Langsung ke konten utama

Belajar Dari Gelas


Belajar saat ini bukan berusaha mencari masalah tetapi malah kadang takut menghadapi masalah. Sehingga belajar hasilnya bukan menyelesaikan persoalan hanya menghindar dari permasalahan bahkan muncul permasalahan baru. Kira-kira seperti itu gambaran umumnya tentang belajar akhir-akhir ini. Keadaan ini tak lain akibat sudut pandang belajar yang menyempit yaitu terbatas belajar adalah sekolah. Padahal belajar itu semenjak lahir hingga mati karena belajar yang sesungguhnya melibatkan pikiran, perasaan, dan perbuatan selama hidup.
Adanya belajar yang berpandangan hanya ruang sekolah akibatnya terfokus pada kemampuan menguasai ilmu-ilmu yang sudah cendurung terpisah-pisahkan. Selain itu para pelaku belajar akhirnya menjadi objek bulan-bulanan untuk menampung ini dan itu dengan terpaksa. Belajar tak ubahnya memindahkan pengetahuan saja yang bersifat hafalan dan dengar. Tidak terjadi sistem dialog sehingga ada anggapan guru segalanya dan murid kosong belaka. Anak yang belajar pun terbiasa menjadi menurut saja dengan perintah-perintah. Kondisi yang cukup riskan ini masih pula dibayangi kurangnya peran orangtua yang cenderung menyerahkan segalanya pada sekolah. Tidak disadari kalau keluarga adalah pendidikan pertama dan utama bagi anak.
Miris memang, sekolah seperti sistem pelatihan anjing. Pelatih atau sang guru bahagia jika anjingnya bisa dan mampu ini dan itu sesuai kehendak gurunya. Ke-khasan individu tidak muncul daya kritis kurang berkembang. Anak seperti dijajah untuk tidak merdeka dalam berpikir dan mempelajari hal-hal yang menjadi keinginannya. Padahal setiap individu memiliki kapasitasnya masing-masing. Ya mau tidak mau akhirnya belajar zaman sekarang kesannya menyeramkan dan menengangkan. Padahal belajar sebagai manifestasi pendidikan seharusnya memanusiakan manusia atau membentuk manusia utuh dengan karakter dan kepribadiannya.
Keadaan sistem pendidikan yang memahami belajar hanya sebatas sekolah mengilhami munculnya berbagai trobosan baru dalam dunia pendidikan. Ada taman belajar, sanggar alam, atau yang masih memakai nama sekolah namun dengan konsep yang lain dengan sekolah pada umumnya. Pada intinya hadirnya ide-ide tersebut karena membaca keadaan bahwa anak saat ini dinilai tidak memiliki realitas dunia anaknya. Bisa diibaratkan menyentuh tanah saja tidak pernah bagi sebagian anak di kota-kota besar. Maksudnya hilangnya pembelajaran yang real dari apa yang mereka hadapi di lingkungannya dan menemukan manfaat dari segala yang ada di lingkungan tersebut.
Saat saya berdiskusi dengan salah satu penggiat belajar di sanggar anak alam yaitu Mas Yudhi dalam diskusi 11an perpustakaan EAN, beliau menunjuk gelas di hadapan saya. Kemudian berkata berapa gelas tersebut? Kemudian terus digali hingga bisa menemukan bentuk, bahan, pembuatan, volume, warna. Bahkan kemampuan sosial pun ada ketika isi dalam gelas itu untuk berbagi bersama. Ya, begitulah kurang lebih sanggar anak alam mengemas belajar dengan ringan. Prinsip dasarnya belajar itu hal yang biasa. Tidak memaksa harus tahu ini dan itu tetapi belajar bertahap. Gelas yang terdiri dari G-E-L-A-S pun bisa untuk mengenalkan huruf. Pada initinya sanggar alam memperkenalkan belajar dari dasar pemikiran kemudian bertransformasi menuju hal-hal lainnya.
Tetapi perlu dipahami bahwa ketika kita menilai sebuah sistem pendidikan yang baru janganlah pernah menggunakan sudut pandang sistem pendidikan yang umum atau yang pernah ada. Misal ketika berbicara sanggar alam dimana fokus belajarnya pada masalah pangan, kesehatan, herbal, lingkungan, dan sosial budaya maka kita tidak bisa menilainya dengan sistem kurikulum sekolah, pesantren, atau kursus. Tidak tepat juga apabila menuntut sistem yang sempurna, apapun sistemnya hanya berupaya memperbaiki agar tidak memperparah keadaan. Tetapi kita harus menerimanya dengan dasar pemikiran tawaran sistem yang baru ditengah-tengah sistem pendidikan yang terampil bekerja tetapi kurang bisa mencetak manusia-manusia utuh yang berkarya.
Walaupun ada sebuah kritik yang disampaikan kepada sanggar alam yang dahulunya mengajarkan agama tetapi dalam perkembangannya dihapuskan. Bagi saya setelah mendengar inti dari sanggar alam yang didirikan oleh Pak Toto Rahardjo (penulis “Sekolah Biasa Saja”) dan Ibu Wahya bahwa inilah sekolah keberagaman dimana nilai-nilai agama itu bukan perkara agama kalian apa tetapi bagaimana berprilaku layaknya manusia beragama. Akhirnya saya pun berkesimpulan bahwa belajar dari gelas ala Mas Yudhi tidak hanya terbatas pada lingkup memahami bagaimana gelas itu dan apa bahan kimia dasar penyusunnya. Pada tingkat lanjut pun kita bisa membedah gelas dan mengenal Tuhan. “Gelasku adalah wadah yang terisi air terpercik cahaya Tuhan dan ketika aku meminumnya aku pun wadah yang tengah berusaha menghidupkan cahaya jiwaku.” 

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb