Langsung ke konten utama

Kang Mudek dan Noni-Noni Belanda


Gangster-gangster banyak diceritakan saling berebut kekuasaan dan bentuk-bentuk perilaku buruk. Sebenarnya gangster hanyalah sebuah bentuk interaksi-interaksi yang membentuk sikap mengelompok. Gang terkuat yang berhak atas segala potensi lingkungannya dengan sebebas-bebasnya. Jika ada yang mencoba menghalangi, mempersulit, atau bahkan menegur gang terkuat maka anggota kelompok gang tersebut tidak akan tinggal diam. Penghancuran, pelemahan, dan segala bentuk intimidasi dilakukan. Tetapi tidak perlu dikhawatirkan gang sekejam cerita itu hanya ada di film-film dengan kreasi-kreasi sang sutradara.
Kalaulah ternyata kita saat ini sedang menjumpai bentuk-bentuk kekejaman atau keadaan-keadaan yang menjadi semakin dipersulit, mungkinkah ada side effect sebuah dominasi kekuatan gangster. Akankah kekuatan-kekuatan sebuah paguyuban, patembayan, ormas, organisasi politik, sosial, maupun pemerintahan yang mengarah pada tabiat kegangsterannya. Tak jarang kita jumpai saling menjatuhkan, menjegal, mencari-cari kelemahan terjadi. Mereka yang sedang bergelut di dunia semacam kelompok gangster ini apakah mewakili mayoritas yang ada. Lalu jika dengan cara-cara kekejaman gangster untuk membela dan mewakili sebuah suara mayoritas, apakah itu cara yang tepat. Mungkin parahnya apabila sekarang ternyata kita juga sedang terjebak arus gang dan tanpa sadar membuat gangster dengan skala yang lebih besar. Sebenarnya apa yang kita cari sebuah kebenaran atau hanya mencari-cari benar sendiri. Entahlah...
Bagi kawan saya yang tinggal di pedesaan jauh dari arus kegaduhan dan simpang siurnya informasi ia merasa lebih damai. Ketakutan-ketakutannya tidak sampai pada pemikiran yang aneh-aneh. Ia hanya takut jika tak bisa meladang atau memberi makan ternaknya. Misalnya cerita dari Kawan saya Kang Mudek. Kesehariannya dihabiskan dengan mengurusi ternaknya ayam, kambing, dan burung-burung kicau yang setiap Legi dia bawa ke pasar. Pikirannya tidak neko-neko, hidupnya nriman sederhana, tidak pernah menuduh kesalahan-kesalahan kepada siapapun, dan ia juga sumeh dengan siapa saja. Ia bercerita kepada saya, suatu malam dilangit-langit kamarnya yang tanpa berlapis gypsum ataupun eternit terbayang noni-noni Belanda berambut panjang yang cukup membuatnya terkaget-kaget. Peristiwa itu menjelang tengah malam ketika ia terbangun. Kang Mudek terkejut dan cukup membuatnya merinding.
Begitu damainya desa itu sehingga ketakutan-ketakutan hanyalah barang semu memedi dari efek kelelahan kerja, bukan efek samping seperti gangster-gangster yang tak sengaja kita pikirkan.

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb