Berbicara soal kantor ada cerita
unik. Ibu saya setiap pulang kerja sering mengajak ngobrol tentang perusahaan
tempat beliau bekerja sampai saat ini. Ibu saya ini tergolong karyawan baru,
setelah sekian lama menggeluti dunia wiraswasta akhirnya malah bekerja di
perusahaan. Di kantor tempat ibu saya bekerja sedang ada perubahan bentuk dari
perusahan ke perseroan. Perubahan itu ternyata menimbulkan beberapa
permasalahan di kalangan karyawan. Mungkin semacam terkejut dengan sistem baru
yang tidak biasa.
Perubahan yang terjadi ini karena
terbentur aturan bahwa perusahaan dengan kriteria tertentu dan aset yang
dimiliki harus bertrnasformasi menjadi sebuah perseroan. Dengan perseroan maka
dikenalah ada direksi bukan lagi perusahaan yang urusan perkantorannya dipegang
sendiri oleh si owner. Ibu saya menceritakan permasalahan-permasalahan yang
dihadapi karyawan seperti aturan kontrak kerja dan berbagai atribut lainnya. Misalnya
saat dipegang langsung oleh pemilik pengelolaan lebih bersifat kekeluargaan
bersama seluruh karyawan dalam mengambil kebijakan-kebijakan internal. Tetapi setelah
adanya bentuk perusahaan terbatas rapat direksi yang lebih banyak keputusannya
orientasi perusahaan saja.
Ya, inilah bentuk hukum positif yang
berbenturan dengan kebiasaan yang mengutamakan nurani. Dalam kasus di kantor Ibu
saya ini semua karyawannya sudah terbiasa dengan sistem kekeluargaan yang
dibangun sementara dengan munculnya sistem PT jadilah bentuk formil yang kaku. Hal
sensitif tentulah permasalahan gaji. Gaji atau upah saat pemilik memegang
langsung disesuaikan dengan beban kerja, aturan upah regioal, kesepakatan dan berlaku
pula bonus. Berbeda saat kemudian berbentuk PT maka diperlakukanlah standar
seperti perusahaan yang lain.
Memang gaji itu seharusnya uang pengganti
jasa yang diberikan tetapi seiring perkembangan zaman dan industrialisasi gaji
hanyalah perkara diberi uang agar kuat bekerja dan terikat aturan tertentu. Maka
dari itu kita akan melihat perlawanan kaum buruh atau
kelas bekerja sampai kapanpun akan tetap sama. Mereka sedang berada di pusaran
permusuhan antara modal versus buruh. Apapun jenis industri motif modal
hanyalah kembali dengan keuntungan penuh dan bahkan berlipat. Pastilah sebuah
industri atau perusahaan perseroan akan berusaha mempengaruhi agar upah rendah, kerja
panjang, dan efektif dengan alat produksi. Sementara buruh tuntutannya upah
tinggi, kerja pendek, sementara alat produksi menjadi momok berbuntut
pengangguran bagi yang tak memiliki keahlian.
Tetapi apapun permasalahannya
melihat dari cerita Ibu saya agar sebuah perusahaan entah biasa atau berbentuk
PT dalam mengambil keputusan haruslah dengan nurani. Boleh berbaju PT tetapi
pengelolaannya dengan nurani jelas tidak menimbulkan kegaduhan. PT merupakan
hukum positif tetapi pengelola haruslah punya nurani. Ibarat di pengadilan ada
sidang 2 orang yang mengutil susu bayi di supermarket. Tersangka A mengutil
karena ingin dijual kembali sementara tersangka B karena anaknya yg masih bayi harus diberi susu, ibunya sudah tiada dan si B tidak punya uang. Secara hukum positif
sama-sama mencuri sanksinya sama tetapi keputusan hakim yang final mengikat
tentunya mempertimbangkan dengan nurani dengan sanksi yang berbeda. Mencurinya
pelanggaran hukum positif tetapi sanksinya pertimbangan nurani sang hakim. Secara
sederhana setiap mengambil keputusan di dunia kerja atau apapun hendaknya
melibatkan Tuhan. “Kalau dengan kebijakan ini, kira-kira Tuhan ridho gak ya?” Yang
namanya kebijakan haruslah bijaksana.