Langsung ke konten utama

Jagongan


Bercakap-cakap dengan kerabat, sanak famili, teman sejawat, dan tetangga dekat menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Suasana yang terbangun umumnya cenderung hangat dan akrab. Obrolan sederhana sampai yang tidak masuk akal jadi hiasan-hiasan rembug. Makan tidak makan asal kumpul itulah jagongan. Kalaulah ada wedang atau minuman itulah simbolik sebagai wedang “ngawekani kadang” yaitu merawat paseduluran.
Belakangan ini jagongan diistilahkan sebagai diskusi, seminar, kuliah umum, workshop, debat, kajian, sidang, menghadiri perayaan dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu tak lebih sebagai aturan main yang berkembang, tafsiran-tafsiran dari suatu kelompok masyarakat, kebenarannya ya tetap jagongan.
Kalau dipikir-pikir budaya kebiasaan jagongan ini identik dengan masyarakat kita. Hanya saja ada keunikan terjadi saat ini. Strata dan status sosial dalam kehidupan bermasyarakat telah berubah. Sumber-sumber informasi mudah didapatkan sehingga berpengaruh mewarnai isi jagongan yang dilakukan. Terjadi sebuah perubahan yang massive dan cepat dimana sempat dalam masyarakat kita bahwa status sosial seseorang itu ditentukan beberapa hal tetapi saat ini cukuplah diakui jika punya harta, uang, kaya, atau mampu. Padahal sebelum terjadi fenomena ini kita punya pemahaman bahwa orang kaya itu hanya didudukan di paling rendah. Strata-strata diatasnya diisi mulai dari yang tertinggi orang berilmu, keturunan orang baik, punya jabatan, pengabdi masyarakat, hingga yang terendah orang kaya. Srata-strata status ini bertahan lama khususnya di desa-desa. Anehnya sekarang berubah ukuran dinilai dengan harta sehingga walaupun dia orang berilmu atau baik itu belum cukup kalau belum kaya. Pernah saya dengar ucapan, “halah wong apikan ning nek kere yo arep ngopo..”
Strata memang harus ada tetapi fungsi dari strata itu untuk apa yang perlu kita pahami. Perbedaan strata tak lain untuk saling melengkapi dan saling mendukung. Sederhanyanya orang kantoran menjabat direktur makan nasi dari padi yang ditanam petani. Apa iya direktur nanam padi sendiri, mengolah sendiri? Tentunya ada proses-proses yang membentuk tata kehidupan dimana melibatkan banyak pihak dengan status dan wewenangnya yang berbeda-beda. Tuhan hanya membedakan manusia itu dari akhlaqnya tidak peduli mau kere, mlarat, blangsak, ganteng, cantik, pejabat, dan lain sebagainya. Dan akhlaq itu sendiri hanya Tuhan yang bisa menentukan dan menilainya.
Karena saking anehnya strata dan status ahir-akhir ini saya menjumpai jagongan-jagongan yang tidak biasa ketika ada suatu kumpulan di desa saya. Ada yang bercerita anaknya yang kuliah, sodaranya yang jadi orang kaya, jadi pejabat, atau memamerkan kepunyaanya. Ketika bercerita anaknya yang kuliah di kota, ceritanya bukan apa keahlian yang ditekuni tetapi lebih kepada kampusnya dengan gedung mewah, fasilitas terbaik, harganya mahal. Padahal pandangan mencari ilmu itu bukan perkara tempatnya, harganya, atau hal-hal yang berbau materiil tetapi lebih kepada proses dan hasil belajar. Belum lagi yang mengagung-agungkan kerabatnya yang hidup enak karena kaya jadi pejabat atau sekedar menceritakan selesai membangun rumah menghabiskan ratusan juta.

Cerita-cerita yang dismpaikan mungkin mempunyai tujuan untuk memotivasi tetapi mbokyao ada upaya-upaya juga untuk menghindari prasangka, kecemburuan, dan membuat orang lain tidak nyaman. Dalam jagongan ada penerapan ilmu komunikasi yang tidak hanya menyampaikan tetapi juga menjadi pendengar. Tidak ada jagongan kok sendiri. Hindari menjadi yang paling benar,  paling baik, paling kuasa. Jagongan tetaplah jagongan untuk berbagi kebahagiaan bukan sebagai ajang pameran atau iklan. Jalinan kehidupan bermasyarakatnya baik apa-apa bisa dirembug, dibahas, di kaji dengan jagongan maka cita-cita yang kita idamkan bersama tentu akan tercapai. Kesuksesan itu ukurannya bukan bahagia sendiri tetapi juga efeknya membuat orang-orang disekitar merasa bahagia, aman, dan dijaga kehormatannya. Sehingga jagongan pun tidak akan pernah sama dengan forum rasan-rasan, bergosip, menggunjing, fitnah tetapi didalmnya bentuk integrasi berbagai pihak yang merawat kehidupan bersama.

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb