Langsung ke konten utama

Memahami Budaya


Ternyata memahami budaya itu gampang-gampang susah. Termasuk membedakan yang mana budaya yang mana bukan. Saking rumitnya kadang dianggap saja apa-apa yang disukai khalayak itu jadi budaya.
Manusia itu satu sama lainnya unik dan berbeda. Perbedaan yang khas itu akhirnya kita kenal sebagai individu tetapi antar-individu ini ada ketergantungan. Ketergantungan bersama yang akhirnya jadi kebiasaan dan menunjukkan ciri khas maka jadilah budaya. Setiap komunal dalam skala budaya itu pasti punya kekhususan misal bahasa, garis keturunan suku bangsa, benda-benda hasil karya, maupun tata kehidupan. Maka melihat dengan kacamata budaya itu berarti berpikir holistik.
Kesalahan kita terkadang terjadi etnosentrisme yang tak terkendali. Tidak saja memandang budaya sendiri sebagai yang paling baik tetapi juga menelaah budaya lain dengan kacamata budaya sendiri. Akibatnya tidak dipungkiri terkadang menjadi permasalahan ketika ada dalam keadaan sulit menerima orang dengan kebiasaan yang berbeda. Padahal sebagai manusia berbudaya itu berpikirnya harus luas dan menyeluruh tetapi dalam pribadinya tentu harus punya dasar budaya sesuai asal-muasalnya. Cipta, rasa, karsa itu memang menghasilkan budaya maka kemampuan khusus manusia itu juga digunakan untuk memandang budaya lain.
Ketika orang merasa lapar, ia akan makan. Di seantero dunia kodratinya sudah seperti itu. Tetapi cara makannya, alat makannya, jenis makanannya berbeda-beda. Cara, alat, jenis ini yang dimiliki kelompok-kelompok etnis masyarakat tertentu yang menjadi ciri budaya tertentu. Saya pernah membaca dari sebuah buku di suku yang masih menjadi bagian Indian tetapi terpencil yaitu Yanomamo ada kebiasaan yang aneh. Di suku tersebut anak ketika tidak sepakat dan melihat orang tuanya salah maka ada kebiasaan memukul/menampar. Kalau dipandang dengan sudut budaya kita, misal saya diajarkan kalau di jawa harus punya unggah-ungguh dengan yang lebih tua maka itu perbuatan terlarang atau pamali bisa kualat.
Tetapi sebagai orang berbudaya harus memahaminya bahwa itu sudah menjadi etika pergaulan walaupun dalam budaya kita tidak akan setuju. Terlepas dari memang masih sebagai suku primitif dimana sering terjadi peperangan antar suku sehingga kekejaman dianggap hal wajar. Sehingga percampuran budaya entah akulturasi ataupun asimiliasi biasanya mudah terjadi pada yang memiliki banyak kesamaan. Wong kalau kita mengadopsi budaya yang sangat berbeda pastilah di lingkungan kita dianggap sebagai orang aneh tidak umum.
Budaya tidak terpengaruh oleh garis keturunan dan genetik tetapi erat kaitannya dengan belajar. Sehingga anggapan budaya serta merta mengikuti dari orangtuanya juga tidak pas. Lahir dari orang Yunani tetapi dalam sebagian besar hidupnya dihabiskan di Jawa dan akrab dengan adat istiadat Jawa maka walaupun ciri fisik berbeda tingkahnya tetap njawani. Sebaliknya wong jawa tetapi menetap lama di Amerika ketika pulang ke Jawa jadi kamerika-amerikaan. Bapaknya dan Ibunya pasangan yang lahir wetonnya Pon yaitu Ponijan dan Ponirah tetapi anaknya bisa sedikit bernama keamerikaan Robert Ponijan.

Belajar budaya bagi tiap generasi tidak sebatas hanya pengulangan-pengulangan isi pelajaran yang sama tetapi memuat pembaharuan-pembaharuan segala lini kehidupan. Oleh karena itu memungkinkan perkembangan adanya budaya-budaya baru. Atau barangkali jika melihat perkembangan teknologi semua akan memiliki ciri budaya sama karena kekhasan tergerus kemajuan zaman.

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb