Langsung ke konten utama

Tidak Ada, Murid Jeruk Makan Guru Jeruk


Seringkali kita mendengar istilah jeruk makan jeruk yang bermakna memiliki kemampuan atau jenis yang sama. Saya pernah mendengar dalam sebuah forum seminar seorang pembicara berkata, “untuk jadi guru sekarang harus punya pendidikan yang lebih tinggi dibanding muridnya kalau tidak mau dibilang jeruk makan jeruk.” Dari pernyataan tersebut ada beberapa hal yang patut kita soroti. Pertama, guru telah menjadi istilah yang mengalami penurunan dan penyempitan makna. Kedua, status pendidikan tidak bisa dijadikan patokan seorang guru.
Ya, guru sudah sangat sempit maknanya kalau kita  menggunakan sudut pandang era sekarang ini. Guru sudah diprofesikan sehingga menjadi guru itu cukup dengan sertifikat sebagai bukti. Diperparah bahwa pemahaman guru itu sebagai sosok yang mengajarkan. Padahal sesama manusia itu masih sama-sama belajar. Di dalam diri manusia ada guru sekaligus murid, terkadang bisa menjadi sumber belajar dan terlampau sering menerima sesuatu dari berbagai sumber lain untuk belajar. Jadi, sebenarnya kita sedang mengajar atau belajar?
Guru seharusnya dimaknai sebagai sumber belajar. Tetapi bukan satu-satunya sumber pembenaran dalam belajar. Maksudnya, kita sering terjebak apabila sudah kadung percaya dengan omongan atau buah pemikiran seseorang yang terpandang karena kedudukan, keturuanan, dan keahlian lantas percaya membabi buta bahkan yakin harga mati. Ya tidak seperti itu, karena kebenaran sejati itu setelah mendapat pencerahan ilmu maka dengan kejernihan hati dan pikiran kita terapkan dalam kehidupan. Lebih baik percaya dan yakin karena pemahaman sendiri daripada hanya katanya. Ada sebuah peribahasa, golek banyu apikulan warih, golek geni adedamar. Terjemahan bebasnya mencari air membawa air, mencari api membawa pelita. Peribahasa ini bila dimaknai kita terlampau sering mencari segala sesuatu tetapi ternyata dalam diri kita terdapat sumber dari segala sesuatu itu sendiri.
Maka ketika hanya mendapat pengajaran pinter ngapal, nulis, lan maca berarti belum menemukan guru. Nah, guru sejatinya mampu membimbing pada perilaku dan menempa dengan berbagai keahlian yang ia miliki.
Sorotan kedua adanya status pendidikan yang menjadi dasar seorang guru. Padahal guru adalah sebutan yang tidak sembarangan melainkan gambaran sumber belajar. Guru adalah sebuah pengakuan. Guru tidak dapat dipandang hanya dari sisi luar saja. Seperti gurunya al-Ghazali yang seorang tukang sol sepatu yang tidak diketahui orang lain bahwa ia seorang sufi yang mumpuni.
Contoh sederhana ketika saya ngobrol dengan penjual angkring sebelah rumah saya dia menjadi guru saya dengan cerita-cerita wayangnya. Ketika saya mengantri membeli premium tiba –tiba ada yang membicarakan migas dia pun guru saya. Ketika melihat anak kecil berbagi makanan dengan temannya dia pun guru saya. Guru sekarang memang hanya dipahami pada batas-batas pengetahuan ilmu katon yaitu ilmu-ilmu tertulis teoritis. Maka rasa kepekaan itu mulai pudar ketika belajar dengan cara-cara sekarang ini. Sistem belajar bak air, di isi kadang sampai meluber atau belum penuh kadang sudah diambil untuk mengisi bak-bak air yang lain.
Belajar dapat dilakukan dimana saja berada dan dimanapun berada pasti ada guru untuk belajar. Mungkin nasib guru hampir mirip dengan istilah ustadz ketika keduanya sedang terjebak dalam lingkungan profesi. Maka sebenarnya istilah jeruk makan jeruk dalam dunia pendidikan dan belajar itu bagi saya tidak ada. Dengan syarat mau berpikir lebih luas dan jangan sekali-kali merendahkan orang lain.
Kalau ada yang mencoba mengatakan ya guru itu pastilah mempunyai title tertentu dan lulusan akademi tertentu agar memiliki standar. Ya tidak sepenuhnya benar karena akademi adalah belajar yang dilembagakan. Lagi-lagi ini menjadi efek sebuah perkembangan zaman. Sampai ada sebutan perguruan tinggi tetapi kadang didalamnya tidak mencerminkan kata guru sama sekali. Akhirnya diubahlah menjadi universitas tetapi juga tidak universal sama sekali pengetahuanya malah lebih cocok ekslusifitas.
 Lembaga-lembaga menjadi perjuangan mati-matian untuk mengejar sebuah gelar lulusan ini dan itu. Padahal kalau kita mau berpikir mendalam maka kita akan sedikit tergelitik. Misalnya seorang sarjana yang dikukuhkan oleh seorang guru besar, tetapi sarjana pertama siapa yang mengkukuhkan gelarnya? Bagaimana dengan profesor atau guru besar pertama? Ya title, pangkat, dan jabatan pada mulanya hanyalah asumsi karena dunia ini membutuhkan strata tingkatan-tingkatan komando atas nama keahlian. Dan tingkatan strata di dunia ini tidak ada apa-apanya dibandingkan strata yang telah ditetapkan dan diakui Allah yaitu berdasar keimanan dan akhlaqnya.
Memang kalau berbicara di lingkungan lembaga masalah title itu benar tetapi ketika berbicara lingkungan umat maka semua bisa dijadikan sumber belajar. Di dalam lembaga itu bisa jadi ada yang hanya sekedar kurir ilmu belum menjadi guru yang sebenarnya. Rasulullah diriwayatkan dalam sebuah hadist berkata kepada sahabat, “kalau urusan agama kamu harus bertanya kepadaku, tetapi kalau urusan dunia kamu lebih tahu dari aku.” Rasul yang bisa kita sebut sebagai guru umat manusia saja memberikan tauladan untuk rendah hati serta menjadi guru yang suka mendengar. Shollu ala Muhammad.


Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb