Langsung ke konten utama

His..story...


Sejarah tak lain berupa hidup dan kehidupan itu sendiri. Hidup bisa disinonimkan dengan kata hayyu. Kok, namanya sejarah tidak disebut istilah hayyu saja?
Istilah sejarah sendiri berawal dari kata berbahasa arab syajaratun yang berarti pohon. Pohon tak bisa terpisahkan dari kayu keduanya memenuhi syarat sebagai bagian dari saling. Setiap pohon berkayu dan kayu adalah pohon.  Jadi, penulis perkirakan awalnya untuk menjelaskan peristiwa hidup dan kehidupan yang terjadi pada waktu lampau disebutnya hayyu. Hayyu dimudahkan menjadi istilah kayu.  Hayyu dan kayu mengklaim kebenaran istilah masing-masing. Pada akhirnya kompromi diantara kedua kelompok tersebut menunjuk pada pilihan syajaratun yang otomatis mudah diterima kalangan hayu dan kayu. Kelompok hayyu terwakili dengan istilah pohon yang menggambarkan kompleksitas hidup. Di lain pihak kelompok kayu menerima syajaratun sebagai istilah pengganti kata kayu.
Penjabaran tadi hanya karangan saya sendiri. Karangan itu sekaligus juga menggambarkan sejarah itu dituliskan dan disampaikan. Mengapa dinamakan sejarah ya karena ada sejarahnya. Terjadi sebuah proses peristiwa hingga ada pertentangan kemudian ada kompromi kesepakatan. Peristiwa tersebut tentunya penting dan berpengaruh luas serta didokumentasikan. Disanalah letak ruang lingkup penulisan sejarah atau historiografi. Ada pula istilah history (inggris) yang berarti masa lampau atau historia (yunani) penyelidikan.
Jika sejarah dipandang sebagai pohon maka kita perlu memaknainya sebagai kesatuan yang utuh. Dimana pohon itu memiliki komponen yang lengkap dari akar, batang, ranting, daun, bunga, bahkan buah. Membaca dan memahami sejarah tidak cukup dengan satu sudut pandang saja seperti pohon yang bisa dilihat dari bagian-bagian komponennya. Pohon pun bisa dilihat dari atas, samping, atau bawah. Penampang batang, daun, dan akar pun bisa dibedah. Maka satu peristiwa sejarah bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, tergantung siapa yang menuliskannya dan bagaimana requestnya. Maka sering juga kita jumpai ada rekayasa sejarah karena kepentingan tertentu. Akhirnya sampai ada upaya-upaya merekonstruksi sejarah tetapi apa daya ketika sumber sejarah terbatas maka akan ada perkiraan-perkiraan. Menurut ceritanya... Iya saya juga dengar ceritanya... his story... his story...
Lalu yang benar mana? Sejarah adalah proses dimana waktu yang akan menunjukkan kebenarannya. Kemudian peran ilmu akan mengungkapkannya semua aspek dari eksistensi manusia yang berbeda perwujudannya dalam setiap masyarakat di seluruh bumi dan dalam perioda sejarah yang berlainan.

Sejarah Ini Semakin Usang Bersama Buku-Buku Kusam
“Kejadian-kejadian zaman sekarang ini apa karena tidak paham dan belajar dari sejarah?” Tanya Kasno.
“Bisa jadi,” jawab Karto.

Kasno dan Karto sedang memahami keadaan yang kemudian ia hubungkan dengan masa lalu. Menerka-menerka sambil kadang melamun. Kalau iya sejarah menjadi penting untuk dipelajari berarti ada manfaat dibalik semua itu. Kalau kisaran tahun 2007 sampai 2015 ini ada kisruh-kisruh lembaga negara apa dulu pernah juga terjadi. Kalau Majapahit bikin komisi-komisi  negara bagian yang akhirnya memberontak, mungkin saja kita mengulangi sejarah yang sama. Kalau Presiden Indonesia sekarang sedikit-sedikit bikin tim independent, staff ahli, dan penasihat. Lah dulu majapahit punya bethara saptaprabu. Sriwijaya dan Majapahit itu maritim tetapi Matram itu agraris, sekarang kok malah bingung milih maritim apa agraris. Dikiranya Indonesia tahun 1945 tetapi tidak paham sama sekali siapa yang melahirkan Indonesia di tahun 45. Kalau kita pernah berjuang merebut kembali kemerdekaan berarti jauh sebelumnya kita sudah merdeka dan berdaulat.
Repot-repotnya kalau belajar sejarah hanya menghafal tahun. Padahal, membaca sejarah pun sebagai proses menuju masa depan dengan lebih waspada agar tak terjebak dalam sejarah yang sama. Tidak terbelenggu wawasan sempit dalam keadaan menjadi tidak lebih baik hanya dihadapkan pilihan rugi atau celaka.
Buku-buku sejarah tertumpuk di pojok-pojok perpustakaan tak tersentuh semakin kusam. Isinya dianggap usang. Tetapi apa daya ketika pengetahuan kita tentang siapa jati diri dan masa lampau tidak terkuasai dengan baik. Pandangan-pandangan panutan pun beralih, sampai-sampai bangsa sendiri direndahkan. Ukuran-ukuran terlanjur matrealistis, semua kosong dari etika, moralitas, dan akhlaq yang baik.  Kalau tidak segera dibaca khasanah ilmu-ilmu sejarah itu, lama-lama juga akan kosong saja dan berakhir matrealistis dijual ke pengepul kertas kiloan. Masalahnya masih kalah laku dari tabloid majalah mingguan bergambar paras-paras cantik dan pria metroseksual. Sampai terkenang di masa depan sejarah manusia mencatat zaman melenium itu hanya tergila-gila pada penampilan.
Ini hanya buah pikir kasno dan karto. Tidak akan jadi sejarah, hanya pesan yang berlalu saja.



Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb