mendapat kesempatan.
Rakyat diminta bersabar padahal sudah sangat sabar, diminta menunggu faktanya
sudah sekian pemerintahan menunggu.
Kalau beralasan kita dipimpin orang yang tidak tepat
ya memang sekarang ini zamannya si pemilik modal yang punya uang dapat
kesempatan. Sehingga kita pun sebenarnya tidak pernah memilih pemimpin dan
wakil. Kita hanya dipilihkan kemudian menunjuk salah satunya. Buktinya kita
sering membayangkan kalau punya pemimpin yang seperti ini, itu, dia, beliau,
dan berbagai kriteria harapan masyarakat.
Parahnya kebanyakan wakil dan pemimpin yang dipilih
saat ini menjadi berkuasa, tidak merasa menjadi pembantu, jongos, dan pekatik kepentingan rakyat. Punakawan
itu rakyat jelata tetapi Semar di sisi lain adalah dewa. Dia sebagai rakyat
yang mengabdi sekaligus pamomong tetapi omongannya harus dipatuhi juga oleh
ksatrianya karena nasihat dewa. Rakyat Indonesia adalah pengabdi dan pamomong
untuk negaranya yang aspirasinya harus diutamakan oleh pemimpin-pemimpin yang
berwatak satriya pembela rakyatnya.
Terkadang kita kecewa melihat pemimpin yang ada.
Mengapa harus dia? Kenapa tidak si itu saja? Tuhan maha mengetahui apa yang
menjadi kebutuhan kita, bukan keinginan kita. Kita tentu sangat paham dengan
kisah orang-orang yang keluar dari kemapanan dan membenahi tatanan. Sebut saja
Susuhunan Kalijaga putra Tumenggung Wilatikta yang memilih mengembara dan
akhirnya menjadi penasihat kerajaan-kerajaan Jawa. Kenapa tidak Sunan Kalijaga
saja yang menjadi rajanya saat itu. Beliau sangat mahir mengelola pemerintahan
hubungan diplomasi dan mengayomi rakyat. Tetapi beliaulah pusaka sebagai
penasihat. Lebih jauh lagi kisah tentang Nabi Musa dan Raja Firaun. Bersama
Nabi Musa ada Nabi Khidir. Dengan jelas kita bisa bandingkan kenapa tidak Nabi
Musa atau Khidir saja yang jelas mumpuni untuk jadi raja, malah Firaun yang
lalim bertahta. Lagi-lagi kehadiran penasihat-penasihat yang meluruskan pada
jalan cahaya sangat dibutuhkan. Untuk itu mungkin saja kita ini adalah
penasihat-penasihat yang diposisikan dalam ketidakmapanan agar senantiasa bisa
merasakan bentuk keadilan sejati untuk terus disuarakan. Atau barangkali malah
kita ini golongan-golongan yang sedang diberi nasihat tetapi tidak
menyadarinya.
Negara tetaplah negara, bangsa tetaplah bangsa. Negara adalah alat yang berkomitmen melindungi kepentingan kita tetapi kita belum tentu terlindungi dari negara yang memperalat. Bangsa adalah kepribadian masing-masing maka jangan ditinggalkan, berdampinglah untuk saling menghormati dan berbagi.