Langsung ke konten utama

Malu Sama Kucing

Kata seorang psikolog asal California Syekh Freger, peliharalah hewan untuk belajar mencintai. Ini bukan dalam artian menyamakan manusia dengan hewan tetapi berproses menuju belajar mencintai. Dimana kita melayani hewan kita tanpa mengharap balas jasa dari hewan peliharaan. Disitulah inti gambaran sebuah cinta melayani semua dengan tulus. Kami di rumah kebetulan mempunyai 2 ekor kucing berjenis persia dan himalaya. Keluarga kami memang senang dengan kucing, sampai-sampai kucing peliharaan ini dianggap sebagai anggota keluarga tambahan. Ada cerita belum lama ini tentang kelakuan kucing kami. Setiap hari ada waktu minimal 4-5 jam kucing dikeluarkan dari kandangnya. Saat dikeluarkan itu salah satu kucing sebut saja si item memanjat pagar depan rumah setinggi  1,2 m. Tak berapa lama sampai di pagar tetangga yang lebih tinggi dan terus naik sampai akhirnya lepas dari pandangan saya.
Sore hari waktunya memberi makan tetapi si item belum juga kembali dan setelah saya cari ada di atas genting rumah tetangga. Ketika saya hampiri kucing mendekat tetapi terlihat tidak berani turun. Saat saya paksa turunkan pun kaki-kakinya mencengkram terlihat kukunya yang terjulur. Rupanya ada ketakutan karena tidak bisa turun. Memang lucu kucing yang seharusnya lincah melompat-lompat berlari-lari di berbagai tempat kok ini malah takut. Padahal rumah tetangga saya juga tidak tinggi-tinggi sekali, seandainya melompat melewati pagar pun bisa. Tetapi saya kemudian menyimpulkan ternyata perkataan tentang kemampuan itu adalah proses recall sepertinya tepat walaupun ini terlihat dari seekor kucing.
Kucing yang notabene hewan dengan kemampuan khusus untuk berlari dan melompat dari satu tempat ke tempat lain yang tinggi sekalipun ternyata tidak seluruhnya sama. Kucing kami memang jenis kucing peliharaan yang banyak menghabiskan waktu di kandang dan di dalam rumah. Ketika di dalam rumah pun geraknya juga sangat terbatas. Saat menaiki meja atau kursi kami buru-buru untuk menyuruhnya turun. Kebiasaan-kebiasaan ini ternyata membentuk kemampuan kucing itu sendiri yang cenderung melemahkan dari naluri aslinya yang lincah.
Kaitannya dengan diri kita sebagai manusia adalah bahwa seharusnya kita menyadari memiliki kesamaan mutlak dari setiap kelahiran. Manusia yang dibekali akal, perasaan, dan keterampilan. Tidak peduli ada sisi keterbatasan tetapi pada dasarnya kemampuan-kemampuan itu dimiliki manusia untuk digali dan dieksplorasi. Apalagi dengan adanya akal dan perasaan maka jelas tidak ada yang tidak mungkin. Tuhan membekali itu semua menunjuk sebagai ciptaan yang sempurna untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Maka seharusnya kita tidak bisa merendahkan satu sama lain akibat kemampuan masing-masing yang berbeda. Perbedaan ini hanya karena proses recall terhadap kemampuan melalui latihan memiliki kecepatan yang berbeda. Ada yang langsung bisa, ada yang lama, dan bahkan harus di ulang-ulang. Selain itu kapasitas kemampuan setiap orang juga akan berbeda-beda dan khas. Jadi, silahkan gali keahlian-keahlian anda dan spesialsasi-spesialisasi kemampuan kita. Atau hanya nurut seperti kucing di kandang yang akhirnya kemampuan hebatya tidak diketemukan. Malu lah sama kucing...

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb