Langsung ke konten utama

Zaman Sudah Berganti Gembelengan


Zaman saat ini menyuguhkan sebuah lingkungan keblingeran massal. Dunia baru yang sedang kita hadapi adalah dunia kesan. Hal-hal yang menyangkut eksistensi individu menjadi tujuan utama. Orientasi berpikir personal saat akan mengejar satu tujuan terganggu dengan implikasi berkelanjutan. Misalnya, ada yang berkeinginan kuat untuk menjadi ahli di bidang teknologi perkapalan. Pada awalnya orang tersebut belajar untuk menguasai ilmunya tetapi belum selesai belajar pikiran dan nafsunya sudah melampaui batas. Berangan-angan ketika sudah menjadi ahli bisa terkenal, mendapat uang melimpah, hidup berkecukupan, dan seterusnya sampai dunia pun akan dikuasai. Nah, inilah ketika zaman sudah berganti arah bahwa kesan adalah tujuan utama. Perhatian-perhatian hanya pada kepentingan pribadi yang sifatnya manfaat sempit. Bila kita kembali pada sejatinya hidup hanyalah menjalani kehendak maka ketika kebutuhan kita ingin memahami suatu ilmu maka keinginan-keinginan yang lain buanglah seketika atau simpan rapat-rapat. Kalaupun nantinya memang menuju kesana anggaplah sebuah bonus yang telah digariskan. Dengan demikian manusia menetap pada naluri kebutuhannya saja.
Keserakahan dalam bentuk korupsi, saling menjegal, dan jalan-jalan pintas sejatinya adalah karena tidak kuatnya nafsu putih melainkan mementingkan keinginan-keinginan belaka. Dan kebanyakan di saat-saat itu terjadi peristiwa ego alias “edging God out” yang berarti mengkesampingkan Tuhan. Memang keinginan diperlukan manusia untuk menjadi motivasi dalam hidupnya tetapi menuruti keinginan adalah hal yang berbahaya. Ada sebuah analogi Si Gembel memelihara ayam blorok dan bertelur, ia membayangkan ketika telur menetas ayamnya menjadi banyak kemudian ia jual untuk membeli kambing. Kambing ia bayangkan beranak menjadi banyak dibelikan sapi dan seterusnya. Tetapi tidak tahunya telur si ayam kopyor. Nah, Si Gembel terlalu banyak keinginan tidak berfokus saja pada apa yang sedang dihadapinya yaitu si blorok yang sudah bertelur. Si Gembel boleh saja berpikir keinginannya tetapi masa depan itu masih jauh dan rahasia. Maka hal-hal yang terjadi setelah blorok bertelur anggaplah sebagai bonus atau jika menemui kegagalan dan keberhasilan tidak lain itu memang garis rizki dari kehidupan.
Zaman gembelengan seperti sekarang malah lebih parah lagi ketimbang angan-angan Si Gembel. Si Gembel mempunyai ternak banyak tak lain karena ingin diakui, bisa dikatakan gembel yang naik kelas. Gembel yang sudah gembelengan malah tidak repot-repot pake usaha ternak atau belajar apapun. Si Gembelengan hanya akan berpikir mengaku-ngaku segala sesuatu. Mengaku bisa ini itu, mengaku punya ini dan itu hanya untuk mendapat kesan. Padahal hanya orang bodoh yang mengaku dirinya pintar dan yang jelas seseorang belum menjadi sesuatu kalau harus mengaku sebagai sesuatu.
Di zaman gembelengan ada yang aneh bin ajaib ketika segala sesuatu sudah diukur dengan modal uang. Uang sudah menjadi tujuan utama di zaman yang kesan jempalitan ini. Pengaruh pesatnya kapitalisme membuat kondisi sosial juga terjebak dalam keagungan modal. Sedang terjadi trend segala sesuatu diukur dengan uang dan seolah tanpa uang semua tidak berjalan. Uang menunjukkan kelas, golongan, gengsi, dan eksistensi dalam keseharian.
Ketika orang belajar di sekolah diberikan pertanyaan apa tujuan sekolah? Dengan tanggap akan dijawab bekerja mendapatkan uang. Memang bekerja mengharapkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi serendah itukah tujuan belajar saat ini? Sehingga sekolah hanyalah sekolah untuk memperoleh tanda bukti telah sekolah yang digunakan dalam dunia kerja. Substansi sekolah telah hilang pendidikan sejati telah dikesampingkan. Tidak bisa lagi membedakan mana bekerja dan seperti apa berkarya. Sehingga kalau semakin banyak orang tamatan-tamatan sekolah dan berpendidikan tinggi secara perilaku tidak menunjukkan kesesuaian ya memang sudah sewajarnya.
Uang juga menjadi status seseorang akibatnya banyak yang mati-matian mengejarnya. Padahal jika berbicara negara yang tangguh itu bukan karena masyarakat dengan keuangannya yang baik tetapi memang kekuatan sosialnya yang tangguh sehingga muncul kepercayaan diri. Sementara orang-orang yang sedang berusaha tidak kepincut dalam dunia serba uang itu dianggap sudah tidak waras. Hanya dicap sebagai orang-orang kere frustasi. Padahal orang-orang ini sedang memahami kesejatian hidup bahwa didalamnya melimpah kasih sayang dan rizki tetapi bukan sudut pandang sempit rizki berupa uang saja. Tidak mau terjebak dalam dunia uang dengan serba gembelengan ini memang harus siap menghadapi menjadi kaum yang termarjinalkan. Dicampakkan dan menjadi hinaan merupakan sebuah kewajaran. Orang-orang yang tersingkirkan tetapi sudah lebih dahulu memiliki ketentraman dan kedamaian hidup karena sudah berhasil menyelami hatinya yang begitu luas tanpa ada ketakutan menghadapi segala kemungkinan. Disanjung ora dhuwur, dipidak ora pendeng. Menyikapi hidup sebagai kehendak dan memandang dunia adalah fase dari asal menuju tujuan akhir.
Menghadapi zaman gembelengan yang serba kesan mungkin kita perlu mengingat hal ini. Setiap orang ketika lahir saluran zat-zat gizi dan oksigen (tali pusat) yang terhubung dengan ibu di pethet (putus). Betapa ketika lahir tanpa apa-apa kecuali badan jasmani yang entah ketika dewasa berubah seperti apa. Ya, masa depan sangatlah rahasia. Kunci utamanya adalah manusia hidup di dunia sudah digariskan berbagai hal yang sejatinya sudah berada pada koridornya masing-masing sebagai amanat maupun kesepakatan dengan Tuhan sebelum dibawa menjadi ada. Jadi, untuk apa takut jika sudah berusaha dan berserah. Apakah masih takut tidak punya uang?
Apapun yang manusia lakukan sebenarnya memang sudah kehendak, perubahan-perubahan hanyalah bentuk improvisasi dalam kehidupan ini dan itupun sudah tertulis sebelum segala sesuatu itu terjadi. Seorang bayi yang telah lahir dan anak-anak adalah sebuah pelajaran hidup. Mereka bertindak apa adanya, jujur tulus tanpa kepentingan pamrih, dan tidak ada keinginan duniawi kecuali hanya menuruti naluri fitrah. Untuk itu laksanakan sebaik-baiknya fase kehidupan dunia ini dan semoga kita terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb