Belajar saat ini bukan
berusaha mencari masalah tetapi malah kadang takut menghadapi masalah. Sehingga
belajar hasilnya bukan menyelesaikan persoalan hanya menghindar dari
permasalahan bahkan muncul permasalahan baru. Kira-kira seperti itu gambaran
umumnya tentang belajar akhir-akhir ini. Keadaan ini tak lain akibat sudut
pandang belajar yang menyempit yaitu terbatas belajar adalah sekolah. Padahal
belajar itu semenjak lahir hingga mati karena belajar yang sesungguhnya
melibatkan pikiran, perasaan, dan perbuatan selama hidup.
Adanya belajar yang
berpandangan hanya ruang sekolah akibatnya terfokus pada kemampuan menguasai
ilmu-ilmu yang sudah cendurung terpisah-pisahkan. Selain itu para pelaku
belajar akhirnya menjadi objek bulan-bulanan untuk menampung ini dan itu dengan
terpaksa. Belajar tak ubahnya memindahkan pengetahuan saja yang bersifat
hafalan dan dengar. Tidak terjadi sistem dialog sehingga ada anggapan guru
segalanya dan murid kosong belaka. Anak yang belajar pun terbiasa menjadi
menurut saja dengan perintah-perintah. Kondisi yang cukup riskan ini masih pula
dibayangi kurangnya peran orangtua yang cenderung menyerahkan segalanya pada
sekolah. Tidak disadari kalau keluarga adalah pendidikan pertama dan utama bagi
anak.
Miris memang, sekolah seperti
sistem pelatihan anjing. Pelatih atau sang guru bahagia jika anjingnya bisa dan
mampu ini dan itu sesuai kehendak gurunya. Ke-khasan individu tidak muncul daya
kritis kurang berkembang. Anak seperti dijajah untuk tidak merdeka dalam
berpikir dan mempelajari hal-hal yang menjadi keinginannya. Padahal setiap
individu memiliki kapasitasnya masing-masing. Ya mau tidak mau akhirnya belajar
zaman sekarang kesannya menyeramkan dan menengangkan. Padahal belajar sebagai
manifestasi pendidikan seharusnya memanusiakan manusia atau membentuk manusia
utuh dengan karakter dan kepribadiannya.
Keadaan sistem pendidikan
yang memahami belajar hanya sebatas sekolah mengilhami munculnya berbagai
trobosan baru dalam dunia pendidikan. Ada taman belajar, sanggar alam, atau
yang masih memakai nama sekolah namun dengan konsep yang lain dengan sekolah
pada umumnya. Pada intinya hadirnya ide-ide tersebut karena membaca keadaan
bahwa anak saat ini dinilai tidak memiliki realitas dunia anaknya. Bisa diibaratkan
menyentuh tanah saja tidak pernah bagi sebagian anak di kota-kota besar. Maksudnya
hilangnya pembelajaran yang real dari
apa yang mereka hadapi di lingkungannya dan menemukan manfaat dari segala yang
ada di lingkungan tersebut.
Saat saya berdiskusi dengan
salah satu penggiat belajar di sanggar anak alam yaitu Mas Yudhi dalam diskusi
11an perpustakaan EAN, beliau menunjuk gelas di hadapan saya. Kemudian berkata
berapa gelas tersebut? Kemudian terus digali hingga bisa menemukan bentuk,
bahan, pembuatan, volume, warna. Bahkan kemampuan sosial pun ada ketika isi
dalam gelas itu untuk berbagi bersama. Ya, begitulah kurang lebih sanggar anak
alam mengemas belajar dengan ringan. Prinsip dasarnya belajar itu hal yang
biasa. Tidak memaksa harus tahu ini dan itu tetapi belajar bertahap. Gelas yang
terdiri dari G-E-L-A-S pun bisa untuk mengenalkan huruf. Pada initinya sanggar
alam memperkenalkan belajar dari dasar pemikiran kemudian bertransformasi
menuju hal-hal lainnya.
Tetapi perlu dipahami bahwa
ketika kita menilai sebuah sistem pendidikan yang baru janganlah pernah
menggunakan sudut pandang sistem pendidikan yang umum atau yang pernah ada. Misal
ketika berbicara sanggar alam dimana fokus belajarnya pada masalah pangan,
kesehatan, herbal, lingkungan, dan sosial budaya maka kita tidak bisa
menilainya dengan sistem kurikulum sekolah, pesantren, atau kursus. Tidak tepat
juga apabila menuntut sistem yang sempurna, apapun sistemnya hanya berupaya memperbaiki
agar tidak memperparah keadaan. Tetapi kita harus menerimanya dengan dasar
pemikiran tawaran sistem yang baru ditengah-tengah sistem pendidikan yang
terampil bekerja tetapi kurang bisa mencetak manusia-manusia utuh yang berkarya.
Walaupun ada sebuah kritik
yang disampaikan kepada sanggar alam yang dahulunya mengajarkan agama tetapi
dalam perkembangannya dihapuskan. Bagi saya setelah mendengar inti dari sanggar
alam yang didirikan oleh Pak Toto Rahardjo (penulis “Sekolah Biasa Saja”) dan
Ibu Wahya bahwa inilah sekolah keberagaman dimana nilai-nilai agama itu bukan
perkara agama kalian apa tetapi bagaimana berprilaku layaknya manusia beragama.
Akhirnya saya pun berkesimpulan bahwa belajar dari gelas ala Mas Yudhi tidak
hanya terbatas pada lingkup memahami bagaimana gelas itu dan apa bahan kimia
dasar penyusunnya. Pada tingkat lanjut pun kita bisa membedah gelas dan
mengenal Tuhan. “Gelasku adalah wadah yang terisi air terpercik cahaya Tuhan
dan ketika aku meminumnya aku pun wadah yang tengah berusaha menghidupkan
cahaya jiwaku.”